Kamis, 21 Juni 2012

Sangkaan Salah Buku Sekolah


Sangkaan Salah Buku Sekolah
Agus M Irkham ; Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan
Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat
Sumber :  KORAN TEMPO, 20 Juni 2012


"Kampanye" anti-membaca buku kembali berulang. Sementara dulu menyasar buku-buku wacana kiri jauh (sosialisme-komunisme) dan kanan jauh (radikalisme agama), kini giliran buku-buku pengayaan di perpustakaan. Ada Duka di Wibeng, Tidak Hilang Sebuah Nama, Syahid Samurai, dan Festival Syahadah adalah empat judul novel yang diprasangkai sebagai novel porno. Keempat novel tersebut terselip di antara ribuan buku perpustakaan sekolah dasar, baik di Jawa Tengah (Kabupaten Kebumen) maupun di Jawa Barat (Kabupaten Bandung).

Di Jawa Tengah berujung pada penarikan. Pun di sebagian SD di Jawa Barat. Bahkan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat merasa perlu--atas desakan sebagian kecil masyarakat--turut meneliti pula apakah keempat novel tersebut porno atau tidak. Termasuk rencana bekerja sama dengan pihak kepolisian dalam teknis penarikannya di seluruh perpustakaan SD se-Jawa Barat jika memang, berdasarkan hasil penelitian MUI, keempat novel tersebut tergolong lucah (cabul).

Isu terus menggelinding. DPR pun berencana meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kejelasan dan penjelasan (klarifikasi) keempat novel itu. Sebab, keempatnya dinyatakan lolos berdasarkan penilaian Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional. Artinya, buku tersebut layak dibaca oleh siswa.

Di tengah keriuhan yang kian meninggi tentang isi buku sekolah yang disangkakan salah (lucah) itu, ada tiga temuan menarik--untuk tidak mengatakan penuh misteri--yang saya dapat.

Pertama, keempat novel itu ditemukan di perpustakaan SD, padahal isinya bukan untuk pembaca yang duduk di bangku SD. Bahkan, buku Ada Duka di Wibeng, di sampul depan dan belakangnya jelas-jelas ditulis untuk remaja (teenager). Setting atau latar cerita juga sekolah menengah atas, termasuk tokoh-tokoh yang ada, lengkap dengan tema yang diangkat dan perbincangan tokoh-tokohnya yang khas anak SMA.

Dari sini muncul pertanyaan kunci, bagaimana ceritanya buku yang jelas-jelas untuk anak SMA tersebut bisa tersesat di perpustakaan SD. Dugaan sementara, ini akibat sistem distribusi yang acak adut, dengan mengabaikan kualifikasi isi dan karakteristik sasaran penerima (pembaca). Kebetulan keempat novel itu didistribusikan melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus pemerintah pusat ke daerah.

Kedua, entah kebetulan entah tidak, keempat novel yang disyakwasangkai lucah itu adalah karya para penulis yang tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP). Tentu publik luas memahami betul bahwa forum yang diprakarsai oleh Helvy Tiana Rosa ini berfokus pada upaya menjadikan buku (sastra) sebagai sarana atau alat untuk berdakwah. Sastra Islam, demikian frasa yang mereka kenalkan sejak 15 tahun lampau hingga kini. Buat para pembaca awam, termasuk kami yang bergiat di Taman Bacaan Masyarakat (TBM), temuan kedua ini sangat paradoksal. Rasa-rasanya mustahil jika FLP yang mengusung karya sastra Islam justru menulis hal-ihwal yang menjurus ke pornografi.

Atas dasar itu, ikhtisar kuat saya, sangkaan porno itu salah. Saya tidak sampai hati dan gegabah menduga-duga bahwa isu pornografi ini menjadi modus "kelompok tertentu" untuk menjaili FLP. Asnad yang bisa saya kemukakan paling akibat cara pembacaan yang sepenggal-sepenggal, tidak memahami konteks keseluruhan cerita, tidak mampu menemukan unsur pembangun cerita yang bersifat simbolis (intrinsik), dan terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Bisa jadi--mohon maaf, dengan berat hati harus saya katakan--ini cermin masih rendahnya tingkat mamah kertas (memahami bacaan) masyarakat, terutama para pemilik kuasa birokrasi pendidikan di daerah, termasuk para guru.

Ketiga, saya mendapatkan temuan yang lagi-lagi "kebetulan". Keempat novel tersebut diterbitkan oleh penerbit yang sama, yaitu PT Era Adi Citra Intermedia Solo. Tilikan itu di kalangan para pegiat literasi memunculkan rupa-rupa dugaan. Salah satunya, isu buku porno adalah akibat persaingan bisnis antar-"kartel" (konsorsium) penerbit buku proyek belaka. Sebab, keempatnya memang dipasarkan melalui DAK. Benar-tidaknya dugaan itu, saya kira perlu ada investigasi tersendiri. Yang jelas, sudah menjadi jamak diketahui bahwa "kue buku" melalui DAK ini besar sekali.

Tentang kabar pustaka ini, menurut saya, kita harus berhati-hati. Jangan serba tergopoh-gopoh mengambil kesimpulan. Lebih-lebih langsung digulirkan ke masyarakat melalui media. Jangan sampai justru menjadi serangan balik (kampanye negatif) bagi upaya gerakan budaya membaca secara luas. Kekhawatiran kami, para pegiat literasi dan pengelola TBM, berita-berita negatif tentang buku, khususnya isu porno, akan membuat para orang tua semakin menjauhkan anak-anaknya dari TBM dan perpustakaan tempat buku dihimpun dan dilayangkan, dengan dalih khawatir bakal membaca buku porno.

Tuduhan buku porno adalah sangkaan serius. Dan itu bisa membunuh karakter penulis dan penerbitnya yang dalam konteks budaya baca berarti terkait dengan produktivitas buku dan jaminan ketersediaan bacaan, baik ragam (kualitas) maupun jumlah (kuantitas). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar