Sungai
Kehidupan
Komaruddin Hidayat ; Rektor Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Sumber : SINDO, 22
Juni 2012
Panta rei, kata Heraklitos, filsuf Yunani
yang hidup lima abad sebelum Masehi. Segala sesuatu tak ada yang diam. Semuanya
bergerak. Hidup ini pun selalu bergerak bagaikan arus air sungai.
Ketika
Anda menginjakkan kaki dua kali di sungai yang sama, kaki Anda akan menemukan
air yang berbeda. Pepatah Arab mengatakan, waktu itu bagaikan pedang yang
tajam. Jika Anda tidak mampu mengendalikannya, Anda yang akan terpenggal.
Alquran mengingatkan, “Demi massa.” Sungguh manusia dibayangi kebangkrutan jika
tidak mampu mengisi modal waktu dengan iman dan amal saleh. Kita semua
meniscayakan adanya ruang dan waktu sehingga hampir setiap hari kita mendengar
pertanyaan: di mana, kapan?
Dua kata yang paling sering diucapkan oleh manusia di mana pun berada, apa pun bangsa dan agamanya. Kalau ruang atau tempat bersifat relatif statis, permanen, sedangkan waktu senantiasa berjalan. Setiap saat waktu berjalan bagaikan arus sungai atau kendaraan yang melaju ke depan, tak kenal henti atau berputar kembali. Jika hidup diibaratkan kereta, setiap hari ada penumpang yang naik dan yang turun. Kelahiran dan kematian selalu hadir berbarengan.
Sebelum naik dan setelah turun, di manakah dan ke manakah kita berada? Nalar tak dapat menjangkaunya. Nalar hanya menduga- duga.Kita semua terlahir tanpa pilihan bebas. Siapakah yang akan menjadi orang tua kita,di manakah akan terlahir, di sana tak ada tawar-menawar. Absurd, nalar tidak bisa menjelaskan. Tahu-tahu sudah terjadi. Kita terlahir disambut oleh asuhan budaya, agama, warna kulit, dan kondisi geografis yang berbeda-beda.
Ada kekuatan absolut yang mengondisikan kita. Begitu pun ketika ajal menjemput, berakhirlah kereta kehidupan ditelan terminal kematian. Lagilagi, di situ ada kekuatan absolut yang tidak sanggup kita mengalahkannya. Hidup juga bagaikan sungai. Ibarat air, kita berjalan menuju samudra.Namun rute perjalanan tidak selalu mulus. Banyak sekali hambatan dan liku-liku bagi air untuk menggapai samudra.
Ada yang cepat, mulus, lancar dan ada yang tersendat serta tersandera di daratan. Coba tanyakan atau dialog dengan diri sendiri, ke mana arah hidup yang tak kenal berhenti dan berbalik dari menit ke menit ini? Apakah gerbang kematian berarti akhir segala-galanya atau merupakan lorong baru untuk mengantarkan perjalanan lebih lanjut? Nalar tidak sanggup menjawabnya. Semesta ini selalu bergerak.Hati dan pikiran tak pernah diam.
Dalam ketidaktahuan itu manusia lalu mencari sumber jawaban, yaitu Tuhan yang diyakini sebagai kekuatan absolut yang mencipta dan mengontrol sejarah.Tapi siapakah Tuhan, manusia juga selalu saja sibuk mendiskusikannya, bahkan ada yang berkelahi atas nama Tuhan yang mereka masingmasing persepsikan dan yakini. Ada sekelompok orang yang merasa tidak memerlukan Tuhan karena yakin bahwa hidup ini akan berjalan sebagaimana adanya tanpa campur tangan Tuhan.
Mereka yakin usaha dan rekayasa manusia lebih dominan dalam kehidupan ini.Namun mayoritas manusia yakin bahwa manusia itu tak ubahnya semut atau belalang yang hinggap di sebuah hutan semesta yang amat besar yang digerakkan Tuhan.Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui berbagai medium, terutama melalui para rasul-Nya dan melalui ayat-ayat semesta. Setiap saat kita bagaikan air yang merembes mencari jalan yang mengantarkan ke samudra. Entah kapan sampainya, kita tak tahu.
Atau bagaikan hewan laron yang datang dari kegelapan mendekati sumber cahaya. Ada yang sayapnya terbakar ketikamendekati sumber cahaya berupa api. Di mata manusia yang berada di lorong kegelapan, dia begitu terpukau dan terpikat ketika melihat banyak cahaya dalam perjalanannya mengendarai kereta waktu. Jabatan, kekayaan, popularitas, dan sekian banyak bayangan kenikmatan lain telah membangkitkan gairah dan antusiasme untuk berpetualang meski hanya sebatas imajinasi dan keinginan.
Bukankah kebutuhan fisik kita sangat terbatas dan terukur? Tapi kebesaran manusia memang bukan pada ukuran fisiknya. Angan-angan dan imajinasinya telah melahirkan eksperimentasi, kreativitas, dan inovasi untuk merobohkan garis batas guna menguak dan menggali kemungkinan kemungkinan baru. Panta rei.
Semuanya dalam gerak bagaikan arus sungai yang deras. Kita berjubel dalam lorong waktu. Satu-satu ikut bergabung ke dalamnya dan satu-satu hilang tertelan lumpur, menyatu dengan tanah. Manusia berasal dari tanah akan kembali ke tanah. Lalu, apa yang kita cari dan akan kita tinggalkan untuk generasi penumpang di belakang kita? Tanpa intervensi Tuhan, Cahaya di atas cahaya, kita berjalan menggapai-gapai dalam ruang absurditas. ●
Dua kata yang paling sering diucapkan oleh manusia di mana pun berada, apa pun bangsa dan agamanya. Kalau ruang atau tempat bersifat relatif statis, permanen, sedangkan waktu senantiasa berjalan. Setiap saat waktu berjalan bagaikan arus sungai atau kendaraan yang melaju ke depan, tak kenal henti atau berputar kembali. Jika hidup diibaratkan kereta, setiap hari ada penumpang yang naik dan yang turun. Kelahiran dan kematian selalu hadir berbarengan.
Sebelum naik dan setelah turun, di manakah dan ke manakah kita berada? Nalar tak dapat menjangkaunya. Nalar hanya menduga- duga.Kita semua terlahir tanpa pilihan bebas. Siapakah yang akan menjadi orang tua kita,di manakah akan terlahir, di sana tak ada tawar-menawar. Absurd, nalar tidak bisa menjelaskan. Tahu-tahu sudah terjadi. Kita terlahir disambut oleh asuhan budaya, agama, warna kulit, dan kondisi geografis yang berbeda-beda.
Ada kekuatan absolut yang mengondisikan kita. Begitu pun ketika ajal menjemput, berakhirlah kereta kehidupan ditelan terminal kematian. Lagilagi, di situ ada kekuatan absolut yang tidak sanggup kita mengalahkannya. Hidup juga bagaikan sungai. Ibarat air, kita berjalan menuju samudra.Namun rute perjalanan tidak selalu mulus. Banyak sekali hambatan dan liku-liku bagi air untuk menggapai samudra.
Ada yang cepat, mulus, lancar dan ada yang tersendat serta tersandera di daratan. Coba tanyakan atau dialog dengan diri sendiri, ke mana arah hidup yang tak kenal berhenti dan berbalik dari menit ke menit ini? Apakah gerbang kematian berarti akhir segala-galanya atau merupakan lorong baru untuk mengantarkan perjalanan lebih lanjut? Nalar tidak sanggup menjawabnya. Semesta ini selalu bergerak.Hati dan pikiran tak pernah diam.
Dalam ketidaktahuan itu manusia lalu mencari sumber jawaban, yaitu Tuhan yang diyakini sebagai kekuatan absolut yang mencipta dan mengontrol sejarah.Tapi siapakah Tuhan, manusia juga selalu saja sibuk mendiskusikannya, bahkan ada yang berkelahi atas nama Tuhan yang mereka masingmasing persepsikan dan yakini. Ada sekelompok orang yang merasa tidak memerlukan Tuhan karena yakin bahwa hidup ini akan berjalan sebagaimana adanya tanpa campur tangan Tuhan.
Mereka yakin usaha dan rekayasa manusia lebih dominan dalam kehidupan ini.Namun mayoritas manusia yakin bahwa manusia itu tak ubahnya semut atau belalang yang hinggap di sebuah hutan semesta yang amat besar yang digerakkan Tuhan.Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalui berbagai medium, terutama melalui para rasul-Nya dan melalui ayat-ayat semesta. Setiap saat kita bagaikan air yang merembes mencari jalan yang mengantarkan ke samudra. Entah kapan sampainya, kita tak tahu.
Atau bagaikan hewan laron yang datang dari kegelapan mendekati sumber cahaya. Ada yang sayapnya terbakar ketikamendekati sumber cahaya berupa api. Di mata manusia yang berada di lorong kegelapan, dia begitu terpukau dan terpikat ketika melihat banyak cahaya dalam perjalanannya mengendarai kereta waktu. Jabatan, kekayaan, popularitas, dan sekian banyak bayangan kenikmatan lain telah membangkitkan gairah dan antusiasme untuk berpetualang meski hanya sebatas imajinasi dan keinginan.
Bukankah kebutuhan fisik kita sangat terbatas dan terukur? Tapi kebesaran manusia memang bukan pada ukuran fisiknya. Angan-angan dan imajinasinya telah melahirkan eksperimentasi, kreativitas, dan inovasi untuk merobohkan garis batas guna menguak dan menggali kemungkinan kemungkinan baru. Panta rei.
Semuanya dalam gerak bagaikan arus sungai yang deras. Kita berjubel dalam lorong waktu. Satu-satu ikut bergabung ke dalamnya dan satu-satu hilang tertelan lumpur, menyatu dengan tanah. Manusia berasal dari tanah akan kembali ke tanah. Lalu, apa yang kita cari dan akan kita tinggalkan untuk generasi penumpang di belakang kita? Tanpa intervensi Tuhan, Cahaya di atas cahaya, kita berjalan menggapai-gapai dalam ruang absurditas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar