Lesbian
dalam Pandangan Psikiatrik,
Sebuah
Tanggapan
Soe Tjen Marching ; Komponis
Sumber : KORAN
TEMPO, 21 Juni 2012
Sangat mengejutkan membaca artikel "Lesbian dalam Pandangan Psikiatrik"
di Koran Tempo, Kamis, 14 Juni 2012. Sang penulis, H. Soewadi,
mengajukan argumen bahwa lesbian adalah
penyimpangan dan gangguan seksual yang perlu disembuhkan. Padahal, sejak
1973, the American Psychiatric
Association sudah menetapkan bahwa homoseksualitas tidak lagi digolongkan
sebagai gangguan mental. Lalu, pada 17 Mei 1990, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO)
secara resmi menyatakan homoseksualitas bukanlah penyakit atau gangguan jiwa.
Di Indonesia, Pedoman Penggolongan
Diagnosa Gangguan Jiwa III juga mencabut homoseksualitas sebagai gangguan,
pada 1993.
Yang tidak kalah mengejutkan, penulis
menyetujui pendapat bahwa homoseksual terjadi karena berbagai faktor, antara
lain: (1) Faktor biologi berupa terganggunya struktur otak kanan dan kiri serta
adanya ketidakseimbangan hormonal; (2) Faktor psikologis, kurangnya kasih ibu,
dan tidak adanya peran seorang ayah; (3) Pengaruh lingkungan yang tidak baik
bagi perkembangan kematangan seksual yang normal; (4) Faktor pola asuh,
kurangnya ketaatan agama.
Saya ingin membahas satu per satu faktor yang
telah disebut oleh penulis artikel sebagai penyebab homoseksualitas. Pertama,
kalau homoseksualitas memang manusia yang terganggu struktur otak dan
hormonnya, artinya mereka akan mengalami rasa letih, pening, stres, insomnia,
dan terkadang disertai dengan kejang. Apakah para homoseksual mempunyai gejala
demikian? Mungkin benar, banyak homoseksual di Indonesia yang mengalami stres
berat, pening, dan insomnia. Tapi bukan lantaran gangguan otak, melainkan
karena banyak dari mereka mendapat tekanan dan stigma dari masyarakat!
Sekarang sudah tersedia berbagai terapi dan
pengobatan bagi mereka yang struktur otak atau hormonnya terganggu. Saya telah
menjumpai beberapa pasien, baik yang heteroseksual maupun homoseksual, dengan
gangguan otak atau hormon. Dan setelah gangguan otak pasien homoseksual
disembuhkan, ia tidak lalu menjelma menjadi heteroseksual. Para homoseksual
yang masuk rumah sakit dengan gangguan otak biasanya akan keluar dari rumah
sakit sebagai homoseksual juga-–mereka tetap setia pada orientasi seksual
masing-masing. Jadi tidak ada hubungannya struktur otak dan gangguan hormon
dengan orientasi seksual manusia. Dan gangguan otak macam apa yang dialami
petenis lesbian Martina Navratilova, sehingga dia bisa bermain dengan
dahsyat-–memenangi 18 grand slam. Navratilova bahkan masih bertarung di
Wimbledon pada usianya yang ke-50.
Faktor kedua yang disebut oleh H. Soewadi
adalah kurangnya kasih ibu dan tiadanya peran seorang ayah. Namun saya mengenal
banyak sekali homoseksual yang tumbuh dengan kasih sayang kedua orang tua
mereka, dan banyak juga heteroseksual yang tidak mempunyai ayah dan
ditelantarkan oleh ibu mereka. Ilmuwan Dede Oetomo (juga homoseksual) bahkan
sempat menceritakan bahwa ayahnya sangat memperhatikan dirinya, dan betapa
ibunya begitu mendukung ide-ide dan aktivitasnya dalam memperjuangkan hak-hak
lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia. Yang sering
terjadi di Indonesia bukannya anak menjadi homoseksual karena kurangnya kasih
sayang orang tua, tapi orang tua (konservatif) berkurang kasih sayangnya
setelah mengetahui anak mereka homoseksual.
Faktor ketiga yang disebut oleh penulis ini:
pengaruh lingkungan yang tidak baik. Mungkin banyak dari kita yang telah
mendengar nama Socrates, Plato, Aristoteles, dan Alexander Agung, para filsuf
terpelajar dengan lingkungan para bangsawan. Tapi apakah kita semua sadar bahwa
para lelaki ini mempunyai kekasih lelaki? Apakah ini karena lingkungan mereka
yang tidak baik?
Sekali lagi, saya akan menyebut Dede Oetomo,
yang saya kenal cukup dekat. Dia mempunyai orang tua dan saudara heteroseksual,
dan teman-teman heteroseksual juga. Tidak ada "lingkungan" yang
membentuk dia menjadi homoseksual! Yang lebih tepat mungkin bukan lingkungan yang
tidak baik yang membentuk homoseksual, tapi homoseksual di Indonesia sering
kali harus menghadapi lingkungan yang "tidak baik" (yang berpikiran
sempit dan menyudutkan LGBT).
Faktor keempat, kurangnya ketaatan agama.
Dalam artikel ini, sang penulis menyiratkan, dalam agama, heteroseksuallah yang
diklaim benar. Tapi agama mana yang dimaksud? Dewa-dewi di Nusantara (yang
kebanyakan berasal dari India) tidak mengacu pada dualisme heteroseksual. Salah
satunya adalah Ardhanarishvara, yang merupakan persatuan antara Dewi Parwati
dan Dewa Syiwa, sehingga ia mempunyai dua tubuh (separuh lelaki dan separuh
perempuan). Patungnya masih bisa ditemukan di Bali dan di Museum Trowulan
(Mojokerto).
Begitu juga dalam agama Hindu. Beberapa
dewa-dewi agama Hindu tidak berpaku pada kemapanan gender. Misalnya, Wishnu,
yang pandai menjelma menjadi beberapa makhluk. Suatu ketika ia menjelma menjadi
Dewi Mohini, dan saat itu Dewa Syiwa jatuh cinta kepadanya. Akhirnya,
bersetubuhlah penjelmaan Dewa Wishnu dengan Dewa Syiwa. Dari persetubuhan ini,
lahirlah seorang bayi bernama Ayyapa.
Selain Mohini, tokoh pewayangan Hindu yang
kisahnya memuat ambiguitas gender adalah Srikandi, yang merupakan titisan Dewi
Amba. Dalam kitab Mahabharata, Srikandi lahir sebagai seorang wanita,
tapi karena sabda para dewa, ia diasuh sebagai seorang pria. Srikandi sering
kali dianggap mempunyai jenis kelamin waria, dan ia jatuh cinta kepada seorang
perempuan juga.
Agama masyarakat Bugis mempunyai pendeta
lelaki yang feminin (biasa dikenal sebagai waria di Indonesia), yang disebut bissu.
Bissu mempunyai kedudukan yang cukup disegani di masyarakat Bugis-–karena
perpaduan karakter feminin dan maskulin dalam satu tubuh inilah, ia dianggap
sebagai makhluk yang lebih sempurna daripada mereka yang hanya mempunyai sifat
maskulin atau feminin. Masih ada beberapa contoh agama yang tidak menabukan
homoseksual atau biseksual, tapi karena keterbatasan tempat, saya tidak bisa
menyebut semua.
Sangatlah disayangkan bila stigma yang
diberikan kepada LGBT dipertahankan. Inilah yang sering kali tidak disadari:
bila LGBT disudutkan, masyarakat itu sendiri juga mengalami kerugian. Berapa
banyak waktu dan uang orang tua yang terbuang untuk mengirim anak LGBT mereka
ke psikiater dan mencoba menyembuhkan orientasi seksual mereka? Energi yang
tersia-sia hanya untuk merendahkan hak manusia. Justru stigma seperti inilah
yang bisa menyebabkan stres dan depresi berkepanjangan.
Di negara-negara yang tidak melecehkan LGBT,
mereka bisa mengembangkan kemampuan dengan lebih leluasa. Dengan demikian,
akhirnya kemampuan para LGBT tidak terhambat dan tersia-sia, atau menjelma
menjadi frustrasi berkepanjangan, hanya karena kutukan masyarakat atau stigma.
Selama kita merendahkan keberadaan LGBT, kita
juga telah ikut membunuh kemampuan mereka yang di masa depan bisa menjadi
penerus tokoh-tokoh seperti Leonardo da Vinci, Hans Christian Andersen, Jodie
Foster, dan Martina Navratilova. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar