Pidato
Muzadi dan Intoleransi
Victor Silaen ; Dosen
FISIP Universitas Pelita Harapan
Sumber : SINAR
HARAPAN, 20 Juni 2012
Nama KH Hasyim Muzadi kerap disebut-sebut
dalam media-media sosial akhir-akhir ini. Pasalnya, pidato mantan Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini, akhir Mei lalu, begitu tegas membantah
tudingan tentang adanya intoleransi agama di Indonesia.
Pidato yang disampaikan Muzadi di Sidang PBB
di Jenewa, dalam kapasitasnya sebagai Presiden World Coference on Relegions for Peace (WCRP), itu antara lain
menyinggung soal GKI Yasmin dan menyebut Indonesia sebagai negara muslim.
“Selama
berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun yang setoleran
Indonesia. Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah Ahmadiyah, memang karena
Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan stempel
Islam dan berorientasi politik Barat,” ujarnya.
Ia mengatakan, seandainya Ahmadiyah merupakan
agama tersendiri, pasti tidak akan dipersoalkan oleh umat Islam. “Kalau yang jadi ukuran adalah GKI Taman
Yasmin Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin
selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk
kepentingan lain daripada masalahnya selesai,” kata Muzadi.
Saya ingin mengkritik beberapa hal terkait
pidato tersebut. Pertama, tepatkah mengatakan Indonesia adalah “negara muslim”? Istilah ini sungguh absurd. Kalau “muslim” berarti
“orang-orang yang beragama Islam”, apakah Indonesia merupakan negara untuk
orang-orang yang beragama Islam saja? Jelas tidak. Atas dasar itu ke depan,
siapa pun hendaknya tak lagi menyebut Indonesia sebagai “negara muslim”.
Tidakkah teramat jelas bagi kita bahwa
Indonesia bukanlah sebentuk negara agama, melainkan negara berdasarkan
Pancasila? Dalam Pancasila memang ada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Namun, bukankah sila tersebut sama sekali tak menyebut agama
tertentu?
Kedua, apa maksud Muzadi mengatakan “... tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka
lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain
daripada masalahnya selesai”? Muzadi jelas harus bertanggung jawab atas
ucapannya itu.
Ini karena sepanjang yang saya ketahui
langsung dari jemaat maupun kuasa hukum GKI Yasmin, mereka justru ingin
mendapatkan penyelesaian atas masalah ini selekas mungkin.
Itu sebabnya, meski pihak GKI Yasmin secara
hukum sudah jelas “menang” di tingkat
Mahkamah Agung (MA), yang lalu diperkuat dengan rekomendasi Ombudsman, mereka masih mau juga diajak
memperbincangkan masalah ini, entah itu dengan pihak Kementerian Dalam Negeri,
DPR, atau lainnya.
Bahkan kemudian, pihak GKI Yasmin bersedia
diundang oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang Hukum dan
HAM Albert Hasibuan—termasuk dengan pihak Dewan Ketahanan Nasional
(Wantanas)—untuk membahas masalah ini.
Ketika awal Mei lalu akhirnya Wantimpres
(bersama Wantanas) merekomendasikan solusi atas kasus GKI Yasmin versus Pemkot
Bogor ini adalah “membangun masjid di
samping gedung GKI Yasmin, sehingga dengan begitu ada semacam simbol kerukunan
beragama dan toleransi beragama”, pihak GKI Yasmin pun dengan senang hati
menerimanya.
Namun, kalau rekomendasi tersebut ternyata
tak juga diterima oleh Wali Kota Bogor, pantaskah pihak GKI Yasmin yang
dipersalahkan? Ataukah pihak GKI Yasmin hanya dapat dibenarkan jika mereka “menerima tawaran untuk bersedia direlokasi”—sebagaimana
yang selalu dikatakan pihak Pemkot Bogor dan Kemdagri sebagai solusi atas
masalah ini? Tampaknya solusi tersebut memang baik.
Namun, tak pernahkah terpikir oleh Wali Kota
Bogor Diani Budiarto dan Mendagri Gamawan Fauzi (termasuk Presiden Yudhoyono,
yang pernah berjanji pada 16 Desember 2011, di rumahnya sendiri di Cikeas,
untuk turun tangan langsung menyelesaikan masalah ini), bahwa solusi “relokasi” tersebut merupakan sebentuk
pelecehan terhadap putusan MA dan rekomendasi Ombudsman yang memerintahkan Wali
Kota Bogor untuk taat hukum?
Jadi, siapa sesungguhnya yang tak ingin
masalah ini selesai? Kalau Muzadi mengatakan “Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk
kepentingan lain...”, mohon dijelaskan secara bertanggung jawab: siapa yang
lebih senang masalah ini tak selesai dan apa yang dimaksud kepentingan lain
itu?
Bagi pihak GKI Yasmin, apa untungnya
beribadah secara “gerilya”, kali ini
di rumah warga dan kali lain di depan Istana Merdeka—setelah sekian lama mereka
beribadah di trotoar dekat gereja tapi kemudian dihalau massa intoleran?
Sungguh, demi bertahan dalam kebenaranlah mereka rela berjerih-lelah hingga
kini.
Ketiga, tentang Indonesia yang toleran
menurut Muzadi, saya kira kita harus terbuka menerima hasil pelbagai survei
selama ini: bahwa Indonesia memang kian
intoleran dari era ke era. Berita dari situs tempo.co (5/6/2012), yang
mengutip hasil survei lembaga studi Center
of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, toleransi
beragama orang Indonesia tergolong rendah.
“Masyarakat menerima fakta bahwa mereka hidup
di tengah keberagaman. Tapi, mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman,” kata
Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte,
dalam diskusi bertajuk “Demokrasi Minim Toleransi” di kantornya, 5 Juni lalu.
Philips mencontohkan, masyarakat menerima
kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Namun, masyarakat
relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah
ibadah.
Dalam survei tersebut, 59,5 persen responden
tak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Namun sekitar 33,7
persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian dilakukan pada Februari lalu di
23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah
ibadah agama lain di lingkungannya, 68,2 persen responden menyatakan lebih baik
hal itu tidak dilakukan.
Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan.
Philips mengatakan hasil survei itu bisa menggambarkan persoalan mengapa begitu
banyak kasus pelarangan pembangunan rumah ibadah seperti kasus GKI Yasmin dan
HKBP Filadelfia. “Ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama masyarakat
ternyata masih rendah,” kata Philips.
Terkait itu, tak heran jika Indonesia menjadi
sorotan sejumlah negara dalam Sidang Universal
Periodical Review (UPR) 2nd Cycle
di Jenewa, 23 Mei lalu. Bukankah fakta bicara bahwa dari era ke era selalu ada
saja gereja yang dirusak/ditutup paksa?
Bahkan di era Yudhoyono (2004-2010), ada
sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan
paksa (Manado Post, 17/5/2012). Itu
baru gereja, belum termasuk rumah ibadah umat lainnya.
Jadi, lebih bijaklah jika kita dengan rendah
hati mengakui bahwa ada yang salah di negara ini terkait meningkatnya
intoleransi dewasa ini. Pertama, sikap pembiaran dari pemerintah. Kedua,
pendidikan nilai-nilai Pancasila yang gagal.
Untuk yang pertama, tak bisa tidak, supremasi
hukum harus ditegakkan. Untuk yang kedua, bukan proyek sosialisasi miliaran
rupiah yang harus dilakukan, melainkan para pemimpin yang harus memberi
keteladanan konkret di dalam kehidupan sesehari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar