Momentum
Pemberantasan Korupsi
Sumaryoto ; Anggota DPR
Fraksi PDI Perjuangan
Sumber : SUARA
MERDEKA, 18 Juni 2012
UMAT Islam baru saja memperingati Isra
Mikraj; perjalanan Nabi Muhammad Saw dari Masjidil Haram di Makkah Arab Saudi
ke Masjidil Aqsa di Jerusalem Palestina, serta dari Masjidil Aqsa ke Sidratul
Muntaha (Al Isra: 1). Isra Mikraj adalah peristiwa sangat fenomenal dalam
sejarah umat Islam, di samping peristiwa fenomenal lainnya, yakni perjalanan
hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah pada 1 H atau 662 M, dan perjalanan
haji wada’.
Mengapa? Karena di Sidratul Muntaha atau
langit ketujuh, Rasulullah Saw menerima wahyu shalat lima waktu dari Allah Swt.
Bila perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah menjadi permulaan sejarah
muslimin, dan perjalanan haji wada’ menandai penguasaan muslimin atas kota suci
Makkah maka Isra Mikraj menjadi puncak perjalanan seorang hamba menuju Sang
Khalik. Dalam konteks ini, shalat adalah mikraj-nya umat Islam yang dijalankan
lima kali dalam sehari.
Bagaimana kita memaknai Isra Mikraj dalam
konteks kekinian, terutama dihubungkan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
bangsa ini? Jelaslah Isra Mikraj mengamanatkan kita harus mencari terobosan
baru dalam menyelesaikan problem bangsa.
Seperti perjalanan dari Masjidil Aqsa ke
Sidratul Muntaha yang inkonvensional, kita pun dituntut mencari cara-cara
cerdas dan inkonvensional dalam menyelesaikan karut-marut problem bangsa ini.
Cara-cara cerdas dan inkonvensional itu akan menjadi terobosan baru yang
sanggup mengurai persoalan.
Pemberantasan korupsi yang menjadi penyakit
kronis bangsa ini misalnya, menuntut kita menerapkan cara-cara inkonvensional,
antara lain dengan metode pembuktian terbalik, mengingat korupsi adalah extraordinary crime. Sebagai kejahatan
luar biasa, korupsi tidak bisa dibasmi dengan cara-cara biasa.
Isra Mikraj yang membuahkan wahyu shalat lima
waktu, juga menjadi momentum bagi kita untuk menegakkan shalat. Artinya bukan
sekadar menjalankan rukunnya melainkan juga mengamalkan nilai-nilai yang
terkandung dalam rukun itu pada kehidupan sehari-hari. Jangan sampai kita
disebut orang yang mengerjakan shalat tapi lalai dalam shalatnya, sebagaimana
firman Allah Swt dalam Al Ma’un Ayat 4 dan 5.
Siapa orang yang disebut lalai dalam
shalatnya? Sebuah tafsir menyatakan orang yang lalai dalam shalat dapat
diartikan secara fisik shalat tetapi hati, jiwa, dan perilakunya tidak ikut shalat.
Dengan kata lain, shalatnya tidak berdampak pada perilaku sosial sehari-hari.
Shalat hanya berdampak pada kesalehan individu tidak pada kesalehan sosial.
Sarat
Simbol
Padahal shalat sarat dengan simbol ketuhanan
dan kemanusiaan. Ketika shalat dimulai dengan takbiratul ihram, berarti kita
menyapa Allah. Shalat diakhiri dengan salam, yang berarti menyapa manusia.
Menoleh ke kanan dan kiri sebagai tanda akhir shalat menunjukkan bahwa kita
peduli pada lingkungan sekitar.
Dengan demikian, salah satu pesan fundamental
shalat adalah kepedulian kita kepada sesama. Menghardik anak yatim dan tidak
memberi makan fakir miskin, berarti melalaikan shalat, bahkan mendustakan
agama.
Shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Korupsi adalah perbuatan keji karena merampas hak orang lain, termasuk hak
fakir miskin dan anak yatim. Bila kita menegakkan shalat, berarti paralel
dengan hidup bersih tanpa korupsi. Bila tidak, berarti masih ada yang lalai
dalam shalat kita.
Realitasnya, korupsi masih menjadi penyakit kronis
bangsa ini. Data dari Indonesia
Corruption Watch (ICW) dan Transparansi
Internasional Indonesia (TII) menunjukkan negara kita merupakan salah satu
negara terkorup di Asia. Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam surveinya juga
menemukan fakta 70 persen BUMN karya terlibat praktik suap-menyuap atau
korupsi.
Semua fakta itu tentu menjadi tantangan bagi
kita, dan untuk itu, marilah kita jadikan Isra Mikraj sebagai momentum
menegakkan shalat karena ibadah itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar