Kamis, 21 Juni 2012

Diplomasi Klaim Budaya


Diplomasi Klaim Budaya
Andi Purwono ;  Dosen Hubungan Internasional,
Dekan FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
Sumber :  SUARA MERDEKA, 21 Juni 2012


WARISAN budaya Indonesia kembali terancam. Meski pihak Malaysia membantah mengklaim kepemilikan budaya tarian tortor dan alat musik gondang sambilan dari Sumatra Utara, berita situs bernama.com Malaysia telanjur menyulut protes berbagai pihak di Indonesia. Beberapa kalangan menyarankan ada langkah diplomatik yang memadai, sebagian menyeru perlunya langkah yang lebih tegas. Diplomasi budaya seperti apa yang semestinya kita lakukan menghadapi tantangan yang selalu berulang?

David Held dalam Global Transformations (1999) menyebut bahwa globalisasi tidak terelakkan telah merambah semua lini kehidupan, termasuk sektor budaya. Dalam perspektif hubungan internasional, budaya nasional memiliki arti penting sebagai bagian dari soft power kekuatan nasional kita.

Pada saat kemampuan hard power (militer dan ekonomi) kita kurang tangguh maka budaya bisa berperan sebagai substitusi ataupun komplementer instrumen diplomasi dalam mencapai kepentingan nasional.  

Bahkan kompleksitas fenomena hubungan internasional acapkali menyebabkan pendekatan soft  power dengan budaya membuahkan hasil memuaskan.

Karena itu, butuh langkah diplomasi budaya yang konkret, komprehensif, dan simultan di dalam negeri (diplomacy at home) dan ke luar negeri (diplomacy as usual) agar tercipta ketahanan budaya.

Pertama; pola yang terjadi sebagaimana kasus sebelumnya, seperti klaim terhadap tari pendet, kesenian reog, batik, alat musik angklung, dan lainnya adalah akibat migrasi WNI ke luar negeri dengan membawa dan mengekspresikan  budaya mereka di tanah baru. Ekspresi itu tentu saja sah, bahkan membanggakan karena menunjukkan ma-sih terkaitnya mereka dengan budaya Indonesia. Namun perlu diwaspadai jika ada langkah agresif negara lain dalam mengakomodasi  ekspresi budaya itu untuk diklaim sebagai miliknya, seakan-akan ingin menunjukkan diri sebagai  Melayu sejati.

Ketegasan Pemerintah

Karena itu, langkah serius yang perlu dilakukan juga bisa dimulai dari kebijakan makro seperti dalam perspektif ekonomi dengan menyediakan ruang/peluang hidup yang nyaman bagi warga negara ataupun bagi ekspresi budaya.

Langkah-langkah nyata dalam pelestarian dan pewarisan budaya harus menjadi bagian integral dari politik budaya na-sional.

Kedua; sebagai langkah lanjutan, penegasan kepemilikan menjadi penting dilakukan. Kita bisa memulainya melalui ”pembukuan” agar ada database yang komprehensif terhadap aneka budaya kita. Kita patut mengapresiasi langkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Komite Warisan Budaya Nasional yang tengah menggodok konsep registrasi budaya nasional, meskipun ada catatan dan beberapa kritik.

Setelah terdata, semua harus ditegaskan melalui penyebutan dalam publikasi resmi cetak dan elektronik pemerintah, pameran, dan promosi budaya di luar negeri, hingga pendaftaran ke lembaga internasional seperti UNESCO.

Sebagai contoh dalam sidang 29 Juni mendatang, badan di bawah PBB ini akan membahas 24 usulan aset warisan budaya dunia, termasuk salah satunya tentang subak (sistem irigasi sawah di Bali). Menurut Wakil Mendikbud hingga kini UNESCO sudah mengakui 13 warisan budaya Indonesia.

Ketiga; jika terjadi klaim kepemilikan maka perlu langkah bilateral melalui protes diplomatik, atau langkah multilateral melalui forum internasional. Jika tahun 2009 pidato Presiden SBY menyindir, menyiratkan ketidaksenangannya atas klaim-klaim budaya Malaysia maka sudah saatnya ekspresi dipomatik itu ditingkatkan dalam dosis yang lebih tinggi.

Butuh pemahaman sejarah dan penyediaan bukti-bukti hukum yang memadai untuk menghadapi pengelakan dan bantahan Malaysia.

Semua pihak dan lini harus bersama-sama melakukan diplomasi total, dari dunia maya hingga langkah nyata. Hanya, ujung tombaknya tetap pada ketegasan pemerintah dalam komando diplomasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar