Otonomi
Megalopolis
Irfan Ridwan Maksum ; Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah RI;
Guru Besar Tetap FISIP UI
Sumber : KOMPAS,
18 Juni 2012
Bulan Juli nanti, ibu kota republik ini
menghadapi perhelatan akbar. Pada akhir minggu pertama Juli dilangsungkan
pemilihan kepala daerah untuk mencari sosok yang tepat, mampu, dan cerdas
mengelola kota yang telah mengiringi perjalanan panjang bangsa Indonesia.
Tidak mudah mengelola kota Jakarta. Begitu
kompleks dan akut permasalahan yang timbul di berbagai bidang. Birokrasi yang
lamban dan tantangan globalisasi pun tidak ringan.
Dalam tataran empiris perkotaan, kota ini
menghadapi masalah rendahnya kualitas hidup warganya. Padahal, Jakarta adalah
jendela dunia bagi masyarakat kita, dan teras bagi masyarakat dunia terhadap
Indonesia.
Proporsi antara masalah khas kota Jakarta dan
masalah yang melibatkan peran pihak-pihak eksternal berbeda amat tinggi.
Masalah khas kota ini dapat dikatakan langka. Konser Lady Gaga saja sudah jadi
konsumsi nasional, melibatkan elemen-elemen di luar Pemerintah DKI.
Keadaan tersebut berkembang terus seiring
berjalannya waktu. Pemerintah DKI sendiri tampak berpikir semua masalah yang
ada dalam yurisdiksi kota ini harus ditanganinya dengan baik. Tentu hal ini
bisa diterima akal sehat.
Kita tahu, sebagian memang telah diupayakan
ditangani sendiri oleh Pemerintah Kota Jakarta, misalnya transportasi dengan
moda transjakarta. Kebijakan ini cukup memiliki sumbangan, tetapi tujuan dari
kebijakan tersebut tidak secara signifikan teraih, yakni masalah kemacetan
kota.
Soal penting lain yang bisa disebutkan di
sini adalah masalah sampah dari hulu sampai hilir. Di hilir, Pemerintah DKI
telah menempatkan Bantar Gebang
sebagai tempat pembuangan sampah. Apakah masalah sampah kota ini terselesaikan
dengan baik?
Masalah rutin yang penting dan membuat repot
ribuan warga kota ini adalah banjir. Pemerintah Kota mencanangkan kebijakan
solutif: Kanal Barat dan Kanal Timur. Ternyata hingga kini masih
sulit dalam hal pembebasan sebagian lahannya.
Berbagai masalah kota Jakarta telah
dipersepsikan para pengatur dan elite birokrasi kota sebagai masalah khas
Jakarta, ternyata berkembang sangat dahsyat. Pemerintah Kota dan warganya
seakan tidak berdaya, padahal kota ini secara koinsiden adalah ibu kota NKRI.
Akhirnya timbul kekacauan pemikiran mengenai siapa sesungguhnya yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan Jakarta.
Koordinasi
Multilevel
Ada dua kriteria masalah kota yang dapat
dikatakan ”bukan khas kota”: pertama, tingkat interkoneksitas masalah; kedua,
pihak yang bertanggung jawab menyelesaikan soal-soal itu.
Dari kriteria pertama, masalah-masalah yang
dihadapi kota Jakarta didominasi masalah yang memiliki tingkat interkoneksitas
tinggi sebagai masalah yang melibatkan pihak di luar Jakarta, baik vertikal
maupun horizontal.
Kita bisa temukan contoh masalah yang tak
perlu melibatkan elemen lain dan rendah interkoneksitasnya, yakni ketersediaan
selokan di depan rumah-rumah penduduk. Di luar masalah ini, rasanya kita sulit
menemukan masalah yang khas Jakarta.
Kriteria kedua pun demikian. Walaupun
Pemerintah Kota Jakarta sudah mau dan berupaya keras mengelola masalah banjir, sampah,
dan kemacetan, tetap saja sumbangan dalam penanganan masalah-masalah tersebut
tidak signifikan. Perkembangan dahsyat kota ini menyudutkan semua elemen
negara-bangsa untuk turut terlibat baik secara horizontal maupun vertikal.
Calon gubernur dalam pemilihan kepala daerah
nanti boleh memiliki visi bagus, tetapi tidak akan sanggup tanpa melakukan
strategi konkret koordinasi multilevel. Sejak dulu, koordinasi selalu saja
mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan.
Sebetulnya secara horizontal sudah lama dikembangkan
Badan Koordinasi Sistem Perkotaan (BKSP) Jabodetabekjur,
tetapi badan ini mati suri, terlebih dengan UU Pemerintahan Daerah hasil
reformasi, yang memberikan wewenang besar kepada semua daerah otonom di
Indonesia. Posisi tawar daerah kota di sekitar Jakarta pun makin naik.
Koordinasi multilevel penanganan kota Jakarta
ini mau tidak mau harus dari atas, tetapi harus dengan kesepakatan bangsa
Indonesia melalui wakil-wakilnya.
Karena itu, alternatif strategi koordinasi
multilevel adalah perubahan tata kelola, menyangkut infrastruktur politik
kelembagaan kota. Rancangan strategis dalam UU Pemerintahan Kota Jakarta mesti
ditata ulang ke arah ”otonomi megalopolis”.
Dalam desain seperti ini, koordinasi
multilevel sudah otomatis. Rancangan kelembagaan kota Jakarta saat ini sudah
tak mampu menjawab masalah yang ada. Terlebih tantangan standar kualitas hidup
perkotaan internasional yang harus dibuktikan oleh kota ini. Terobosan
kelembagaan harus dilakukan dan jangan biarkan business as usual terus terjadi di kota ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar