Senin, 18 Juni 2012

Perekrutan Hakim Agung


Perekrutan Hakim Agung
Harifin A Tumpa ; Mantan Ketua Mahkamah Agung
Sumber :  KOMPAS, 18 Juni 2012
 

Berita Kompas tanggal 9 Juni 2012 halaman 5, ”Hakim PN Asal Doktor Disilakan untuk Mendaftar”, menyentak saya untuk menulis artikel ini karena perekrutan hakim agung dari hakim tingkat pertama akan melanggar undang-undang dan merusak sistem pembinaan karier hakim.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, sudah diatur persyaratan untuk bisa diangkat menjadi hakim agung.

Melanggar Hukum

Persyaratan itu adalah pertama, calon yang berasal dari hakim karier harus memiliki pengalaman selama 20 tahun menjadi hakim, termasuk sekurang-kurangnya tiga tahun menjadi hakim tinggi, selain syarat umum, pendidikan, dan lain-lain.

Kedua, calon yang berasal dari nonkarier hakim antara lain disyaratkan berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 20 tahun, selain syarat umur, pendidikan, dan lain-lain.

Ketentuan tersebut jelas menunjukkan bahwa seorang hakim, untuk dapat dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai calon hakim agung, harus hakim tinggi yang mempunyai masa kerja hakim tinggi minimal tiga tahun. Apabila Komisi Yudisial membuka kesempatan kepada hakim tingkat pertama yang bergelar doktor untuk mendaftar sebagai calon hakim agung, hal itu sama sekali tidak mempunyai dasar dan landasan hukum.

Seandainya Komisi Yudisial tetap menerima pendaftaran calon hakim agung dari hakim tingkat pertama, maka sama saja mereka mengulangi peristiwa tahun lalu yang sesungguhnya ditentang oleh Mahkamah Agung.

Saya membaca berita di Kompas, 13 Juni 2012 bahwa dua hakim pengadilan negeri yang ”nekat” ikut seleksi akan dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Agung. Dihukumnya para hakim tersebut adalah akibat dari peranan yang besar dari Komisi Yudisial yang telah ”menjerumuskan” hakim ke lembah pelanggaran hukum. Pelanggaran undang-undang oleh suatu institusi tentu tidak bisa dibiarkan.

Komisi III DPR yang mempunyai tugas pengawasan seharusnya jeli melihat pelaksanaan tugas dari mitra kerjanya. Suatu institusi di dalam suatu negara hukum harus menjadi contoh dan suri teladan akan kepatuhannya terhadap suatu undang-undang. Saya kira hal seperti ini akan lebih bermakna daripada mengurusi pemindahan tempat sidang perkara korupsi.

Merusak Sistem Pembinaan

Pembinaan karier hakim dimulai dari calon hakim. Selama dua tahun mereka dididik dan ditempa melalui pendidikan dan magang, sebelum kemudian dapat diangkat sebagai hakim. Pendidikan calon hakim tersebut hampir sama dengan di Belanda dan Perancis. Mereka yang diangkat jadi hakim baru dapat diangkat sebagai wakil ketua di kelas II setelah mereka minimal tujuh tahun menjadi hakim.

Proses pembinaan mereka dilanjutkan di pengadilan kelas I-B dan kelas I-A. Untuk bisa diangkat menjadi hakim tinggi, seorang hakim harus punya masa kerja minimal 15 tahun. Karena itulah, untuk seseorang yang memilih profesi sebagai hakim, jenjang karier sampai menjadi hakim agung harus dilaluinya. Tidak ada istilah lompat pagar.

Sebenarnya tahun lalu (2011), Mahkamah Agung telah melarang hakim yang tidak memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi hakim agung yang diadakan Komisi Yudisial. Kalau mereka tetap akan maju mengikuti seleksi itu, dia harus mengundurkan diri sebagai hakim. Namun, hal tersebut tidak menjadi pertimbangan Komisi Yudisial. Mereka menganggap kebijakan Mahkamah Agung itu bersifat internal sehingga tidak perlu diperhatikan oleh Komisi Yudisial.

Memang surat-surat Mahkamah Agung bersifat internal, tidak mengikat institusi lain. Namun, Komisi Yudisial seharusnya menangkap isi dan makna surat tersebut, sebagai peringatan kepada siapa pun agar tidak melanggar hukum dan tidak merusak sistem pembinaan karier hakim.

Ketidakpedulian Komisi Yudisial terhadap sistem pembinaan karier hakim yang dilakukan Mahkamah Agung menunjukkan ”ego sektoral”-nya. Seharusnya Komisi Yudisial bersama-sama membina para hakim agar lebih profesional, bukan sekadar mencari-cari kesalahan hakim agar dijatuhi sanksi.

Semoga tulisan ini akan membuka saling pengertian positif antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar