Minggu, 17 Juni 2012

At All Cost


At All Cost
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi UI,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
Sumber :  SINDO, 17 Juni 2012


At all cost. Padanan idiom bahasa Inggris ini barangkali adalah “sampai titik darah penghabisan”. Artinya, memperjuangkan sesuatu dengan segala sesuatu yang ada,harta-benda,jiwa dan raga.

Wah, patriotik betul kedengarannya. Tapi sebetulnya biasa-biasa saja dan dialami semua orang. Waktu saya naksir seorang kembang kampus di Fakultas Sastra UI, saya berjuang mati-matian.Tidak punya duit pun minjam teman untuk ngajak si kembang nonton.

Naik DKW Hummel (merek motor di zaman itu), dari kos saya di Menteng ke rumahnya di Grogol, terus naik becak (ini yang asyik) ke bioskop Megaria atau Menteng (dulu bioskop yang top ya hanya dua itu, dua-duanya di Menteng dan dua-duanya penuh kutu busuk), sesudah nonton makan bakso dulu di Gondangdia, terus nganterin lagi naik becak (satu-satunya kendaraan yang penumpangnya selalu diikuti oleh “burung”), ngobrol lagi sebentar (sudah kemalaman, gak bisa lama-lama), baru balik lagi pulang ke Menteng naik motor.

Kalau motornya mogok, berhenti dulu, copot busi, bersihkan, dan jalan lagi. Sampai di kos sudah lewat tengah malam, capai, punya utang, belum mengerjakan tugas kuliah, dan tidak bisa tidur karena bahagia banget. Tapi kalau malam minggu itu gagal, pasti akan saya cari akal lagi supaya malam minggu depan bisa mengajaknya. Itulah yang disebut at all cost. Tidak memikirkan ongkos kalau mencita-citakan sesuatu (alhamdulillah si kembang tadi mau saya ajak nikah dan masih bertahan sampai sekarang).

Begitu juga halnya dengan mereka yang maniak menonton sepak bola Piala Eropa. Selama sebulan, hampir setiap malam melek untuk nonton jagoan-jagoannya berlaga. Kalau dia menjagokan dua negara atau lebih, bisa-bisa semalam suntuk tidak tidur karena menonton dua pertandingan. Saya pernah memergoki seorang pegawai di Program Pascasarjana UI yang ketiduran di depan komputernya. Saya bangunkan dia, “Mas, Mas, habis nonton bola, ya?” “Iya, maaf Prof,” jawabnya.

Itu juga at all cost namanya. Masih banyak contoh lain seperti yang ngantre karcis kereta api semalam suntuk buat pulang mudik Lebaran, orang tua yang meminjam kanan-kiri untuk membiayai sekolah anaknya, atau anak yang terpaksa berhenti kerja untuk merawat ibunya yang sakit, atau (nah, yang ini benar patriotik) bertempur membela nusa bangsa sampai cacat atau tewas. Semuanya tidak memikirkan ongkos duit maupun yang non-duit sama sekali, yang penting cita-cita tercapai. Kalau tidak tercapai usaha lagi, ya usaha lagi dan terus usaha lagi. Itulah at all cost. Istilah filsafatnya “idealisme”.

Berbeda halnya dengan opportunity cost. Yang satu ini selalu memikirkan ongkos dalam berusaha mencapai sesuatu. Apa untung-ruginya dihitung betul. Kalau lebih banyak untungnya, kita jalan! Kalau lebih besar ongkosnya, ya nggak-jadi! Tepat sekali! Itulah cara berpikir orang dagang. Jual-beli. Tawar-menawar. Kata pepatah, “ada uang abang sayang, tidak ada uang abang melayang”. Dalam istilah filsafat disebut “pragmatisme”.

Antara idealisme dan pragmatisme memang selalu terjadi kontradiksi. Tanpa idealisme, tidak mungkin terjadi Sumpah Pemuda dan Proklamasi Indonesia. At all cost Indonesia harus merdeka. Kaum pragmatis yang berpikir opportunity cost lebih memilih berkolaborasi dengan Belanda karena lebih banyak untungnya, lebih sejahtera buat rakyat, dsb. Idealisme terkadang memang harus dibayar mahal sekali. Nelson Mandella dipenjara bertahun-tahun, begitu juga Aung San Suu Kyi dan Bung Karno.

Bahkan Sampek dan Engtay, dua insan yang saling mencinta, harus tewas dan berubah menjadi sepasang kupu-kupu demi cinta idealis mereka. Begitu tidak masuk akalnya semangat idealisme yang at all cost itu sehingga sering dianggap gila oleh kaum pragmatis yang berpikir opportunity cost. Salah satu idealisme yang mendapat label “gila” adalah terorisme. Atas nama keyakinan agama tertentu, mereka ikhlas membunuhi orang tidak berdosa, termasuk dirinya sendiri.

Padahal dari penelitian saya, ternyata mereka itu sama sekali tidak gila atau minimal sama “gila”-nya dengan Bung Karno, Nelson Mandela, atau Aung San Suu Kyi yang rela at all cost demi membela ideologinya. Di sisi lain sering kali memang kita harus realistis atau berhitung berdasarkan untung-rugi (opprtunity cost). Kalau terlalu idealis, seorang wanita tahu-tahu jadi perawan tua.

Siti Nurbaya akhirnya mau dinikahi Datuk Meringgih, si tua bangka kaya-raya, untuk menyelamatkan ayahnya yang bangkrut dan sakit walaupun harus mengorbankan cintanya kepada Samsul Bahri yang sedang merantau ke Batavia. Harga BBM cepat atau lambat harus disesuaikan (baca: dinaikkan) kalau kita tidak ingin negara ini bangkrut. Masalahnya, kapan kita harus istiqamah, tetap teguh pada pendirian tertentu, at all cost, dan kapan kita boleh berhitung untung-rugi, realistis, mengikuti opportunity cost.

Memang berat untuk menjawab tantangan ini, apalagi dalam hal berpolitik, berbangsa, dan bernegara. Keliwat banyak variabelnya. Bisa dimengerti kalau SBY bingung. Dinaikkan merugikan rakyat, tidak sesuai dengan UUD 1945 (menyejahterakan rakyat), tidak dinaikkan negara bangkrut (rakyat juga yang rugi). Maju kena, mundur kena. Di sinilah diperlukan kepemimpinan seorang negarawan.

Dia harus bisa membuat keputusan. Mungkin jangka pendek banyak yang menderita, yang protes, tidak suka, tidak populis, tetapi jangka panjangnya bermanfaat bagi semua. Namun yang sungguh berbahaya adalah yang berbaju idealisme, at all cost, demi rakyat, padahal di dalamnya opportunity cost sejati. Mulutnya berbusa-busa memperjuangkan rakyat, memberi kebenaran, antikorupsi, ikhlas digantung di tiang jemuran atau di batu nisan, tetapi motivasi sebenarnya adalah UUD (ujung-ujungnya duit) atau ingin promosi diri, gratis, di TV.

Kebanggaan, cinta, minat atau hasrat yang datang dari lubuk hati yang paling dalam memang tidak bisa diganti dengan uang. Cinta seorang ibu kepada anaknya, walaupun anak itu belang-belang kulitnya atau berwajah seperti Togog, tidak bisa dihargai dengan rupiah, sebera pun besarnya. Begitu juga seharusnya cinta kepada bangsa ini.

At all cost kita harus memperjuangkannya mati-matian, bagaikan seorang mahasiswa yang sedang merebut hati seorang kembang kampus. Tidak ada yang bisa menghadang, merintang atau menghalang, walaupun ada seribu proyek Hambalang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar