Jihad
Presiden Melawan Korupsi
Bachtiar Sitanggang ; Advokat, Anggota Dewan Redaksi Sinar Harapan
Sumber : SINAR
HARAPAN, 21 Juni 2012
“SEBAGAI Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan, saya akan terus berjuang di garis paling depan, bersama elemen
pemberantasan korupsi, untuk memimpin jihad melawan korupsi,” kata Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.
Di bagian lain ditambahkan, “Saya ingin di
akhir lima tahun pemerintahan saya yang kedua ini, dapat dilihat dan dirasakan
secara lebih nyata oleh rakyat, apa yang di hari-hari ini kita kumandangkan
dengan nyaring, yaitu diwujudkannya sebuah pemerintahan yang bersih.”
Ungkapan di atas adalah kutipan dari Pidato
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut Hari Antikorupsi Sedunia di Istana,
Selasa, 8 Desember 2009; peringatan Hari Antikorupsi jatuh pada keesokan
harinya, 9 Desember.
Pidato tersebut tegas, konkret, tidak pandang
bulu dan pilih kasih serta tebang pilih, pokoknya memimpin jihad melawan
korupsi dan kelihatannya itu terbukti; kerabatnya sendiri pun diproses sesuai
hukum dan menjalani hukuman.
Akan tetapi, para pelaku korupsi yang
terjaring hukum itu ternyata tidak kapok, malahan kelihatannya beranak-pinak,
tidak takut sebab masih terus bermunculan.
Kita coba soroti Pegawai Ditjen Pajak saja,
Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, telah dihukum 12 tahun; Bahasyim Assifie
dengan hukuman 10 tahun penjara; Dana Widyatmika diduga melakukan pencucian
uang dan ditetapkan sebagai tersangka dengan kekayaan Rp 60 miliar: anehnya
Suhertanto sang petugas cleaning service
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut ditangkap bersama 10 temannya
(Majalah Tempo, 17 Juni 2012) karena menggelapkan pajak hampir Rp 300 miliar
dengan sekitar 300 surat setoran pajak.
Terakhir, KPK menangkap tangan Tommy
Hendratno, Rabu pekan lalu, bersama James Gunardjo ketika menerima suap Rp 280
juta.
Pertanyaannya, kalau di Ditjen Pajak
-instansi sumber penerimaan pendapatan negara- itu terus bermunculan para
koruptor, dan terjadi penyelewenagan dan penyalahgunaan kewenangan dan jabatan,
bagaimana di sektor-sektor lain? Kalau kelakuan seperti itu tetap berlangsung
di Ditjen Pajak, bagaimana menyelamatkan negara ini?
Kalau Presiden sudah menyatakan, akan terus
berjuang di garis depan untuk memimpin jihad melawan korupsi, tetapi ternyata
tidak habis-habis juga dan malah seolah berkembang biak, berarti ada yang
kurang, tetapi apa itu yang kurang dan di mana kekurangan itu?
Menjawab kekurangan itu tentu memerlukan
penelitian khusus, karenanya tidak akan terjawab saat ini. Akan tetapi,
pertanyaan yang menggelitik, apakah Presiden SBY akan mewariskan pemerintahan
yang bersih kepada penggantinya setelah masa jabatan kedua ini berakhir? Kita
tunggu.
Tetapi, ada baiknya kita menoleh ke belakang
dalam pemberantasan korupsi, terutama berkaitan dengan pegawai Ditjen Pajak
yang sudah ternyata dan terbukti menurut hukum telah melakukan tindak pidana
korupsi.
Menurut hemat kita, kalau pola penindakan
seperti selama ini tetap dipertahankan, percaya tidak ada gunanya. Ini karena
pedang antikorupsi itu hanya berlaku kepada petugas pajak saja, sementara
tindak pidana itu tidak akan mungkin terjadi tanpa ada pihak lain yaitu
perusahaan-perusahaan yang menyuap atau wajib pajak yang menggoda sang petugas
untuk menyulap pajak maupun restitusi pajak.
Selama ini hanmpir tidak ada pengusaha yang
terkena dalam kasus yang melilit Gayus Tambunan. Kalau Gayus Tambunan memiliki
harta puluhan sampai ratusan miliar, tentu itu tidak datang sendiri tanpa
alasan dan upaya serta tujuan tertentu.
Tetapi, penegak hukum, KPK, kejaksaan maupun
Polri tidak pernah mengusut, apalagi menghukum orang atau pihak termasuk
perusahaan dari siapa tumpukan itu dipungut Gayus Tambunan.
Dari contoh para petugas pajak yang disebut
di atas, apakah ada perusahaan atau pengusaha yang diminta
pertanggungjawabannya terkait dengan tindak pidana korupsi?
Rasanya tidak ada, diperiksa pun tidak,
apalagi dihukum. Apakah pedang SBY yang sudah terhunus itu hanya diarahkan dan
tajam kepada pegawai Ditjen Pajak, sementara kalau kepada pengusaha dan atau
tokoh partai menjadi tumpul?
Mengambang
Penanganan kasus korupsi selama ini hampir
semua mengambang, tidak tuntas. Lihat saja kasus Gayus, hanya kena pasal
restitusi pajak sebesar Rp 500 jutaan dari pengusaha Surabaya, dan yang terkena
hanya atasan Gayus.
Tetapi, pengusaha yang memberi atau asal uang
yang mencapai ratusan miliar rupiah tidak pernah diungkap. Demikian juga dengan
suap yang terkait dengan Kemenakertrans, hanya yang tertangkap tangan yang
disidangkan sementara yang lain-lain sampai mengantongi Rp 18 miliaran tidak
diapa-apakan.
Yang paling menggelikan adalah kasus yang
melilit Anggoro/Anggodo versus Bibit-Chandra; Cicak-Buaya, tidak jelas siapa
yang direkayasa dan siapa yang merekayasa kasus. Padahal, nama RI-1 juga
dikait-kaitkan dalam kasus Anggoro oleh Anggodo Widjojo sebagaimana terungkap
dalam rekaman hasil sadapan KPK yang diperdengarkan di sidang Mahkamah
Konstitusi tanggal 3 Juni 2010.
Kapolri saat itu, Bambang Hendarso Danuri,
menegaskan di depan Komisi III DPR bahwa ditahannya Bibit-Chandra, bukanlah
rekayasa karena bukti-buktinya lengkap. Kedua pemimpin KPK itu dituduh
menyalahgunakan wewenang dengan mencekal Anggoro Widjojo dan mencabut
penangkalan Djoko Chandra dan menerima suap dari Anggodo.
Ternyata, hasil Tim Delapan yang dibentuk
khusus menyelesaikan kasus Bibit-Chandra tersebut berkesimpulan, terhadap
keduanya adalah rekayasa dan kriminalisasi, untuk itu perlu diambil langkah
hukum untuk membebaskan mereka, dan keluarlah SKP2 dari Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan. Kasus itu mengambang saja, padahal KPK telah diobok-obok.
Memang diakui Presiden dalam pidatonya di
atas bahwa fenomena serangan balik dari para koruptor pasti akan terjadi.
Apakah yang terjadi pada Bibit Chandra itu corruptor
fight back tidak terungkap, karena telah dianggap selesai dengan
serbamengambang itu.
Kadangkala ada pertanyaan, apakah hanya SBY
yang antikorupsi sementara di sekelilingnya tidak semua berjihad melawan
korupsi? Buktinya, niatan agar KPK hanya bertugas melakukan pencegahan saja,
sementara penindakan diserahkan ke kepolisian dan kejaksaan.
Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
tegas-tegas mengatakan, “Saya menolak usulan untuk menghilangkan kewenangan
penuntutan ataupun pembatasan yang terlalu kaku terkait kewenangan penyadapan
yang dimiliki KPK.”
Diharapkan Presiden dengan tegas lagi
menyatakan tekad jihadnya dalam memberantas korupsi sehingga dia benar-benar
mewariskan pemerintahan yang bersih, sehingga dia tidak meninggalkan kursi yang
dipercayakan rakyat itu keropos karena korupsi.
Penegakan hukum tidak lagi sporadis dan
mengambang, melainkan tuntas dan menyeluruh, tidak lagi hanya pegawai kecil
yang menerima miliaran rupiah dengan alasan apa pun, tetapi juga pengusaha yang
memberikan atau sumber dana yang bermiliar-miliar tersebut.
Kita juga menginginkan Presiden SBY mau
mendengar para pegiat antikorupsi serta mendengar apa dan bagaimana sebenarnya
gurita korupsi itu telah melilit dan menggerogoti pemerintahannya. Soal
terbukti atau tidak, biarkan proses hukum yang menentukan. Adalah lebih baik
Presiden mendengar semua informasi dan tidak hanya dari para pembantunya
apalagi dari orang separtainya maupun sekoalisinya.
Kita sarankan Presiden menganggap semua orang
yang korupsi adalah musuhnya, walaupun itu pembantu dekatnya baik di partai
maupun di pemerintahan. Khusus di bidang pemberantasan korupsi, Presiden
hendaknya menampung semua informasi dari semua elemen yang antikorupsi tanpa
mempersoalkan asal usul maupun organisasinya, yang penting tujuannya berantas
korupsi.
Arti Pemberantasan Korupsi
Kita juga mengingatkan pidato SBY di atas
yang mengatakan, saya ingin menegaskan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya
menyelamatkan setiap rupiah uang rakyat, tetapi juga untuk membangun sebuah
kesadaran baru bahwa korupsi adalah pengkhianatan terhadap amanat penderitaan
rakyat; korupsi adalah perbuatan tercela secara moral, etika dan agama; korupsi
adalah kejahatan yang menimbulkan kerugian luar biasa bagi generasi sekarang
dan yang akan datang; korupsi adalah tindakan asosial; yang bertentangan dengan
nilai-nilai demokrasi, sebuah keonaran yang menghancurkan nilai-nilai dan
solidaritas kemanusiaan dan korupsi adalah musuh kita semua, musuh peradaban
yang hendak kita bangun dan tegakkan.
Menyimak dari materi pidato tersebut, kita
menghendaki Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan maupun sebagai
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tidak dikelilingi oleh pengkhianat maupun
musuhnya. Semoga Presiden SBY benar-benar mewariskan pemerintahan yang bersih. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar