Jakarta
Menghijau
Nirwono Joga ; Ketua Kelompok Studi Arsitektur Lansekap Indonesia
Sumber : SINAR
HARAPAN, 21 Juni 2012
Why living smaller, living closer, and
driving less are the keys to sustainability. (David
Owen, Green Metropolis, 2009).
Salah satu resep keberhasilan dalam membangun
kota adalah menerapkan konsep kota hijau. Kota hijau (green city) memiliki banyak sebutan yang sejatinya senapas, seperti
kota taman (garden city), kota
berkelanjutan (sustainable city),
kota ekologis (ecocity), dan kota
simbiosis (symbiocity).
Bagaimana dengan Jakarta?
Kota hijau selaras dengan Undang-Undang (UU)
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(PPLH), UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan
Bencana.
Jakarta sudah memiliki Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2030 (meski belum sempurna) yang disahkan tahun
lalu, di mana ke depan Jakarta diarahkan sebagai kota hijau yang cerdas.
Untuk itu, para calon gubernur harus mempelajari
RTRW DKI Jakarta 2030 terlebih dahulu, jangan sampai umbar janji
visi/misi/program yang keluar berbeda sama sekali dari yang telah digariskan
dalam RTRW. Ingat, RTRW sudah diperdakan dan dibuat untuk jangka waktu 20 tahun
ke depan, sedangkan masa jabatan gubernur hanya lima tahunan.
Sebagai catatan, sejak tahun lalu hingga kini
Pemprov DKI Jakarta tengah menyusun Rencana Detail Tata Ruang (RTDR) yang
merupakan penjabaran terperinci dari RTRW DKI Jakarta 2030. RDTR memuat
program-program kerja Rencana Pembangunan Jangka Pendek dan Menengah (RPJP,
RPJM) di setiap kecamatan hingga kelurahan.
Tim sukses harus mengevaluasi dan
mengembangkan imajinasi, improvisasi, dan kreativitas cerdas dalam menjabarkan
program RPJP dan RPJM-nya secara terukur, transparan, dan akuntabel. Di
sinilah kita akan melihat seberapa konkret program-program yang ditawarkan para
calon gubernur dapat diwujudkan, realitis, atau hanya metafora.
Warga jangan terlena dengan janji program
yang terlalu banyak, bombastis, dan ambisius. Lihat seberapa serius para
kandidat mengatasi empat permasalahan pokok yang telah lama membelenggu
Jakarta, BMKG—maaf bukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, tetapi
banjir, macet, kemiskinan (kekumuhan, kebakaran, kesehatan lingkungan), dan
gusur.
Calon gubernur pasti akan dicecar bagaimana
mereka membawa keluar dari petaka banjir. Satu hal yang pasti dengan kondisi
geografis dan amburadulnya tata ruang kota, Jakarta tidak mungkin bebas banjir
dalam waktu singkat, bahkan mungkin lima tahun ke depan.
Tetapi yang dibutuhkan adalah rencana yang
matang, indikator penurunan skala genangan banjir terukur, dilaksanakan secara
tegas dan konsisten, sehingga memberikan kepastian kepada warga kapan Jakarta
akan bebas banjir. Lebih cepat lebih baik tentunya.
Cermati seberapa paham mereka menerapkan
konsep ekodrainase, yakni mengelola air untuk menyerap air sebanyak-banyaknya
ke dalam tanah.
Dimulai dari hal-hal kecil seperti pembuatan
sumur resapan air (lokasi, teknik pelaksanaan, bimbingan, dan pengawasan),
perbaikan menyeluruh saluran air lingkungan dan kota hingga ke sungai
(hierarkis, konektivitas), penataan bantaran 13 sungai (relokasi—geser bukan
gusur permukiman, pengamanan dan penghijauan tepi sungai), konservasi dan
revitalisasi situ dan waduk (optimalisasi daerah tangkapan air), dan penataan
kawasan pantai (lindungi dan perluas hutan mangrove, bersihkan dari sampah dan
limbah, kemudian jadikan pantai ruang publik).
Tantangan berikutnya, pembangunan ruang
terbuka hijau (RTH) sebagai salah satu indikator kualitas lingkungan kota untuk
memenuhi target 30 persen sesuai amanat UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang
dan RTRW DKI Jakarta 2030. Kita akan melihat calon gubernur bersikap pesimistis
defensif atau optimistis progresif dalam menghadapi keterbatasan lahan, biaya
mahal, dan pelanggaran peruntukan RTH.
RTH harus ditempatkan sebagai tulang punggung
pembangunan kota dalam mengurangi banjir (daerah resapan air), menyerap polutan
dan menyuplai oksigen (paru-paru kota), menjadi jalur alternatif pejalan kaki
dan pesepeda untuk mengurangi kemacetan, dan pengendali perkembangan kota.
Sebagai contoh, luas RTH publik Jakarta 9,8
persen (2011) yang berarti masih kurang 10,2 persen dan target RTH privat 10
persen yang belum pernah digarap sama sekali. Jika utang RTH publik dan privat
masing-masing 10 persen (2030), mereka harus bisa menjabarkan bagaimana cara
menambah RTH publik dan privat masing-masing 0,5 persen (total 1 persen) setiap
tahun (lokasi, luasan, pendanaan, dan pelaksanaan). Dalam periode 2000–2011,
Pemprov DKI Jakarta hanya mampu menambah RTH publik 0,8 persen.
Terobosan cerdas dibutuhkan dalam
mengantisipasi ancaman kemacetan total pada 2014. Dalam RTRW DKI Jakarta 2030
(sesuai semangat UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) telah
disiapkan solusi cerdas pembenahan transportasi yang manusiawi dan ramah
lingkungan. Pemprov DKI Jakarta dituntut menyediakan jalur pejalan kaki yang
terhubung ke seluruh kawasan perkotaan, jalur sepeda berikut perangkatnya
(rambu, marka, parkir, ruang ganti), serta transportasi massal yang
terintegrasi (bus TransJakarta, kereta api). Megaproyek jalan tol atau non-tol
layang dalam kota harus dibatalkan.
Tuntaskan pembangunan sisa koridor busway (koridor XII–XV) dalam lima tahun
ke depan. Benahi sistem, jaringan, dan standar pelayanan minimum pengelolaan
dan pelayanan bus TransJakarta dan kereta api Jabodetabek, sehingga memberikan
kepastian waktu kedatangan dan perjalanan, kenyamanan dan keamanan bagi
penumpang.
Kota diarahkan menjadi kota hunian vertikal
yang kompak (compact city). Penghuni
cukup berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah, kantor, pasar, tempat ibadah,
dan taman, karena semua fasilitas telah tersedia dalam satu kawasan. Jika ingin
bepergian keluar kawasan, warga cukup menggunakan transportasi massal (bus
TransJakarta, kereta api).
Jakarta harus meremajakan kawasan kampung
kumuh yang rawan banjir, kebakaran, dan kesehatan lingkungan, mengurangi
kepadatan di pusat kota dengan mengoptimalkan intensifikasi tata guna lahan,
pengembangan kawasan terpadu (superblok campursari) menyatu dengan jaringan
transportasi massal (transit oriented
development), dan menyediakan (bukan menyisakan) RTH minimal 30 persen per
kawasan.
Peremajaan kawasan kumuh memerlukan rekayasa
sosial yang matang dan bisa jadi memakan waktu lama. Prinsipnya bukan
menggusur, tetapi menggeser ke kawasan terpadu ramah lingkungan. Warga diajak
berdialog dan dilibatkan dalam keseluruhan proses perencanaan, pengembangan
rancangan, pengawasan pelaksanaan, hingga pengelolaan kawasan.
Di sini keberhasilan program akan diuji
tingkat ketahanannya oleh para pemangku kepentingan dan sinerginya dengan
berbagai komunitas warga.
Sudah terlalu lama sumber daya manusia warga
Jakarta yang sangat potensial tersia-sia, dibiarkan bersikap “selamatkan diri
masing-masing”.
Kini saatnya warga ditempatkan sebagai
“saudara dalam membangun” Kota Jakarta yang bersih dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik (sosial/people), perekonomian yang ramah
lingkungan (ekonomi hijau/prosperity), dan keberlanjutan lingkungan
(ekologi/planet).
Sesuai tema hari jadi kota Jakarta ke-485, “Jakartaku, Harapanku”, Jakarta Menghijau adalah Jakarta harapan
kita semua. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar