Kamis, 21 Juni 2012

Pidato Muzadi dan Intoleransi


Pidato Muzadi dan Intoleransi
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
Sumber :  SINAR HARAPAN, 20 Juni 2012


Nama KH Hasyim Muzadi kerap disebut-sebut dalam media-media sosial akhir-akhir ini. Pasalnya, pidato mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini, akhir Mei lalu, begitu tegas membantah tudingan tentang adanya intoleransi agama di Indonesia.
Pidato yang disampaikan Muzadi di Sidang PBB di Jenewa, dalam kapasitasnya sebagai Presiden World Coference on Relegions for Peace (WCRP), itu antara lain menyinggung soal GKI Yasmin dan menyebut Indonesia sebagai negara muslim.
Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun yang setoleran Indonesia. Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah Ahmadiyah, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi politik Barat,” ujarnya.

Ia mengatakan, seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak akan dipersoalkan oleh umat Islam. “Kalau yang jadi ukuran adalah GKI Taman Yasmin Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain daripada masalahnya selesai,” kata Muzadi.

Saya ingin mengkritik beberapa hal terkait pidato tersebut. Pertama, tepatkah mengatakan Indonesia adalah “negara muslim”? Istilah ini sungguh absurd. Kalau “muslim” berarti “orang-orang yang beragama Islam”, apakah Indonesia merupakan negara untuk orang-orang yang beragama Islam saja? Jelas tidak. Atas dasar itu ke depan, siapa pun hendaknya tak lagi menyebut Indonesia sebagai “negara muslim”.

Tidakkah teramat jelas bagi kita bahwa Indonesia bukanlah sebentuk negara agama, melainkan negara berdasarkan Pancasila? Dalam Pancasila memang ada sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, bukankah sila tersebut sama sekali tak menyebut agama tertentu?

Kedua, apa maksud Muzadi mengatakan “... tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain daripada masalahnya selesai”? Muzadi jelas harus bertanggung jawab atas ucapannya itu.

Ini karena sepanjang yang saya ketahui langsung dari jemaat maupun kuasa hukum GKI Yasmin, mereka justru ingin mendapatkan penyelesaian atas masalah ini selekas mungkin.

Itu sebabnya, meski pihak GKI Yasmin secara hukum sudah jelas “menang” di tingkat Mahkamah Agung (MA), yang lalu diperkuat dengan rekomendasi Ombudsman, mereka masih mau juga diajak memperbincangkan masalah ini, entah itu dengan pihak Kementerian Dalam Negeri, DPR, atau lainnya.

Bahkan kemudian, pihak GKI Yasmin bersedia diundang oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang Hukum dan HAM Albert Hasibuan—termasuk dengan pihak Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas)—untuk membahas masalah ini.

Ketika awal Mei lalu akhirnya Wantimpres (bersama Wantanas) merekomendasikan solusi atas kasus GKI Yasmin versus Pemkot Bogor ini adalah “membangun masjid di samping gedung GKI Yasmin, sehingga dengan begitu ada semacam simbol kerukunan beragama dan toleransi beragama”, pihak GKI Yasmin pun dengan senang hati menerimanya.

Namun, kalau rekomendasi tersebut ternyata tak juga diterima oleh Wali Kota Bogor, pantaskah pihak GKI Yasmin yang dipersalahkan? Ataukah pihak GKI Yasmin hanya dapat dibenarkan jika mereka “menerima tawaran untuk bersedia direlokasi”—sebagaimana yang selalu dikatakan pihak Pemkot Bogor dan Kemdagri sebagai solusi atas masalah ini? Tampaknya solusi tersebut memang baik.

Namun, tak pernahkah terpikir oleh Wali Kota Bogor Diani Budiarto dan Mendagri Gamawan Fauzi (termasuk Presiden Yudhoyono, yang pernah berjanji pada 16 Desember 2011, di rumahnya sendiri di Cikeas, untuk turun tangan langsung menyelesaikan masalah ini), bahwa solusi “relokasi” tersebut merupakan sebentuk pelecehan terhadap putusan MA dan rekomendasi Ombudsman yang memerintahkan Wali Kota Bogor untuk taat hukum?

Jadi, siapa sesungguhnya yang tak ingin masalah ini selesai? Kalau Muzadi mengatakan “Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan lain...”, mohon dijelaskan secara bertanggung jawab: siapa yang lebih senang masalah ini tak selesai dan apa yang dimaksud kepentingan lain itu?

Bagi pihak GKI Yasmin, apa untungnya beribadah secara “gerilya”, kali ini di rumah warga dan kali lain di depan Istana Merdeka—setelah sekian lama mereka beribadah di trotoar dekat gereja tapi kemudian dihalau massa intoleran? Sungguh, demi bertahan dalam kebenaranlah mereka rela berjerih-lelah hingga kini.

Ketiga, tentang Indonesia yang toleran menurut Muzadi, saya kira kita harus terbuka menerima hasil pelbagai survei selama ini: bahwa Indonesia memang kian intoleran dari era ke era. Berita dari situs tempo.co (5/6/2012), yang mengutip hasil survei lembaga studi Center of Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, toleransi beragama orang Indonesia tergolong rendah.

“Masyarakat menerima fakta bahwa mereka hidup di tengah keberagaman. Tapi, mereka ragu-ragu menoleransi keberagaman,” kata Kepala Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, dalam diskusi bertajuk “Demokrasi Minim Toleransi” di kantornya, 5 Juni lalu.

Philips mencontohkan, masyarakat menerima kenyataan hidup bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Namun, masyarakat relatif enggan memberikan kesempatan kepada tetangganya untuk mendirikan rumah ibadah.

Dalam survei tersebut, 59,5 persen responden tak berkeberatan bertetangga dengan orang beragama lain. Namun sekitar 33,7 persen lainnya menjawab sebaliknya. Penelitian dilakukan pada Februari lalu di 23 provinsi dan melibatkan 2.213 responden. Saat ditanya soal pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya, 68,2 persen responden menyatakan lebih baik hal itu tidak dilakukan.

Hanya 22,1 persen yang tidak berkeberatan. Philips mengatakan hasil survei itu bisa menggambarkan persoalan mengapa begitu banyak kasus pelarangan pembangunan rumah ibadah seperti kasus GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. “Ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi beragama masyarakat ternyata masih rendah,” kata Philips.

Terkait itu, tak heran jika Indonesia menjadi sorotan sejumlah negara dalam Sidang Universal Periodical Review (UPR) 2nd Cycle di Jenewa, 23 Mei lalu. Bukankah fakta bicara bahwa dari era ke era selalu ada saja gereja yang dirusak/ditutup paksa?

Bahkan di era Yudhoyono (2004-2010), ada sekitar 2.442 gereja yang mengalami gangguan berupa perusakan dan penutupan paksa (Manado Post, 17/5/2012). Itu baru gereja, belum termasuk rumah ibadah umat lainnya.

Jadi, lebih bijaklah jika kita dengan rendah hati mengakui bahwa ada yang salah di negara ini terkait meningkatnya intoleransi dewasa ini. Pertama, sikap pembiaran dari pemerintah. Kedua, pendidikan nilai-nilai Pancasila yang gagal.

Untuk yang pertama, tak bisa tidak, supremasi hukum harus ditegakkan. Untuk yang kedua, bukan proyek sosialisasi miliaran rupiah yang harus dilakukan, melainkan para pemimpin yang harus memberi keteladanan konkret di dalam kehidupan sesehari. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar