Kamis, 21 Juni 2012

PKH dan Masyarakat Miskin


PKH dan Masyarakat Miskin
Abdul Halim Mahally ; Peserta Program Doktoral pada National University of Malaysia, Selangor, Malaysia; Korwil PKH Provinsi Riau
Sumber :  REPUBLIKA, 20 Juni 2012


Hingga saat ini, program keluarga harapan (PKH) belum dikenal luas di Indonesia. Memang, PKH tak setenar lembaga KPK yang hampir tiap hari menjadi headline di media massa, baik cetak maupun elektronik. Padahal, PKH adalah program nasional dalam membantu keluarga sangat miskin (KSM) di Tanah Air guna memperoleh layanan gratis pendidikan dan kesehatan.

Jika KPK semacam “malaikat pencabut nyawa“ untuk para terduga koruptor di berbagai belahan pojok negeri ini maka PKH justru menjadi “malaikat penyelamat“ bagi masyarakat keluarga miskin.

Pertanyaan yang layak diajukan adalah apakah PKH itu? Samakah dengan bantuan langsung tunai (BLT)? Mengapa banyak pemerintah daerah yang begitu menginginkan program tersebut? Apa saja syarat untuk mendapatkannya? Tulisan sederhana ini hendak mendeskripsikan program keluarga harapan secara general sekaligus menjawab sederet pertanyaan di atas.

Perlindungan Sosial

Program keluarga harapan diadopsi dari sejumlah negara di kawasan Amerika Latin, seperti Brasil, Cile, Nikaragua, dan Meksiko (2003). Di kawasan Asia Tenggara, Filipina dan Indonesia adalah negara yang menguji coba program untuk keluarga sangat miskin ini.

Pemerintah Indonesia melalui Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang diketuai wakil presiden RI dan terdiri atas sejumlah kementerian terkait (Kemensos, Kemendikbud, Kemenkes, Kemendagri, Kemenag, Kemenkominfo, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Bappenas) telah menerapkan PKH di tujuh provinsi pada 2007.

Kementerian Sosial melalui Direktorat Jaminan Sosial membentuk unit pelaksana PKH (UPPKH) Pusat yang berfungsi sebagai pelaksana teknis dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota. Seperti dipaparkan Menteri Sosial Salim Djufri Assegaf dan Dirjen Perlindungan Sosial di Kementerian Sosial Andi ZA Dulung pada Rakornas PKH di Bandung (21-22 Maret 2012), pemerintah menargetkan KSM penerima PKH sebanyak tiga juta jiwa pada 2014.

Dalam perjalanannya, PKH dikembangkan di 25 provinsi pada 2011 dan telah mencakup 33 provinsi pada awal 2012. Tujuan PKH di antaranya adalah memberikan akses pelayanan pendidikan dan kesehatan secara gratis kepada masyarakat yang masuk domain KSM. Program perlindungan sosial (social protection) semacam ini tidak diragukan lagi sangat bermanfaat bagi minimalisasi angka kemiskinan di suatu negara.

Syarat memperoleh PKH

Berbeda dengan BLT, pada PKH ada persyaratan khusus yang ditetapkan pemerintah. Karena itu disebut conditional cash transfer atau bantuan tunai bersyarat pertama, peserta PKH adalah KSM yang memiliki ibu hamil (bumil) atau balita. Kedua, peserta PKH adalah KSM yang memiliki anak didik usia enam-15 tahun (SD/SMP).

Ketiga, peserta PKH adalah KSM yang telah terdaftar di BPS. Berdasarkan pada data BPS berisi jumlah KSM yang diajukan oleh bupati/wali kota ke Kementerian Sosial selaku instansi yang ditunjuk TNP2K untuk melaksanakan teknis program, dilakukan verifikasi dan validasi data BPS oleh para pendamping dan operator di masing-masing kabupaten/kota penerima PKH.

Para pendamping dan operator minimal berpendidikan D-3 dan diseleksi langsung oleh tim rekrutmen yang terdiri atas Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, dan praktisi sosial/akademisi. Dinas Sosial di kabupaten/kota hanya bertugas menyeleksi persyaratan administrasi.

Setelah diberikan diklat dan bimbingan teknis maka para pendamping dan operator bertugas melakukan validasi dan verifikasi terhadap data KSM yang diajukan kepada Kementerian Sosial. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara program BLT dan PKH. Bisa saja data BPS tentang keluarga sangat miskin yang diajukan oleh bupati/wali kota, misalnya, 10 ribu KSM di suatu kabupaten/kota pada akhirnya hanya tersisa 7.000 KSM yang benar-benar “berhak“ memperoleh PKH sesuai dengan syarat-syarat di atas.

Sehingga, dugaan adanya praktik KKN pada saat pendataan KSM dapat dicegah. Besaran dana yang diterima KSM peserta PKH bervariasi, mulai Rp 2,2 juta hingga minimal Rp 600 ribu per tahun yang dibayarkan selama empat tahap melalui PT Pos atau BRI.

KSM penerima bantuan dikurangi Rp 50 ribu-Rp 150 ribu dari total nominal bantuannya jika--misalnya--tidak memeriksakan diri ke puskesmas/posyandu selama kehamilan atau anakanak KSM yang di tingkat SD dan SMP absensi kehadiran di sekolahnya tidak mencapai 80 persen pada setiap tahap penerimaan bantuan.

Walhasil, program keluarga harapan sangat bermanfaat untuk rakyat kecil di negeri ini. Dan, selaras dengan pengembangan wilayah PKH ke sejumlah provinsi yang dilakukan Kementerian Sosial maka semakin banyak pula pemerintah daerah yang hendak mendapatkan program ini. Apalagi, pemerintah daerah tidak perlu terbebani APBDnya karena APBN telah menggelontorkan dana miliaran rupiah sesuai dengan jumlah data 
keluarga sangat miskin.

Sesuai MoU dengan pusat, pemerintah daerah hanya berkewajiban memastikan tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan serta sekretariat UPPKH dari tingkat provinsi hingga kabupaten. Penulis berharap, birokrasi di daerah lebih memudahkan bagi masyarakat keluarga sangat miskin untuk memperoleh manfaat maksimal dari PKH.

Apalagi, program yang pada 2011 didampingi oleh 4.077 orang dan 510 operator di berbagai daerah ini tidaklah dirancang untuk satu periode pemerintahan saja, tetapi sustainable atau berkelanjutan. Sebab, siapa pun yang menjadi presiden di negara kita, masyarakat sangat miskin tetap (akan selalu) ada. Karena itu, para pemimpin harus serius dalam mengayomi masyarakat miskin jika tak hendak dipersalahkan oleh sejarah perjalanan bangsa ini. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar