Gelapnya
Ekonomi Hijau
Khalisah Khalid ; Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Sumber : KOMPAS,
21 Juni 2012
Ekonomi hijau, menjelang pertemuan Rio+20
digadang- gadang sebagai jawaban atas fakta-fakta kerusakan lingkungan.
Betulkah demikian?
Sejak deklarasi pembangunan berkelanjutan
tahun 1992, 20 persen dari warga bumi atau 1,4 miliar orang hidup dengan
penghasilan kurang dari 1,25 dollar AS sehari dan satu miliar warga kelaparan
setiap harinya. Emisi gas rumah kaca terus meningkat, hingga 36 persen di atas
angka tahun 1992, di mana 80 persen dihasilkan oleh 19 negara.
Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer
meningkat 9 persen, bersamaan dengan kenaikan suhu global 0,4 derajat celsius.
Kawasan berhutan pun berkurang 300 juta hektar atau sebesar negara Argentina,
termasuk hilangnya 3 persen kawasan mangrove dunia.
Peta Jalan Gagal
Angka-angka ini sesungguhnya menunjukkan
bahwa peta jalan pembangunan berkelanjutan dengan segala turunannya— termasuk
konvensi perubahan iklim dan konvensi keanekaan hayati—gagal menjangkau akar
masalah kerusakan lingkungan.
Semua hal yang disebut di atas adalah dampak
dari kesalahan sistem kapitalisme dalam mengelola kekayaan alam, yaitu menjual
dengan cepat dan murah kekayaan alam.
Muncullah solusi-solusi baru, termasuk di
antaranya gagasan ekonomi hijau yang idealnya mengintegrasikan pilar ekonomi,
sosial, dan lingkungan hidup. Dalam konteks Indonesia, upaya peningkatan
pendapatan negara yang tetap bertumpu pada industri ekstraktif dengan watak
yang rakus (baca: business as usual)
akan makin merusak lingkungan karena tidak ada pertimbangan keterbatasan daya
dukung alam dan sosial.
Pada banyak kasus, ekonomi hijau yang
seharusnya bisa mendukung pembangunan berkelanjutan menjadi sekadar ”kemasan hijau” karena akumulasi
kapitalis dan eksploitasi sumber daya terus berlangsung.
Isu lingkungan hidup dalam modernisasi
ekologis (ecological modernity), dan
pembangunan berwawasan lingkungan (green
developmentalism ) telah dibajak untuk kepentingan politik dan pasar.
Rakyat yang tidak memiliki kekuatan ekonomi maupun politik dimanipulasi dengan
asumsi kemakmuran.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia telah
menyebutkan bahwa ekonomi hijau digunakan untuk menaikkan komodifikasi,
privatisasi, dan finansialisasi alam, sekaligus pemusatan kendali atas alam
oleh elite-elite bisnis dan elite politik dunia ke level yang lebih tinggi.
Model ekonomi hijau yang sedang dibicarakan saat ini semakin memfasilitasi
penguasaan dan monopoli atas sumber daya penting kehidupan, seperti air,
keragaman hayati, atmosfer, hutan, penguasaan lahan secara besar-besaran,
bibit, dan sarana produksi lainnya.
Sistem ekonomi politik kapitalisme telah
dengan sangat baik membajak agenda pembangunan berkelanjutan, dan tampaknya
Konferensi Rio+20 menjadi jalan untuk restrukturisasi diri, di tengah berbagai
kecaman atas kegagalan pelaksanaannya.
Bukan untuk Rakyat
Pembangunan yang mengandalkan kekayaan alam
tidak signifikan berkontribusi bagi kesejahteraan rakyat dan membuat bangsa ini
bangkrut. Tingginya laju eksploitasi sumber daya alam, apalagi disertai konflik
sosial, tidak sebanding dengan keuntungan finansial negara.
Penerimaan sumber daya alam (SDA) terdiri
dari penerimaan minyak bumi dan gas bumi (migas) dan nonmigas seperti
pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan pertambangan panas bumi.
Penerimaan SDA tahun 2009 sebesar Rp 139 triliun, hanya memberikan kontribusi
16 persen dari total penerimaan negara Rp 871 triliun.
Rasanya hanya bermimpi jika kita berharap
Pemerintah Indonesia bisa seperti Bolivia yang memperjuangkan konsep mother
earth sebagai suatu konsep kehidupan yang holistik, di mana manusia dan makhluk
lainnya hidup sebagai satu kesatuan yang saling terkait.
Bolivia menilai biang kerok kekacauan
pembangunan adalah adanya pemisahan lingkungan hidup dan manusia. Hak atas ibu
bumi yang dianut Bolivia ini juga dideklarasikan dalam konferensi rakyat untuk
perubahan iklim, dan disetujui dan diadopsi oleh banyak kelompok hijau.
Namun, sebagai warga negara yang tinggal di
bumi yang semakin merapuh, penting untuk menegaskan posisi masyarakat sipil
agar kita bisa bersama-sama keluar dari jebakan mainstream pembangunan yang
berbungkus ”hijau” tapi sesungguhnya tak lebih dari sekadar menyeret kita pada
krisis dan problem yang terus berulang.
Mestinya, kita dapat mengelaborasi lebih
banyak konsep ibu bumi menurut masyarakat Indonesia sebagai sebuah konsep
tanding terhadap ide-ide pembangunan yang merusak lingkungan hidup dan
sumber-sumber kehidupan rakyat. Mama Aleta Baun dari Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Nusa Tenggara Timur, telah mengajarkan bagaimana mengelola kekayaan
alam secara lestari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar