Situasi Ibu Kota sedang genting. Hampir setiap hari terjadi demonstrasi, terutama mahasiswa.
Banyak kalangan menuntut KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden waktu itu, mundur. Gus Dur betul-betul dalam situasi sulit. Apalagi media massa lebih banyak menyuarakan kepentingan oposisi ketimbang presiden sehingga citra presiden betul-betul di ujung tanduk. Warga Nahdlatul Ulama marah. Sudah banyak yang menyarankan agar ada demo tandingan. Namun, Gus Dur menolak.
Ketika situasi betul-betul genting, beberapa kalangan di tubuh NU menyiapkan pasukan berani mati untuk membela Gus Dur. Lagi-lagi Gus Dur melarang. Gus Dur merespons dengan ungkapan yang kemudian sangat terkenal: ”Tidak ada kekuasaan yang layak dipertahankan dengan pertumpahan darah.” Gus Dur pun dilengserkan tanpa setetes pun darah mengalir.
Kini, dalam konteks tertentu, situasinya hampir sama. Bedanya, kini ada dua nyawa melayang, Himawan Randy (21) dan Muh Yusuf Kardawi (19), dua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Ambisi kekuasaan telah memakan korban. Pertanyaan besarnya, apakah dua mahasiswa ini korban dari ambisi mempertahankan kekuasaan atau sebaliknya?
Kultur kekerasan
Sejak dulu kala, kekuasaan nyaris tak bisa lepas dari kekerasan. Pada zaman kerajaan, pergantian kekuasaan hampir selalu diwarnai pertumpahan darah. Kekerasan jadi kian melembaga ketika penjajahan masuk wilayah Nusantara. Perlawanan atas penjajahan dihadapi dengan senjata dan kekerasan kemudian menjadi pemandangan lumrah.
Setelah Indonesia merdeka, kekerasan masih berlanjut. Pemberontakan demi pemberontakan memaksa bangsa ini kembali menggunakan kekerasan untuk memadamkannya, mulai dari pemberontakan PKI di Madiun, Kartosuwiryo, Daud Beureuh, hingga kasus PRRI dan Permesta.
Peralihan dari Soekarno ke Soeharto juga diwarnai pertumpahan darah dengan ribuan korban jiwa dalam tragedi pembantaian massal terhadap para aktivis dan simpatisan PKI. Lebih dari itu, orang-orang yang diindikasikan terlibat aktivitas PKI, langsung maupun tidak langsung, dapat perlakuan yang sangat buruk, tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari masyarakat, termasuk terhadap keluarga dan keturunannya.
Berakhirnya kekuasaan Soeharto juga sarat kekerasan. Pendudukan parlemen oleh mahasiswa dan berbagai elemen prodemokrasi adalah bentuk yang lebih soft dari kekerasan. Namun, pada saat yang sama tetapi di tempat yang berbeda, kekerasan mengambil bentuk yang lebih beringas, penuh amarah dan angkara murka dengan anarkisme yang makin luas, kerusuhan massal di pusat-pusat perniagaan Ibu Kota, pembakaran, penjarahan, dan perlakuan semena-mena terhadap kelompok etnis minoritas.
Tak berhenti sampai di situ, kekerasan segera meluas ke sejumlah wilayah di Tanah Air. Konflik horizontal dengan nuansa kekerasan sangat kental meruyak bangsa ini. Kasus Ambon dan Maluku adalah contoh paling ekstrem kekerasan yang dilakukan bangsa yang dianggap ramah, toleran, dan moderat ini.
Kasus Papua adalah contoh mutakhir dari kekerasan yang terus terjadi hingga detik ini. Inilah yang oleh Mark Juergensmeyer (1995) disebut kultur kekerasan. Upaya menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan melahirkan mata rantai kekerasan tak berkesudahan.
Kecenderungan menyelesaikan masalah dengan cara-cara kekerasan jelas menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa yang lebih beradab. Lahirnya demokrasi, sampai tingkat tertentu, merupakan jalan keluar dari kultur kekerasan. Namun, demokrasi tak selalu berhasil memisahkan kekuasaan dari kekerasan. Demokrasi memang sangat menekankan anti-kekerasan, tetapi pintu-pintu kekerasan dibiarkan terbuka.
Kebebasan berpendapat sebagai salah satu prinsip dasar demokrasi menjadi pintu bagi masuknya kekerasan dalam pertarungan kekuasaan. Atas nama kebebasan berpendapat, penyampaian aspirasi sering berujung pada kekerasan ketika setiap pihak tak berhasil melakukan kontrol diri (self control).
Moralitas kekuasaan
Masalahnya bukan pada kekerasan itu sendiri, melainkan sikap permisif terhadap kekerasan itulah yang lebih mencemaskan. Meninggalnya dua mahasiswa betul-betul mengganggu nurani dan akal sehat. Sebegitu gentingkah situasi saat ini sehingga nyawa harus melayang?
Kalau dibandingkan situasi detik-detik menjelang Gus Dur dilengserkan, situasi sekarang sepertinya tak ada apa-apanya. Tingkat kegentingannya jauh lebih rendah ketimbang saat akhir kepemimpinan Gus Dur. Di sinilah moralitas kekuasaan betul-betul dipertanyakan.
Pertanyaan soal moralitas ini tak hanya ditujukan kepada penguasa, tetapi juga kalangan oposisi, baik di parlemen maupun di luar parlemen. Karena, ada anggapan luas, semakin demo anarkis semakin layak diperhatikan; semakin demo jatuh korban, terutama meninggal, semakin layak tuntutan dikabulkan.
Logika seperti ini adalah penistaan terhadap martabat manusia. Demokrasi yang sehat tak hanya butuh penguasa yang kapabel, legitimated, dan berintegritas, tetapi juga butuh oposisi yang sehat. Oposisi sehat bukan ditentukan oleh seberapa besar massa yang mendukung, tetapi oleh seberapa kuat argumen moral yang mendasarinya.
Pengalaman banyak negara menunjukkan, tidak semua oposisi dilakukan secara sehat. Sebagaimana dikemukakan Marcus Mietzner (1988) dari Australian National University, perkembangan oposisi sebagai sebuah gerakan yang secara frontal mengontrol pemerintah telah mengalami empat fase.
Pertama, oposisi yang hanya bersifat seremonial sebagaimana terjadi pada masa-masa awal pertumbuhannya, terutama di Eropa. Pada akhir abad ke-18, negara-negara Eropa mengalami stagnasi sosial-politik akibat dari ketidakmampuan mengatasi berbagai masalah.
Kerajaan-kerajaan yang umumnya memerintah di Eropa menghabiskan tenaganya dengan melibatkan diri dalam perang melawan tetangganya untuk memperluas wilayah kekuasaannya.
Korban dari politik elite ini adalah rakyat kecil yang harus menyumbangkan hasil panennya untuk kepentingan perang. Dalam keadaan itu, rakyat mulai mempertanyakan legitimasi sang raja.  Karena itu, raja lalu menunjuk kabinet sebagai institusi di mana suara rakyat bisa menyalurkan aspirasinya, tetapi keputusan tetap di tangan raja.
Kedua, oposisi destruktif-oportunis. Ketika oposisi yang hanya bersifat seremonial berakhir dengan kehancuran Eropa setelah Perang Dunia pertama, beberapa kerajaan runtuh sebagai akibat dari kemenangan Amerika Serikat dan Inggris. Jerman dan beberapa negara lain menjadi republik dengan sistem parlementer.
Dan setiap empat tahun sekali dilaksanakan pemilu. Koalisi antarpartai memilih perdana menteri yang membentuk kabinetnya yang bertanggung jawab pada parlemen.
Partai-partai yang tak diikutsertakan dalam kabinet akan menjadi oposisi dengan tugas mengontrol pemerintah. Namun, partai- partai oposisi di Jerman pada waktu itu berpendapat bahwa tugasnya hanyalah merugikan citra pemerintah sedemikian rupa sehingga partai oposisi bisa mengambil alih kekuasaan secepat mungkin.
Ketiga, konsep oposisi fundamental- ideologis. Dalam konsep ini, oposisi tak hanya ingin menjatuhkan pemerintah dan meraih kekuasaan, tetapi juga ingin menggantikan sistem parlementer, bahkan dasar negara. Selain Partai Nazi, Partai Komunis juga termasuk kategori ini. Ketika oposisi mengambil bentuk destruktif-oportunis ataupun fundamental-ideologis, dengan sendirinya pemerintah yang berkuasa tidak bertahan lama dan diganti hampir setiap tahun.
Keempat, konsep oposisi konstruktif- demokratis. Ketidakpuasan masyarakat terhadap oposisi seremonial menyebabkan munculnya konsep oposisi radikal dalam bentuk oposisi destruktif dan fundamental-ideologis. Praktik oposisi ini justru semakin menghancurkan dasar demokrasi dan memungkinkan rezim otoriter bangkit kembali. Atas dasar pengalaman pahit inilah konsep oposisi konstruktif-demokratis lahir.
Berbeda dengan ketiga konsep oposisi sebelumnya, konsep oposisi konstruktif- demokratis lebih menekankan keberlangsungan penegakan demokrasi dengan meletakkan kepentingan bersama di atas kelompok atau golongan. Karena itu, peran dan fungsi oposisi ini sangat penting dalam rangka menjamin keberlangsungan sistem demokrasi.
Kecuali jenis oposisi yang terakhir, Indonesia telah mengalami fase-fase oposisi di atas. Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia mengalami oposisi destruktif-oportunis ketika kabinet jatuh bangun dalam demokrasi parlementer pada 1950-an.
Kejatuhan Gus Dur dari kursi presiden juga bisa dilihat dari perspektif ini. Oposisi fundamental- ideologis pernah terjadi ketika PKI coba merebut kekuasaan. Dan ketika Orde Baru berkuasa, oposisi hanya bersifat seremonial.
Menguatnya semangat oposisi era Reformasi ini tentu sinyal yang bagus bagi pengelolaan kekuasaan yang lebih terawasi. Keberhasilan pelembagaan oposisi akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kekuatan oposisi dapat menjalankan peran kontrol secara maksimal tanpa melahirkan gejolak sosial politik berarti.
Oposisi yang sehat tak hanya ditentukan oleh kemampuan menjalankan kontrol ketat terhadap pemerintah, mengevaluasi apakah suatu langkah politik yang diambil pemerintah sesuai perundang-undangan yang berlaku, etika politik atau standar efisiensi dan rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh kemampuan mengembangkan konsep- konsep tandingan yang lebih visioner sehingga proses penyegaran permanen bisa terus berlangsung.
(Agus Muhammad ; Peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta)