Masyarakat
Adat, Kelas, dan Kuasa Eksklusi
Arianto Sangaji ; Kandidat PhD di Department of Geography, York
University, Toronto
Sumber : KOMPAS,
21 Juni 2012
“Masyarakat adat punya karakteristik khusus
sebagai kelompok penduduk pedesaan-pedalaman. Mereka hidup dalam suatu wilayah
secara turun-temurun dan terus-menerus, dengan sistem kebudayaan dan
aturan-aturan adat khas yang mengikat hubungan sosial di antara berbagai
kelompok sosial di dalamnya.”
Noer Fauzi Rachman memberikan definisi
tersebut dalam tulisannya, ”Masyarakat
Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya’” (Kompas,
11/6/2012). Definisi ini mewakili pandangan dominan yang melihat masyarakat
adat semata dari segi identitas, dan sering kali romantik. Pandangan ini
mengisolasi masyarakat adat dari aspek kegiatan produksi mereka yang jauh lebih
kompleks.
Kategori ”penduduk pedesaan-pedalaman” sama
sekali tak memberi informasi hubungan produksi macam apa yang hidup di
masyarakat semacam itu. Kecuali segera muncul di kepala kita, kategori lain:
mereka adalah petani. Karena masyarakat adat ada yang tinggal di pesisir
pantai, maka bayangannya, mereka adalah nelayan, atau kombinasi di antara
keduanya. Kita pun terjebak dengan homogenisasi: petani, nelayan, dan
masyarakat adat sebagai kategori, tanpa isi.
”Pluralisme” Kelas
Jalan keluarnya, masyarakat adat—yang terdiri
dari petani dan nelayan—perlu dijelaskan dengan pendekatan kelas. Dengan
memeriksa hubungan-hubungan produksi di antara mereka, kita bisa menemukan
stratifikasi.
Misalnya, ada petani kaya, punya tanah luas,
mempekerjakan petani-petani tidak bertanah sebagai buruh-upahan dengan hasil
produksi untuk pasar. Ada petani dengan tanah seadanya untuk subsistensi
keluarga, masuk hutan mengumpulkan hasil hutan untuk memperoleh uang tunai.
Ada juga petani miskin, yang tadinya punya
tanah—karena macam-macam mekanisme— lantas secara perlahan tanahnya jatuh ke
tengkulak atau petani kaya. Untuk menghidupi keluarga, mereka bekerja di lahan
petani kaya dengan upah ditentukan sepihak atau bagi hasil yang tidak berimbang.
Jelas, para petani yang tinggal di
”pedesaan-pedalaman”, yang disebut masyarakat adat, karena proses sejarah
tertentu melahirkan hubungan kelas di antara mereka. Hubungan ini bersinggungan
dengan relasi sosial lain, misalnya dominasi kekuasaan di antara mereka.
Masyarakat dengan struktur kelas semacam ini tak bisa dengan sederhana
diromantisasi sebagai masyarakat adat hanya karena ada faktor identitas
tertentu yang mempersatukan mereka. Katakanlah kesamaan adat-istiadat, bahasa,
dan simbol-simbol budaya yang lain.
Tentu tak ada masalah dengan segi identitas.
Tapi, melupakan aspek struktur kelas internal, percakapan mengenai masyarakat
adat berpotensi salah arah.
Kita boleh merayakan keanekaragaman dengan
selalu menghormati dan menghargai perbedaan identitas, tetapi tidak boleh
merayakan ”pluralisme” kelas. Sebab, itu berarti kita membiarkan kelas yang
satu memakan bangkai kelas lain. Karena itu, gerakan masyarakat adat dalam
skala lebih luas harus dibedakan dari usaha menghidupkan kesultanan, sebab yang
terakhir ini identik dengan revitalisasi feodalisme: merayakan kelas.
Kuasa Eksklusi
Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li
(2011) di buku mereka, Powers of
Exclusion: Land dilemmas in Southeast Asia, menunjukkan empat faktor kuasa
yang mengeksklusi pihak lain dari akses terhadap tanah di Asia Tenggara: (1)
regulasi, terutama berhubungan dengan aneka peraturan sah dari negara; (2)
pemaksaan dengan kekerasan, baik oleh negara maupun aktor non- negara; (3)
pasar, yang membatasi akses ke tanah lewat mekanisme harga dan memberi insentif
untuk klaim atas tanah yang lebih individualis; (4) legitimasi, yakni aneka
bentuk justifikasi moral, seperti klaim hak turun-temurun, pertimbangan ilmiah,
rasionalitas ekonomi, dan klaim pemerintah untuk mengatur.
Keempat aspek kuasa itu tepat menggambarkan
kenyataan masyarakat adat disingkirkan dari tanah mereka, terutama melalui
negara dan korporasi berbasis pengerukan sumber daya alam. Internasionalisasi
pembuatan kebijakan strategis berkenaan dengan liberalisasi tanah melalui
institusi-institusi supranasional (Bank Dunia, APEC, G-20, dan lain-lain)
kemudian mengerangkeng pemerintah untuk menerjemahkannya menjadi kebijakan
teknis adalah contoh konkret begitu dahsyatnya kuasa pasar. Kekerasan
bersenjata atau ancaman kekerasan terhadap komunitas masyarakat adat yang
menolak tanahnya dirampas tampak sudah biasa.
Sumber legitimasi dari keseluruhan proses itu
adalah rasionalitas ekonomi: pertumbuhan ekonomi, peningkatan ekspor, dan
sebagainya. Praktik eksklusi semacam ini merupakan manifestasi langsung dari
imperialisme di zaman sekarang.
Guna menentang proses eksklusi, moto
masyarakat adat: ”Kalau negara tak
mengakui kami, kami pun tak akan mengakui negara”, perlu diungkapkan secara
lebih spesifik, yakni menolak negara kapitalis yang mempertuhankan pasar di
atas segala-galanya.
Berbarengan dengan itu, kembali melihat
internal komunitas adat, di mana kuasa eksklusi juga berpotensi bekerja dalam
skala paling lokal. Eksklusi berbasis kelas ini juga mesti diakhiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar