Ekonomi
Hijau dan Implikasinya bagi Indonesia
Achmad Fauzi ; Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan;
Ketua Program Pascasarjana Ekonomi Sumber Daya Alam dan
Lingkungan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
Sumber : MEDIA
INDONESIA, 20 Juni 2012
PEKAN
ini para pemimpin dunia berkum pul di Rio de Janeiro, Brasil, untuk merumuskan
kembali komitmen pembangunan berkelanjutan yang sudah didengungkan sejak 20
tahun sebelumnya. Pertemuan Rio+20 mengusung tema `ekonomi hijau' sebagai
sebuah paradigma pembangunan yang tidak hanya ramah terhadap lingkungan, tetapi
juga inklusif secara sosial.
Ada
alasan yang fundamental mengapa pertemuan KTT tersebut penting. Meski 40 tahun
lalu terbit The Limit to Growth yang
menekankan pentingnya batas kapasitas lingkungan dalam menopang pertumbuhan
ekonomi dan pertemuan Rio+20 tahun lalu melahirkan konsep pembangunan
berkelanjutan, dunia masih menghadapi dua tantangan besar. Yakni, bagaimana
memenuhi kebutuhan kesejahteraan manusia yang jumlahnya miliaran, tetapi di
sisi lain bagaimana pula menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan
yang menopang kehidupan manusia di muka bumi itu sendiri.
Bumi
terus mengalami tekanan yang berat sebagai dampak dari kegiatan ekonomi yang
tidak memedulikan dampak yang ditimbulkan. Ekonomi keserakahan, selain
menghasilkan krisis ekonomi dan finansial, telah menimbulkan berbagai
permasalahan lingkungan yang cukup kompleks, antara lain perubahan iklim,
degradasi lingkungan, pengurasan sumber daya alam, serta pencemaran air dan udara
yang pada gilirannya juga menghasilkan proses pemiskinan terhadap masyarakat
yang bergantung pada sumber daya alam dan lingkungan.
Meski
PDB dunia pada 2011 sudah mencapai US$77,2 triliun, 900 juta orang lebih masih
hidup di bawah garis kemiskinan dan menurut Worldwatch
Institute, itu telah menimbulkan `stres' pada ekosistem bu mi. Kondisi
semacam itu menimbulkan apa yang diistilahkan David Orr sebagai `progress trap' atau jebakan kemajuan
sehingga tujuan untuk menyejahterakan manusia kemudian harus dibayar dengan
mahalnya ongkos sosial dan lingkungan yang harus ditanggung rus ditanggung dari
perubahan iklim, pencemaran, dan kerusakan lingkungan.
Jebakan
kemajuan itu pada akhirnya akan menafikan hasil yang dicapai dari kemajuan
tersebut. Beberapa ilmuwan bahkan mengusulkan dilakukannya `degrowth' dengan menekan konsumsi yang
eksesif terhadap sumber daya alam dan lingkungan.
Dalam
beberapa dekade belakang, persoalan ekonomi dan lingkungan seolah berjalan
sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang perspektif lingkungan dianggap sebagai
`pengerem' pembangunan ekonomi. Mindset
`growth first, clean up later'
merupakan mindset yang sering muncul
pada perencanaan kebijakan pembangunan khususnya di daerah-daerah yang demi
mengejar PAD, urusan `cuci piring' kerusakan terhadap bumi merupakan urusan
belakangan.
Paradigma
tersebut tentu harus kita ubah. Ekonomi dan lingkungan bukan dua hal yang
diametrikal. Yang diperlukan untuk menjembatani keduanya ialah mencari `the right kind of growth'. Yakni, selain
memenuhi pertumbuhan ekonomi, juga mampu memelihara lingkungan bahkan menciptakan
per tumbuhan ekonomi baru dari sumber daya alam dan lingkungan tanpa harus merusaknya.
Itulah esensi dari `ekonomi hijau' sebenarnya.
Perubahan
paradigma berpikir itu juga penting karena selain krisis lingkungan yang
dialami bumi, penggunaan kerangka ekonomi konven sional semata untuk mencapai
kesejahteraan telah terbukti gagal menjawab beberapa krisis ekonomi dan
finansial yang dialami umat manusia. Pembelajaran atas kegagalan itulah yang
kini menimbulkan `pertobatan
internasional' untuk melakukan U-turn
terhadap prinsip pembangunan ekonomi mereka. Di kalangan para pelaku bisnis
sekalipun, perubahan pandangan itu bahkan telah terjadi karena menyadari
keberlangsungan usaha mereka juga akan bergantung pada kelestarian sumber daya
alam dan lingkungan.
David
Brower, pelaku bisnis terkemuka di Amerika, bahkan pernah mengatakan, “There is no business to be done on a dead
planet.“ Belakangan, hasil survei Price
Water Cooper pada 2008 juga menunjukkan permintaan terhadap green business akan meningkat sebesar
75% di tahun-tahun mendatang. Peningkatan ini juga diikuti respons pemerintah
dan konsumen masing-masing sebesar 57% dan 52%.
Implikasi bagi Indonesia
KTT
Rio+20 dan peran ekonomi hijau bagi Indonesia saat ini sungguh sangat
strategis. Mengapa? Pembangunan dengan business as usual tanpa memperhatikan
`ongkos' lingkungan yang harus dibayar terbukti cukup mahal. Studi Bank Dunia (Leitmann et al, 2009) memperkirakan
ongkos lingkungan untuk Indonesia itu berkisar mulai US$0,5 miliar sampai
US$7,7 miliar per tahun, berupa kerugiankerugian ekonomi seperti erosi lahan,
polusi udara, pencemaran air, dan perubahan iklim. Ongkos tersebut belum
termasuk biaya-biaya sosial akibat kerentanan masyarakat terhadap konfl ik yang
cenderung meningkat belakangan ini.
Ekonomi
hijau juga penting untuk mewujudkan kebijakan 7/26 (7% pertumbuhan ekonomi dan
26% pengurangan emisi gas rumah kaca). Kebijakan tersebut mengindikasikan
pentingnya pertimbangan lingkungan. Pengurangan emisi 26% dalam konteks ekonomi
hijau bukan dianggap sebagai hambatan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi.
Namun
sebaliknya, itu bisa menjadi kesempatan baru untuk menciptakan pertumbuhan
baru, misalnya dari pengembangan energi terbarukan (ingat Shi Zhengron, orang
terkaya di China yang saat ini hidup dari bisnis panel sel surya) dan pemanfaatan
instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana di amanatkan dalam UU Nomor
32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Demikian juga
aset keanekaragaman hayati yang sangat besar dan pemanfaatan jasa lingkungan
bisa menjadi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi hijau baru bagi Indonesia.
Momentum
pengembangan ekonomi hijau saat ini sebenarnya cukup mendukung karena selain
ada pengarusutamaan ekonomi hijau di tingkat global, kesadaran akan lingkungan
dan kerangka kebijakan nasional juga tersedia. Meski demikian, diperlukan ‘political will’ yang kuat dari pengambil
kebijakan, dukungan dari pelaku usaha, masyarakat, dan tentu saja dukungan
politik di parlemen agar ekonomi hijau tidak menjadi slogan semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar