‘Peniup
Peluit’ dan Suap Pajak
Metta Dharmasaputra ; Direktur
Eksekutif Katadata
Sumber : KORAN
TEMPO, 20 Juni 2012
Sebuah momen penting terselip di balik kasus
pajak yang ditengarai melibatkan PT Bhakti Investama Tbk milik pengusaha Hary Tanoesoedibjo.
Bisikan "orang dalam"
Direktorat Jenderal Pajak telah mengantarkan Komisi Pemberantasan Korupsi pada
pengungkapan skandal baru suap pajak di negeri ini.
Berbekal informasi itu, KPK pada 5 Juni lalu
berhasil menangkap basah pegawai Pajak yang diduga sedang melakukan "transaksi gelap" dengan seorang
pengusaha. Hingga kini, belum jelas benar status si pengusaha itu: karyawan
Bhakti atau konsultan pajak. Yang terang, saat keduanya ditangkap di sebuah
restoran, ada uang Rp 280 juta yang diduga sebagai dana rasuah.
Terkuaknya kasus ini membuktikan bahwa peran whistleblower
alias "peniup peluit" amat sentral dalam pengungkapan skandal pajak.
Upaya reformasi Direktorat Pajak dengan menggandeng KPK untuk membersihkan
institusinya dari korupsi dan suap yang menjeratnya berpuluh tahun patut
diapresiasi. Kebijakannya menggalakkan sistem peniup peluit di kalangan
internal direktorat itu pun selayaknya diikuti oleh institusi pemerintah
lainnya.
Setiap peniup peluit, seperti dinyatakan
Dirjen Pajak Fuad Rahmany, akan diberi insentif promosi karier jika
informasinya terbukti sahih. Menteri Keuangan Agus Martowardojo juga
menegaskan, sistem whistleblower diterapkan di seluruh eselon I
Kementerian Keuangan, meski belum ada mekanisme imbalan dalam bentuk finansial.
Di berbagai negara, penerapan sistem whistleblower
sesungguhnya punya sejarah panjang dan sudah jauh lebih agresif. Sistem ini pun
terbukti paling ampuh. Sebuah studi terhadap 230 kasus manipulasi perusahaan di
Amerika Serikat menunjukkan, 19,2 persen kasus terungkap berkat informasi
karyawan perusahaan. Adapun peran media dan regulator hanya 16 persen, lalu
auditor 14,1 persen serta Badan Pengawas Pasar Modal Amerika (SEC) cuma 5,8
persen.
Istilah whistleblower pada mulanya
berasal dari kebiasaan polisi Inggris membunyikan peluit sebagai tanda
terjadinya suatu kejahatan. Namun belakangan, whistleblower dipakai
untuk menyebut seseorang yang menginformasikan ihwal praktek suatu kejahatan,
termasuk tindak manipulasi dan praktek korupsi.
Salah seorang whistleblower paling
terkenal dalam sejarah adalah Dr Jeffrey S. Wigand. Laporannya yang mengungkap
skandal perusahaan rokok raksasa di Amerika bahkan diabadikan dalam film
berjudul The Insider. Bekas vice president pada Divisi Riset dan
Pengembangan Brown & Williamson (Kentucky) itu dipecat lantaran mengetahui
informasi rahasia tentang kebusukan internal perusahaan.
Kepada stasiun televisi CBS, Wigand
menyatakan Brown & Williamson telah memanipulasi campuran tembakau dalam
rokok dengan menaikkan kadar nikotin. Ini dilakukan guna meningkatkan efek
kecanduan. Gara-gara pengakuannya itu, ia menerima sejumlah ancaman pembunuhan.
Bagi para peniup peluit seperti Wigand, proteksi penuh jelas amat dibutuhkan.
Untuk itu, sejumlah undang-undang di Amerika telah mengaturnya dengan ketat.
Salah satu yang tertua adalah undang-undang federal The False Claims Act atau Lincoln
Law yang lahir pada 1863.
Undang-undang ini awalnya diciptakan untuk
memerangi manipulasi oleh para pemasok amunisi senjata dan obat-obatan selama
perang saudara (1861-1865). Langkah terobosan ini juga diperlukan guna
mendobrak keengganan para jaksa di Departemen Kehakiman mengusut kasus-kasus
manipulasi. Berdasarkan konstitusi ini, seorang whistleblower tidak
hanya dilindungi keselamatannya, tapi juga mendapat imbalan yang dikenal dengan
sebutan qui tam, yaitu 15-30 persen dari uang yang terselamatkan.
Undang-undang ini terbukti ampuh. Setelah
diamendemen pada 1986, setahun kemudian pemerintah berhasil menyelamatkan duit
negara hampir US$ 22 miliar. Dari uang yang diselamatkan itu, sekitar US$ 1
miliar dibagikan kepada ratusan whistleblower. Sistem inilah yang
kemudian juga diadopsi oleh Internal
Revenue Service, lembaga pajak pemerintah Amerika.
Undang-undang perlindungan saksi lainnya di
Amerika adalah The Whistleblower
Protection Act yang diluncurkan pada 1989. Konstitusi ini khusus dirancang
untuk melindungi para peniup peluit atau orang yang bekerja di pemerintahan dan
melaporkan adanya ketidakberesan di institusinya.
Di sektor korporat, Kongres Amerika pada 2002
juga telah mengesahkan The Sarbanes-Oxley
Act yang dilengkapi aturan perlindungan bagi whistleblower.
Undang-undang ini dilansir setelah Amerika diguncang rentetan skandal
manipulasi laporan keuangan yang melibatkan firma akuntansi raksasa Arthur
Andersen di sejumlah perusahaan, seperti Enron,
WorldCom, dan Tyco.
Di bawah payung sejumlah undang-undang itu,
para whistleblower mendapat perlindungan penuh dari pemerintah. Mereka
pun dimasukkan dalam program perlindungan saksi atau The Witness Protection Program (WitSec) yang dirintis oleh jaksa
legendaris Gerald Shur. Sejak program ini dilansir pada 1970, sedikitnya 7.500
saksi dan 9.500 anggota keluarga mereka telah dilindungi.
Melihat berbagai kisah sukses itu, kini
saatnya pemerintah menerapkan sistem whistleblower secara lebih agresif.
Apalagi kisah buram kerap mewarnai perjalanan para peniup peluit di Indonesia.
Endin Wahyudin, pelapor kasus penyuapan tiga hakim agung, dipenjara karena
dianggap mencemarkan nama baik. Khairiansyah Salman, mantan auditor Badan
Pemeriksa Keuangan, yang melaporkan kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum,
dijadikan tersangka dengan tuduhan korupsi atas Dana Abadi Umat Rp 10 juta.
Lebih ironis lagi nasib Vincentius Amin
Sutanto. Pelapor dugaan megaskandal pajak Asian Agri Group milik taipan Sukanto
Tanoto senilai Rp 1,3 triliun ini malah dijerat dengan dakwaan pencucian uang.
Ia divonis 11 tahun penjara dan tak ada pengurangan keringanan hukuman, seperti
yang dijanjikan dalam undang-undang.
Ini sudah tahun keenam mantan Financial Group Controller Asian Agri
itu dibui. Permohonan grasi yang diajukan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pun belum berbalas. Malah terpidana kasus narkotik asal Australia,
Schapelle Leigh Corby, yang lebih dulu menikmati pengampunan. Celakanya lagi,
pengadilan belum lama ini telah mementahkan hasil investigasi tim Pajak dan
malah memenangkan Asian Agri. Padahal dakwaan itu didasarkan pada bukti
"segunung" yang disodorkan Vincent, plus hasil penyitaan tim Pajak.
Melihat kondisi ini, tampaknya perlu
terobosan pemerintah dalam penerapan sistem imbalan dan proteksi bagi para
peniup peluit guna memerangi korupsi pajak. Dengan demikian, diharapkan para
penjahat pajak kelas kakap di negeri ini dapat diringkus, seperti nasib raja
mafia Al Capone yang berujung di penjara Alcatraz. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar