Masa
Depan Mesir
Zuhairi Misrawi ; Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah Moderate
Muslim Society
Sumber : KOMPAS,
22 Juni 2012
Komisi Pemilihan Umum Mesir akhirnya menunda
pengumuman hasil pemilu presiden putaran kedua. Hal itu terjadi setelah kedua
kandidat, Muhammad Mursi dan Ahmed Shafik, mengajukan adanya kecurangan dalam
proses pilpres.
Sementara itu, Muhammad Mursi—kandidat
Ikhwanul Muslimin (IM)—telah melakukan selebrasi kemenangan dengan mengklaim
pihaknya mendulang 53 persen suara dan 47 persen suara untuk kubu Ahmed Shafik.
Sebaliknya, kubu Ahmed Shafik mengklaim, jika kecurangan terbukti setidaknya
terhadap 800.000 suara di delapan provinsi, pihaknya akan memenangi pertarungan
dalam rangka meraih kursi nomor satu di Mesir pasca-tumbangnya rezim Hosni
Mubarak.
Kontroversi penghitungan hasil pemilu
presiden (pilpres) semakin menambah kusutnya masa depan demokrasi di negeri
”Piramid” tersebut. Konsolidasi demokrasi terbukti gagal total karena hingga
saat ini tidak ada upaya menyatukan langkah sembari membentuk konsensus
nasional (al-wifaq al-wathani) untuk
melanjutkan agenda revolusi. Alih-alih ingin melaksanakan mandat revolusi,
justru yang terjadi adalah perseteruan antara IM dan militer.
Dominasi Militer
Sehari sebelum pilpres putaran kedua
berlangsung, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang mengejutkan, yaitu
membubarkan parlemen yang didominasi IM dan dipimpin Muhammad el-Katatny.
Banyak pihak menilai keputusan tersebut sebagai ”kudeta halus” yang dilakukan
oleh Dewan Agung Militer (SCAF) terhadap IM. Walaupun terasa pahit, IM akhirnya
menerima keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena memang terdapat pelanggaran
serius soal masuknya kandidat partai politik ke dalam calon independen di
parlemen.
Konsekuensi dari keputusan MK tersebut, SCAF
akan mengendalikan sepenuhnya kekuasaan hingga digelar pemilu ulang parlemen.
Dalam Pasal 56 UU yang dikeluarkan tanggal 30 Maret 2011 dinyatakan bahwa SCAF
mempunyai kekuasaan mutlak, seperti menyusun pemerintahan, kabinet, kebijakan,
hubungan internasional, dan darurat militer.
Dalam rangka mengukuhkan dominasinya, SCAF
mengeluarkan undang-undang penyempurnaan tanggal 17 Juni 2012. Di dalam
undang-undang tersebut ditegaskan bahwa dalam menentukan kebijakan dalam negeri
terkait dengan stabilitas politik dan luar negeri terkait dengan hubungan
internasional, presiden terpilih harus mendapatkan restu dari SCAF. Langkah ini
diambil oleh SCAF sebagai antisipasi jika IM yang terpilih, pihaknya dapat
mengendalikan penuh terhadap kekuasaan.
Fakta tersebut semakin mengukuhkan kekuasaan
militer dalam panggung politik. Peralihan kekuasaan dari militer yang sejatinya
harus diserahkan kepada presiden terpilih pada akhir Juni 2012 harus ditunda
hingga pemilu ulang parlemen digelar. Sementara itu, SCAF hingga saat ini belum
menentukan jadwal pemilu ulang yang dapat menimbulkan tafsir betapa militer
belum merasa ”nyaman” dengan ambisi politik IM.
Ada dua hal yang akan dilakukan SCAF
pasca-pemilihan presiden. Pertama, menentukan kekuasaan dan tugas-tugas yang
harus dilakukan oleh presiden terpilih. Kedua, membentuk Dewan Konstituante
yang diharapkan dapat melahirkan konstitusi baru yang nantinya akan dijadikan
pijakan konstitusional bagi presiden terpilih.
Jika IM diputuskan menang dalam pemilu
presiden, dipastikan IM akan menghadapi tantangan serius. Peran IM ditengarai
akan dipangkas SCAF sebagai dampak perseteruan di antara keduanya. Dalam
beberapa bulan terakhir, IM terkesan ingin menjadi ”penguasa tunggal” dan
secara implisit dipahami mempunyai intensi untuk menyingkirkan peran SCAF dalam
politik.
Puncaknya, dalam pembentukan Dewan
Konstituante yang berakhir dengan kontroversi dan kebuntuan, IM secara
telanjang menunjukkan keinginannya untuk mereduksi peran SCAF dengan cara
memasukkan anggota parlemen dari IM sebagai mayoritas dari anggota Dewan
Konstituante. Sebagai respons balik, SCAF akhirnya menarik wakil mereka di
Dewan Konstituante, disusul kemudian penolakan dari Al-Azhar, Kristen Koptik,
dan anggota parlemen dari faksi liberal.
Intinya, dalam beberapa bulan terakhir,
manuver politik IM cenderung ditentang oleh suara mayoritas, baik SCAF, salafi,
liberal, maupun kekuatan nonpartai, seperti Al-Azhar dan Kristen Koptik. IM
dianggap telah mengedepankan kepentingan golongan daripada kepentingan rakyat
Mesir secara umum. IM dinilai tidak mampu mengakomodasi kepentingan seluruh
pihak, terutama dalam rangka pembentukan konstitusi baru yang mencerminkan
nilai dan tatanan demokratis.
Tantangan
Situasi tersebut semakin menyudutkan posisi IM.
Belum lagi, publik mulai kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan IM di
parlemen. Ada dua persoalan serius yang selama transisi demokrasi belum bisa
dipecahkan oleh IM. Pertama, keamanan yang semakin memburuk akibat maraknya
perampokan, penjarahan, dan pembunuhan. Kedua, krisis ekonomi yang semakin
mengkhawatirkan.
Keberhasilan Ahmed Shafik melenggang dalam
putaran kedua pemilu presiden dan mendapatkan suara yang lumayan signifikan
merupakan bukti kuat bahwa rezim lama dianggap lebih mampu menjaga stabilitas
dan ketertiban umum daripada IM. Antrean bahan bakar dan naiknya harga bahan
pokok mengukuhkan betapa rapuhnya IM dalam mengendalikan roda perekonomian,
khususnya pada sektor riil. Publik yang awalnya mempunyai harapan besar tentang
kehidupan yang aman dan layak pasca-kemenangan IM dalam pemilu parlemen justru
berbalik menjadi kecewa dan kehilangan harapan.
Tantangan yang dihadapi IM semakin berat
karena mulai bermunculan langkah-langkah hukum untuk membubarkan IM. Sejak
1960-an, IM merupakan organisasi terlarang. Di samping itu, Partai Kebebasan
dan Keadilan yang didirikan oleh IM dianggap inkonstitusional karena
menggunakan agama sebagai pijakan partainya. Kartu ini ditengarai telah
dimainkan dengan baik oleh militer untuk menekan dominasi IM di panggung
politik Mesir.
Oleh karena itu, posisi IM saat ini sedang
terjepit. Pada ranah vertikal, IM mesti melakukan normalisasi hubungannya
dengan SCAF. Sementara secara horizontal, IM sebagai kekuatan politik mayoritas
harus menjadi pemersatu seluruh kelompok yang berjuang melahirkan konstitusi
yang mampu memenuhi dan menjamin kepentingan semua golongan.
Harus diakui, masa depan demokrasi di Mesir
mempunyai kerentanan yang luar biasa akibat rapuhnya sistem sosial-politik dan
hilangnya rasa aman. Jika tidak diantisipasi dengan baik, fenomena friksi dan
fragmentasi politik—sebagaimana terjadi di Sudan—akan terulang kembali di
negeri ”Kinanah” ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar