”A recession is coming”. Begitulah pesan dari jajak pendapat yang diprakarsai UBS Bank Swiss dan Campden Wealth terhadap 360 responden keluarga superkaya dengan rerata aset tiap keluarga sekitar 1,2 miliar dollar AS. Hasilnya, 55 persen responden meyakini akan terjadi resesi pada 2020. Oleh karena itu, 40 persen di antaranya mengantisipasi dengan mengalihkan portofolio investasi ke instrumen yang lebih aman, seperti surat berharga, private equityhedge fund, dan properti (Financial Times, 24/9/2019). Banyak di antaranya telah mencairkan investasi dan menyimpannya dalam uang kas.
Perilaku para investor menghindari risiko secara agregat terlihat dalam gejala kurva imbal hasil terbalik, yakni imbal hasil investasi jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang. Surat utang Pemerintah Amerika Serikat terbitan 2014 yang jatuh tempo di bawah satu tahun imbal hasilnya mendekat 0 persen, sedangkan yang bertenor 20 tahun imbal hasilnya sekitar 2,5 persen.
Sementara, surat utang yang terbit pada 2019 dengan tenor kurang dari satu tahun imbal hasilnya di atas 2 persen dan untuk 20 tahun hanya 1,5 persen. Selama ini, kurva imbal hasil terbalik selalu mencerminkan perilaku investor yang menandai hadirnya krisis.

Akar masalah politik 
Laporan tahunan Trade and Development Report 2019 terbitan UNCTAD yang dirilis 25 September 2019 juga menegaskan potensi resesi 2020. Terbitan badan di bawah PBB ini menjelaskan pelambatan global masih akan terus terjadi akibat berlarutnya perang dagang dan melambatnya investasi.
Laporan ini memproyeksikan pertumbuhan global 2019 sebesar 2,3 persen atau turun dibandingkan dengan tahun lalu yang 3 persen. Pertumbuhan tahun ini akan menjadi pertumbuhan paling rendah sejak 2009 yang sebesar 1,7 persen. Resesi terjadi jika pertumbuhan ekonomi melambat lebih dari dua triwulan dalam satu tahun secara berurutan.
Kontraksi perekonomian global itu diwarnai berbagai dinamika politik, antara lain tidak terjadinya kesepakatan Brexit, isu penggulingan kekuasaan di Amerika Serikat, serta konflik dagang dan mata uang.
Belum lagi krisis minyak akibat penyerangan kilang Aramco milik Arab Saudi oleh pesawat nirawak yang diduga dilakukan Iran. Jika tidak terjadi perubahan konstelasi politik, kemungkinan resesi tahun depan meningkat.
Nouriel Roubini dalam ulasannya di laman Project Syndicate (22/8/2019) berjudul The Anatomy of the Coming Recession menyebutkan tiga alasan terjadinya resesi 2020. Pertama, perang dagang AS-China yang berkepanjangan. Kedua, perebutan dominasi teknologi kedua negara adidaya. Ketiga, kemungkinan harga minyak dunia yang melonjak akibat krisis politik di Timur Tengah.
Jika resesi 2020 terjadi, situasinya akan berbeda dibandingkan dengan krisis 2008. Saat itu, kontraksi ekonomi merontokkan sisi permintaan yang ditandai dengan daya beli masyarakat yang merosot. Kali ini, resesi akan melemahkan sisi penawaran (faktor produksi) sehingga dampaknya akan lebih panjang. Jika pada 2008 kemampuan pemerintah menstimulasi perekonomian masih besar, kali ini sudah sangat terbatas. Suku bunga sudah sangat rendah, sementara beban utang sudah sangat tinggi.
Pilihan kebijakan tak banyak dan tak bisa lagi mengandalkan instrumen moneter fiskal. Harus ada transformasi struktural jangka panjang. Masalahnya, orientasi politik di banyak negara justru populis, mengandalkan kebijakan moneter-fiskal dan mengabaikan transformasi struktural.
Jika dicermati, persoalan ekonomi berpangkal dari masalah politik. Bisa jadi, pilihan politik muncul karena frustrasi dengan masa depan ekonomi. Jadi telah terjadi kausalitas yang rumit. Situasi ini memunculkan dua implikasi teknis jangka pendek.
Pertama, koordinasi kebijakan menjadi sangat sulit jika bukan mustahil. Keberadaan lembaga multilateral, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), cenderung tak relevan lagi. Kedua, independensi bank sentral di banyak negara berkurang karena harus menyelesaikan masalah ekonomi akibat tekanan politik.
Mitigasi dampak 
Jika resesi 2020 terjadi, apa dampaknya bagi perekonomian kita? Ada tiga jalur utama yang mentransmisikan gejolak eksternal pada perekonomian domestik.
Pertama, efek guncangan lewat jalur keuangan ditandai dengan aliran modal keluar yang disertai pelemahan nilai tukar. Mitigasi yang harus dilakukan adalah memainkan instrumen kebijakan moneter melalui peningkatan suku bunga.
Kedua, efek siklikal yang masuk lewat jalur perdagangan melalui penurunan ekspor yang menekan neraca perdagangan kita. Efek tersebut bisa dimitigasi melalui kebijakan fiskal dengan menaikkan bea masuk barang impor serta mendorong ekspor lewat berbagai insentif pajak dan tarif.
Ketiga, efek struktural yang mengakibatkan potensi pertumbuhan ekonomi tidak maksimal. Salah satu upaya mendongkrak pertumbuhan agar tak turun menjadi di bawah 5 persen pada 2020 adalah meningkatkan investasi, khususnya investasi asing langsung. Pertimbangannya, konsumsi dan pengeluaran pemerintah akan stagnan, sedangkan ekspor berpotensi turun.
Berbagai kebijakan konkret perlu disiapkan dengan fokus menjaga investasi menjadi penyangga pertumbuhan. Bank Dunia mengingatkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia berisiko merosot menjadi 4,6 persen jika tidak ada upaya maksimal merealisasikan investasi.
Sayangnya, seperti dinamika global, perekonomian domestik pun diliputi awan politik yang rumit. Upaya teknokratis sebaik apa pun jika tak dibarengi dengan stabilitas politik, tak akan maksimal. Investor tetap menunggu huru-hara politik selesai, sebelum merealisasikan investasi di Indonesia.
Sudah saatnya mencari konsensus maksimal secara politik terhadap berbagai persoalan yang mengemuka di Tanah Air belakangan terkait rencana penetapan berbagai rancangan undang-undang, yakni RUU KPK, KUHP, RUU Pertanahan, dan lain-lain.
Tanpa konsensus politik, resesi global berpotensi menyeret perekonomian domestik ke jurang pelambatan. Padahal, seharusnya kita punya peluang tumbuh lebih tinggi dengan memanfaatkan perubahan mata rantai pasok global akibat perang dagang. Vietnam punya banyak kelebihan, salah satunya stabilitas politik yang menjamin implementasi kebijakan jauh lebih efektif. ***