Membahayakan
Diri Sendiri
Daoed Joesoef ; Alumnus Universitas Pluridisciplinaires
Pantheon-Sorbonne
Sumber : KOMPAS,
18 Juni 2012
KTT Bumi yang disebut Rio+20 di Rio de
Janeiro, 13-22 Juni 2012, merupakan respons makhluk manusia terhadap ancaman
akan eksistensinya di Bumi. Makhluk ini semakin menyadari bahwa dia adalah
spesies yang betul-betul menjadi terancam.
Perjalanan prasejarah mengungkapkan bahwa
pemunahan setiap bentuk kehidupan atau spesies disebabkan kebanyakan oleh satu
atau kombinasi dari tiga hal. Spesialisasi intensif yang menjurus ke pemusnahan
evolusioner, kekuatan-kekuatan geologis atau klimatologis yang berdampak
katastrofis, atau spesies-spesies lain yang berpembawaan ganas.
Melalui pertarungan evolusioner selama jutaan
tahun ke arah humanitas, bentuk kehidupan yang kemudian menjadi makhluk manusia
berhasil luput dari jebakan spesialisasi. Spesies yang berubah-ubah dan adaptif
ini mampu menguasai opsi-opsi suratan takdir kemanusiaannya. Dia juga bisa
mengatasi unsur-unsur alam. Namun, ancaman yang ketiga, berdasarkan
gejala-gejala perusakan sumber kehidupan dan pembinasaan kedamaian hidup
bersama, tetap merupakan kekuatan katastrofis yang mengancam. Dan ancaman
tersebut berasal dari makhluk manusia itu sendiri.
Bahaya partikular ini sebenarnya telah
diingatkan oleh Alexis de Tocqueville satu setengah abad yang lalu. Filosof
politik Perancis ini dengan sengaja mengunjungi Amerika Serikat untuk
menyaksikan dari dekat dinamika demokrasi baru di ”Dunia Baru”. Setelah
mengagumi langit dan sungai yang serba jernih, hutan dan daratan yang
menghampar luas, 13 juta penduduk cekatan yang ada di situ, dia menulis, ”ademocratic power is never likely to periah
for lack of strength or of its resources, but it may very well fall because of
the misdirection of its strength and the abuse of its resources”.
Ternyata salah urus dan penyalahgunaan sumber
kehidupan oleh penguasa negara dan elite bangsa telah terjadi sejak itu tidak
hanya di Amerika Serikat, tetapi juga di mana-mana, termasuk dan terutama di
lingkungan negara-bangsa yang baru merdeka. Begitu rupa hingga makhluk manusia
dewasa ini tidak hanya sedang menderita krisis ekologis yang memang cukup
mendasar, tetapi juga mengalami krisis multidimensional yang sangat serius,
sebagaimana tecermin pada aneka jenis gejolak, seperti yang kini melanda developed countries di Eropa dan
Amerika, developing countries di
Timur Tengah, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia.
Hal ini perlu dikemukakan di forum ini karena
gejala-gejala krisis multidimensional tersebut tidak disinggung secara
eksplisit oleh dua dokumen pokok yang dijadikan dasar pembahasan di KTT Bumi
Rio+20. Karena diabaikan, penyebab utamanya menjadi tidak dipikirkan dalam
merenungi ”the future we want”.
Terkait Pengetahuan
Dalam berusaha menyempurnakan kehidupan
humannya, makhluk manusia terus-menerus berikhtiar menciptakan pengetahuan
ilmiah baru di samping menyempurnakan yang sudah ada. Kita memang tidak bisa
membayangkan ”the modern world” tanpa
kehadiran ilmu pengetahuan. Dapat dipahami kalau sikap manusia terhadap alam
ambivalen, sebab alam merupakan sahabat sekaligus musuhnya. Maka, bersamaan
dengan itu, dia ternyata mengacaukan antara teknologi dan ilmu pengetahuan. Dia
kiranya tidak menyadari bahwa alat yang dipakainya untuk membelah bukit,
mengebor bumi, membabat hutan, membendung arus air merupakan tidak hanya
kepanjangan ototnya, tetapi juga pikirannya. Dia seharusnya mengetahui bahwa
ilmu pengetahuan boleh saja bebas, berhubung ia adalah pencarian kebenaran,
sedangkan teknologi hanya untuk menerapkan kebenaran itu. Jadi, penerapan ini
perlu dikontrol dan diimbangi kearifan tentang kesejahteraan umum dan keamanan
bersama, tidak mematikan spirit dari gemeinschaft.
Jadi inilah yang terjadi, inilah sebab utama
dari krisis multidimensional yang diabaikan. Dalam berusaha menyempurnakan
kemampuan humannya, di segala bidang kehidupan, dia selalu gigih memupuk isi
intelektual, isi keilmuan, isi taknia, isi religius, isi artistik dari
pembentukan kemanusiaannya. Begitu rupa hingga dia mampu membangun jembatan dan
gedung pencakar langit, menggerakkan dan menerbangkan benda sampai ke angkasa
luar, menjangkau benda-benda yang besar tidak terbatas, mengakses
partikel-partikel yang kecil tak terbatas, demi penguasaan potensi yang
dikandung oleh kedua hal tersebut.
Sayangnya, manusia lupa memupuk isi manusiawi
dari pertumbuhan kemanusiaannya. ”Man
forgot, and still forgots, to cultivate the human content of his becoming human”.
Peperangan, pembuatan senjata pembunuh massal, perusakan alam, mempertahankan
kekuasaan demi kekuasaan, penindasan, adalah manifestasi dari kealpaan
fundamental tersebut.
Tuhan yang Maha-kuasa, Maha-mengetahui, dan
Maha-adil, menciptakan bumi yang mampu memenuhi kebutuhan wajar setiap manusia,
tetapi tentu tidak untuk memuaskan nafsu keserakahan setiap manusia. Teknologi
sebagai means penerapan ilmu pengetahuan, mengukuhkan keserakahan tersebut.
Upaya Penerapan Bijak
Kondisi kehidupan manusia sejak akhir abad
ke-20 dan selanjutnya sebagian besar ditentukan oleh evolusi ilmu pengetahuan
eksperimental dan teknologi yang perkembangannya memengaruhi baik politik
maupun ekonomi. Apakah karena itu kita bisa mengatakan adanya ”scientific culture”? Tunggu dulu!
Istilah tersebut tidak pantas dan abusif selama
implikasi—antara lain moral dan politik dari kemajuan ilmiah dan
teknologis—tidak sekaligus dipikirkan. Kemajuan tersebut untuk melayani siapa
dan untuk apa? Mengenai penerapannya, pertanyaan serius perlu dialihkan dari ”how we can do it”? ke ”should we do it”?
Lembaga pendidikan tinggi, pemerintah dan
swasta, terpanggil menjadi tempat merenungkan ”budaya” di zaman teknologi supermodern apabila usaha formal melalui
undang-undang berniat membuatnya sekadar tempat melatih ”tukang” ke arah gesellschaft.
Budaya adalah ”nilai” dan kalau kita berbicara tentang nilai, kita berbicara
tentang ”manusia”, sebab dia dan
hanya dia, adalah makhluk pembuat nilai dan pemberi makna pada nilai. ”It is not our human nature that is
universal, but our capacity to create cultural realities, and then to act in
terms of them”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar