Daya
Saing Komoditas Ekspor
Bustanul Arifin ; Guru Besar Universitas Lampung; Ekonom Indef;
Sedang di Universitas
Utrecht, Belanda
Sumber : KOMPAS,
18 Juni 2012
Dampak krisis ekonomi Eropa terhadap ekonomi
Indonesia mulai terasa. Untuk pertama kalinya sejak tahun 2010, neraca
perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar 641 juta dollar AS. Nilai
ekspor Indonesia pada April 2012 hanya 15,981 miliar dollar AS, tetapi impor
mencapai 16,621 miliar dollar AS. Pada periode Januari-April 2012, nilai ekspor
nonmigas Indonesia ke Uni Eropa hanya 6,06 miliar dollar AS atau menurun 9
persen dibandingkan dengan nilai ekspor periode Januari-April 2011. Uni Eropa
selama ini dikenal sebagai tujuan ekspor komoditas pertanian Indonesia,
khususnya minyak kelapa sawit, kopi, kakao, lada, karet, ikan, udang, dan
sebagainya.
Kelesuan ekonomi global tersebut menentukan
komposisi permintaan-penawaran komoditas strategis yang kemudian berdampak
terhadap anjloknya harga komoditas ekspor Indonesia. Akibat yang paling buruk
bagi Indonesia adalah penerimaan ekspor dan ekonomi rumah tangga petani dan
nelayan di dalam negeri juga menurun. Persepsi awam bahwa pengalaman krisis
ekonomi global yang memberikan rezeki nomplok (windfall
profit) bagi komoditas ekspor dan pertanian Indonesia ternyata salah.
Karakter krisis ekonomi pada tahun 1998, yang dimulai dari krisis moneter
negara-negara Asia, tentu amat berbeda dengan krisis ekonomi saat ini yang
dipicu lesunya perekonomian Eropa.
Harga rata-rata komoditas pertanian di
tingkat global turun 1,7 persen sepanjang Mei 2012, itu pun karena harga beras,
bungkil kedelai, kopi, dan teh mulai naik. Harga karet terjun bebas 73 persen
dalam satu tahun terakhir, dan mencapai rekor buruk 3,72 dollar AS per ton pada
Mei 2012, walau tidak seburuk Januari 2009 yang menyentuh 1,2 dollar AS per
ton. Harga minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak kedelai turun 7-8 persen. Harga
minyak kelapa (CCO), dan minyak biji sawit (PKO), bahkan turun sampai 14
persen. Harga kopi Arabika turun 3,6 persen karena produksi kopi Arabika Brasil
meningkat. Sebaliknya, harga kopi Robusta naik 5 persen karena Vietnam sebagai
produsen Robusta terbesar sedang menahan stok kopinya dan tidak melemparnya ke
pasar global.
Dampak krisis ekonomi Eropa saat ini
benar-benar memukul petani Indonesia karena struktur pasar komoditas ekspor di
tingkat domestik yang masih amat tidak sehat. Petani, pekebun, dan nelayan
sangat bergantung secara ekonomi-sosial-psikologis pada tengkulak yang
terkadang beroperasi melampaui batas kewajaran. Komoditas ekspor pertanian
Indonesia menghadapi asimetri pasar dan asimetri informasi yang sangat tidak
berimbang.
Kenaikan harga komoditas di tingkat global
amat lambat untuk tertransmisi ke tingkat petani, sementara penurunan harga di
tingkat global nyaris seketika harus ditanggung petani. Pemerintah dan para
elite politik sebenarnya telah paham mengenai fenomena di atas, tetapi seakan
tidak berdaya untuk merumuskan kebijakan intervensi dan langkah-langkah
pemihakan yang kredibel.
Krisis ekonomi sekarang berbeda dengan krisis
ekonomi global 2008 yang dipicu oleh melambungnya harga minyak bumi dunia dan
harga-harga komoditas pangan strategis. Fenomena perubahan iklim, bahan bakar
nabati, dan spekulasi investasi pada bursa komoditas pertanian di tingkat
global juga memperburuk dampak krisis pada ekonomi pangan di beberapa negara
berkembang.
Pada waktu itu Indonesia mampu meredam dampak
krisis pangan di dalam negeri karena produksi pangan cukup baik sehingga
harga-harga pangan tidak bergerak terlalu liar. Akan tetapi, saat ini pemerintah
tampak tidak siap untuk mengantisipasi dan melakukan langkah-langkah kebijakan
untuk meredam atau mengurangi dampak buruk krisis Eropa terhadap komoditas
ekspor dan ekonomi pertanian umumnya.
Dampak krisis Eropa itu seakan datang terlalu
cepat karena karakter krisis ekonomi pada era modern memang cepat menyebar
seiring dengan tingkat keterhubungan sistem informasi dan teknologi multimedia
yang semakin maju. Otoritas Uni Eropa sebenarnya telah berusaha keras menahan
dan menanggulangi krisis tersebut. Penurunan daya beli tidak hanya dirasakan di
Yunani, sebagai episentrum awal, tetapi mulai menular ke Portugal dan Spanyol.
Kini, dampak krisis telah mulai terasa di Belanda, Belgia, Jerman, dan negara
Eropa lain yang menjadi tujuan ekspor komoditas pertanian Indonesia.
Upaya pencarian pasar-pasar baru
(nontradisional) dari komoditas ekspor strategis ke negara-negara Blok Eropa
Timur, Asia Tengah, Afrika, dan Amerika Latin kini seakan terhenti. Pernah ada
satu-dua misi dagang, ekspo, dan pameran produk ekspor Indonesia yang digagas
sejak 2009. Namun, hanya sedikit sekali yang mampu direalisasikan menjadi
kontrak dagang jangka panjang dan alternatif pasar ekspor komoditas pertanian
strategis Indonesia.
Dunia usaha dan asosiasi komoditas ekspor
pernah cukup semangat untuk menggarap pasar-pasar baru potensial, tepatnya
ketika harga CPO, kopi, dan kakao anjlok pada semester pertama 2009. Akan
tetapi, setelah harga komoditas di tingkat global kembali ”normal” pada awal
2010, rintisan upaya untuk mengembangkan pasar ekspor alternatif itu seakan
terlupakan. Birokrasi pemerintah pun demikian, semua kembali terlena dengan
rutinitas kerja dan target-target politis yang belum tentu tercapai.
Krisis ekonomi Eropa seakan bergerak amat
liar sehingga banyak negara produsen komoditas pertanian melakukan tindakan trade
shock yang hanya mementingkan diri sendiri, seperti yang dilakukan Vietnam.
Malaysia dan Thailand tampak cukup peduli terhadap kejatuhan harga karet dan
kelapa sawit terhadap keberlanjutan dan daya saing komoditas ekspor mereka.
Sekian macam respons kebijakan telah
diberikan oleh pemerintah negara-negara tetangga sesama ASEAN itu untuk
memperkuat posisi tawar petani mereka dalam menghadapi fenomena global,
sementara di Indonesia, respons kebijakan pemerintah tampak amat lambat dan
seakan tidak berdaya. Upaya untuk sekadar melindungi petani hortikultura dari
serbuan impor pun terkesan maju-mundur dengan 1.001 alasan.
Oleh karena itu, pemerintah harus lebih
konsisten untuk melindungi petani, pekebun, dan nelayan di dalam negeri dengan
menyelesaikan target-target kebijakan yang memadai. Strategi pengembangan
komoditas ekspor pertanian wajib mengacu pada falsafah keberlanjutan dan daya
saing dalam jangka panjang. Keberlanjutan meliputi pelestarian dan konservasi
sumber daya alam, sertifikasi, keterlacakan daerah asal, dan pemberdayaan
petani dan koperasi pedesaan. Daya saing meliputi inovasi produksi, peningkatan
produktivitas dan pengembangan kluster ekonomi di tingkat hulu dan kemampuan
diplomasi di kancah global, termasuk pengembangan pasar-pasar baru
nontradisional. Pemerintah dan dunia usaha wajib bahu-membahu mewujudkan
strategi keberlanjutan dan peningkatan daya saing ekspor tersebut.
Pemerintah dan parlemen wajib segera
menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Pembahasan yang berkembang selama ini terlalu bertele-tele dan terjebak pada
urusan administratif yang tidak substantif. Muatan strategis yang lebih
esensial harus menjadi acuan pembahasan. Singkatnya, negara wajib berperan
besar dalam perbaikan kesejahteraan petani dan perekonomian Indonesia umumnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar