Sangkaan
Salah Buku Sekolah
Agus M Irkham ; Kepala
Departemen Penelitian dan Pengembangan
Pengurus Pusat
Forum Taman Bacaan Masyarakat
Sumber : KORAN
TEMPO, 20 Juni 2012
"Kampanye" anti-membaca buku
kembali berulang. Sementara dulu menyasar buku-buku wacana kiri jauh
(sosialisme-komunisme) dan kanan jauh (radikalisme agama), kini giliran
buku-buku pengayaan di perpustakaan. Ada Duka di Wibeng, Tidak Hilang Sebuah
Nama, Syahid Samurai, dan Festival Syahadah adalah empat judul novel
yang diprasangkai sebagai novel porno. Keempat novel tersebut terselip di
antara ribuan buku perpustakaan sekolah dasar, baik di Jawa Tengah (Kabupaten
Kebumen) maupun di Jawa Barat (Kabupaten Bandung).
Di Jawa Tengah berujung pada penarikan. Pun
di sebagian SD di Jawa Barat. Bahkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat merasa
perlu--atas desakan sebagian kecil masyarakat--turut meneliti pula apakah
keempat novel tersebut porno atau tidak. Termasuk rencana bekerja sama dengan
pihak kepolisian dalam teknis penarikannya di seluruh perpustakaan SD se-Jawa
Barat jika memang, berdasarkan hasil penelitian MUI, keempat novel tersebut
tergolong lucah (cabul).
Isu terus menggelinding. DPR pun berencana
meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kejelasan dan penjelasan
(klarifikasi) keempat novel itu. Sebab, keempatnya dinyatakan lolos berdasarkan
penilaian Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Nasional. Artinya, buku tersebut layak dibaca oleh siswa.
Di tengah keriuhan yang kian meninggi tentang
isi buku sekolah yang disangkakan salah (lucah) itu, ada tiga temuan
menarik--untuk tidak mengatakan penuh misteri--yang saya dapat.
Pertama, keempat novel itu ditemukan di
perpustakaan SD, padahal isinya bukan untuk pembaca yang duduk di bangku SD.
Bahkan, buku Ada Duka di Wibeng, di sampul depan dan belakangnya
jelas-jelas ditulis untuk remaja (teenager). Setting atau latar
cerita juga sekolah menengah atas, termasuk tokoh-tokoh yang ada, lengkap
dengan tema yang diangkat dan perbincangan tokoh-tokohnya yang khas anak SMA.
Dari sini muncul pertanyaan kunci, bagaimana
ceritanya buku yang jelas-jelas untuk anak SMA tersebut bisa tersesat di
perpustakaan SD. Dugaan sementara, ini akibat sistem distribusi yang acak
adut, dengan mengabaikan kualifikasi isi dan karakteristik sasaran penerima
(pembaca). Kebetulan keempat novel itu didistribusikan melalui mekanisme Dana
Alokasi Khusus pemerintah pusat ke daerah.
Kedua, entah kebetulan entah tidak, keempat
novel yang disyakwasangkai lucah itu adalah karya para penulis yang tergabung
dalam Forum Lingkar Pena (FLP). Tentu
publik luas memahami betul bahwa forum yang diprakarsai oleh Helvy Tiana Rosa
ini berfokus pada upaya menjadikan buku (sastra) sebagai sarana atau alat untuk
berdakwah. Sastra Islam, demikian frasa yang mereka kenalkan sejak 15 tahun
lampau hingga kini. Buat para pembaca awam, termasuk kami yang bergiat di Taman
Bacaan Masyarakat (TBM), temuan kedua ini sangat paradoksal. Rasa-rasanya
mustahil jika FLP yang mengusung karya sastra Islam justru menulis hal-ihwal
yang menjurus ke pornografi.
Atas dasar itu, ikhtisar kuat saya, sangkaan
porno itu salah. Saya tidak sampai hati dan gegabah menduga-duga bahwa isu
pornografi ini menjadi modus "kelompok tertentu" untuk menjaili FLP. Asnad yang bisa saya kemukakan paling
akibat cara pembacaan yang sepenggal-sepenggal, tidak memahami konteks
keseluruhan cerita, tidak mampu menemukan unsur pembangun cerita yang bersifat
simbolis (intrinsik), dan terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Bisa
jadi--mohon maaf, dengan berat hati harus saya katakan--ini cermin masih
rendahnya tingkat mamah kertas (memahami bacaan) masyarakat, terutama para
pemilik kuasa birokrasi pendidikan di daerah, termasuk para guru.
Ketiga, saya mendapatkan temuan yang
lagi-lagi "kebetulan". Keempat novel tersebut diterbitkan oleh
penerbit yang sama, yaitu PT Era Adi Citra Intermedia Solo. Tilikan itu di
kalangan para pegiat literasi memunculkan rupa-rupa dugaan. Salah satunya, isu
buku porno adalah akibat persaingan bisnis antar-"kartel"
(konsorsium) penerbit buku proyek belaka. Sebab, keempatnya memang dipasarkan
melalui DAK. Benar-tidaknya dugaan itu, saya kira perlu ada investigasi
tersendiri. Yang jelas, sudah menjadi jamak diketahui bahwa "kue
buku" melalui DAK ini besar sekali.
Tentang kabar pustaka ini, menurut saya, kita
harus berhati-hati. Jangan serba tergopoh-gopoh mengambil kesimpulan.
Lebih-lebih langsung digulirkan ke masyarakat melalui media. Jangan sampai
justru menjadi serangan balik (kampanye negatif) bagi upaya gerakan budaya
membaca secara luas. Kekhawatiran kami, para pegiat literasi dan pengelola TBM,
berita-berita negatif tentang buku, khususnya isu porno, akan membuat para orang
tua semakin menjauhkan anak-anaknya dari TBM dan perpustakaan tempat buku
dihimpun dan dilayangkan, dengan dalih khawatir bakal membaca buku porno.
Tuduhan buku porno adalah sangkaan serius.
Dan itu bisa membunuh karakter penulis dan penerbitnya yang dalam konteks
budaya baca berarti terkait dengan produktivitas buku dan jaminan ketersediaan
bacaan, baik ragam (kualitas) maupun jumlah (kuantitas). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar