Euro,
Euforia, Eureka
Agus Luthfi Rohman ; Mahasiswa Pascasarjana IAIN Sunan Ampel,
Alumnus Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo
Sumber : REPUBLIKA,
20 Juni 2012
Tahun
2012 ini, Polandia Ukraina menjadi tempat perhelatan Piala Eropa (Euro), kompetisi
sepak bola paling akbar antarne gara di Benua Biru itu. Pertarungan antarjawara
telah lolos babak kualifikasi. Pesta sepak bola hanya terjadi empat tahun
sekali di Benua Eropa.
Para
suporter dari seluruh penjuru Eropa berbondong-bondong menuju satu titik di
mana kompetisi itu dihelat untuk mendukung timnas mereka bahkan tidak sedikit
juga suporter luar Eropa--dari seluruh penjuru dunia-yang ikut nimbrung untuk
mendukung tim kesayangan atau untuk sekadar menyaksikan pertandingan menuju
puncak tertinggi kejuaraan tersebut. Eropa saat ini menjadi “surga“ bagi para
pesepak bola profesional. Hal ini tidak terlepas dari “nikmat-nikmat surga
dunia“ yang mereka dapatkan sebagai “balasan“ atas apa yang mereka tunjukkan di
atas lapangan.
Berangkat
dari hal ini, banyak dari para pesepak bola seantero planet Bumi ini yang
tergiur dengan iming-iming tersebut. Gaji selangit, popularitas, karier, dan
hal-hal yang mampu membuat manusia seperti mabuk kepayang bisa mereka dapatkan
hanya dengan bermodalkan keahlian dalam mengolah bola.
Apalagi
setelah banyak bukti nyata dari para senior mereka yang telah lebih dulu terjun
ke dalamnya yang mampu memperbaiki taraf hidup. Olahraga yang dulu hanya
sekadar hiburan, kini telah menjadi industri. Pemain yang dulunya sangat miskin
menjadi sangat kaya, dari anak jalanan menjadi anak gedongan, dari hidup yang
penuh masalah kesederhanaan kini menjadi glamor dengan gelimang harta benda
yang supermewah. Praktis hal ini semakin membuat para pesepak bola di luar
benua tersebut iri dan kepincut untuk mengikuti jejak mereka.
Piala
eropa yang dihelat Juni-Juli ini telah sukses mencuri perhatian dunia.
Kompetisi yang merupakan ajang terbesar kedua setelah Piala Dunia mampu menyedot perhatian besar masyarakat. Kompetisi ini mampu mengalahkan kompetisi dari benua lainnya.
Kompetisi yang merupakan ajang terbesar kedua setelah Piala Dunia mampu menyedot perhatian besar masyarakat. Kompetisi ini mampu mengalahkan kompetisi dari benua lainnya.
Hal
ini, menurut penulis, adalah imbas dari banyaknya pesepak bola-pesepak bola top
yang membanjiri dan merata di daratan Eropa. Disamping pengaruh image yang
sudah terpatri di pikiran masyarakat bahwa liga-liga di benua Eropa adalah
liga-liga yang berkualitas. Karena itu, banyak pesepak bola dari berbagai
negara berebut untuk bisa bermain di liga Eropa, seperti Liga Primer Inggris,
La Liga Spanyol, Bundesliga Jerman, Eredivisie Belanda, Liga Prancis, dan
lainnya.
Bak
sebuah keniscayaan bahwa pertandingan-pertandingan Piala Eropa selalu banyak
disaksikan bahkan secara langsung maupun siaran tunda. Perhelatan Piala Eropa
menjadi salah satu bentuk euforia tim yang telah lolos babak kualifikasi, yang
klimaksnya adalah ketika salah satu tim berhasil menjuarai turnamen tersebut.
Ketika hal itu terjadi maka atmosfer klimaks euforia itu tidak hanya terasa di
Polandia-Ukraina tempat final Euro akan digelar saja, namun juga di negara
tempat jawara itu berasal dan di penjuru dunia yang turut mendukung tim jawara.
Sepak
bola pada masa kini menjelma menjadi salah satu olahraga yang paling populer
dan digandrungi hampir seluruh penduduk Bumi. Di antara mereka ada yang
terpengaruh oleh sekelilingnya, ada juga yang memang penikmat dan pecinta olahraga
ini. Dan, ada pula yang hanya sekadar ikut-ikutan daripada menjadi orang asing
di lingkungan sendiri. Situasi seperti ini dimanfaatkan dengan baik oleh
orang-orang yang melek dan memiliki kepekaan tinggi dalam hal bisnis. Karena
banyaknya demand, otomatis supply juga akan diperbanyak dan profit
akan terus menanjak sehingga hal ini menjadi lahan penghasil uang bagi mereka.
Lagi-lagi,
penulis ingin berandaiandai dengan menggambarkan sepak bola sebagai “agama baru“ yang muncul di muka bumi.
Dalam “agama“ ini, tim-tim sepak bola
menjadi sekte-sekte atau aliran-alirannya, pelatih tim berperan sebagai kiai
atau pasturnya, asisten pelatih dan staf sebagai ustaz atau biarawannya, para
pemain yang dilatih sebagai santri atau muridnya, fans sebagai pengikut aliran-aliran
tersebut.
Holligan, Ultras, dan sebutan lain untuk suporter
fanatik diandaikan sebagai pengikut garis kerasnya, lapangan sebagai tempat
ibadahnya. “Agama“ ini menyerukan
kekompakan, persatuan, dan menihilkan perbedaan walaupun pada praktiknya banyak
sekali kasus yang terkait individualisme, perselisihan, dan rasisme.
Di
dalamnya juga terdapat perintah dan larangan yang apabila dilanggar akan
mendatangkan hukuman atau balasan, seperti perintah untuk berdisiplin dalam
latihan yang apabila tidak dikerjakan akan mendatangkan “dosa“ yang berakibat pada hukuman berupa skors atau tidak
dimainkan. Dan, seperti larangan untuk melakukan tackle keras yang bila dilakukan akan mendapatkan ganjaran berupa
kartu peringatan.
Sepak
bola bagaikan “agama“ unik yang
statistik jumlah penganutnya terus meningkat yang terdiri dari berbagai agama
dan elemen masyarakat, “agama“ yang
menghibur dan menyenangkan para pecintanya. Bahkan, bisa membuat para suporter
yang fanatik lupa akan kewajiban-kewajiban agamanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar