Program digitalisasi sekolah telah diluncurkan Mendikbud Muhadjir Effendy (18/9/2019). Pemberian sarana pembelajaran teknologi informasi dan komunikasi kepada peserta didik akan terus dilakukan secara bertahap. Program ini memudahkan siswa mengakses materi sumber belajar secara daring (online) ataupun luring (offline). Sengaja dimulai dari Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, program ini memprioritaskan daerah terdepan, terluar, tertinggal.
Digitalisasi sekolah tentu bagian integral politik pendidikan 4.0. Tujuannya menyiapkan anak-anak Indonesia mampu merespons tantangan revolusi industri 4.0 dan masa depan. Program ini kian menandai bahwa pertautan antara pendidikan dan jagat digital kian tak terelakkan.
Berpijak konstitusi, politik pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendekatannya bertumpu keseimbangan akses dan kualitas. Semua warga bangsa berhak mengakses pendidikan berkualitas. Ikhtiar mencetak manusia unggul karena itu harus selaras dengan perwujudan keadilan sosial. Regulasi pemerintah tak boleh keluar dari sana.
Dalam dunia yang berubah sangat cepat, ketika peranti-peranti teknologis semakin memudahkan proses belajar-mengajar, digitalisasi sekolah tak terelakkan. Revolusi industri 4.0 menuntut respons serbacepat, tetapi tepat melalui pemanfaatan teknologi. Ini mengingatkan pidato Mohammad Hatta pada 1948, kita harus bertindak cepat, tetapi selamat. Digitalisasi pendidikan membuat kita tak sekadar berpasrah pada peribahasa biar lambat asal selamat.
Di era ketika jejaring internet (internet of things) telah merambah ke segenap penjuru bumi, disertai variasi data yang melimpah (big data) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang terus berkembang, tentu proses belajar-mengajar tak lagi dapat dilakukan sekadar manual. Perkembangan teknologi telah jauh dari yang pernah dibayangkan di masa lalu. Peranti teknologis kian menyebar dan terjangkau.
Kondisi ini memberikan kesempatan bagi siapa pun memiliki dan mengakses informasi yang melimpah secara inklusif. Melalui ragam aplikasi berbasis kecerdasan buatan, peserta didik terbantu dalam belajar dan mengembangkan diri. Namun, semua itu butuh panduan. Para guru tetap bertugas memberikan kompas moral dan tak boleh membiarkan peserta didik terjun bebas di jagat digital.
Berbeda dengan swasta, pemerintah tak berorientasi profit dalam mengembangkan politik pendidikannya. Namun, tak mungkin pemerintah bekerja sendirian. Diperlukan kebijakan yang transparan dan terukur dalam pengembangan digitalisasi pendidikan sebagai program yang berkesinambungan. Yang utama bagi pemerintah ialah menciptakan suatu kultur pendidikan yang kolaboratif dan kondusif sehingga daya kreativitas peserta didik berkembang optimal.
Kultur digital yang kreatif, itulah yang seharusnya terbentuk dan terjaga. Sebab, energi kreativitas itulah sejatinya api yang harus terus menyala. Kreativitas adalah bagian dari keunikan manusia yang tak bisa digantikan mesin atau kecerdasan buatan secanggih apa pun. Kreativitas yang merupakan muara dari rasa, cipta, dan karsa manusia merupakan esensi manusia unggul yang terbingkai karakter moral yang kuat.
Kultur digital
Perkembangan daring digital, termasuk di dunia pendidikan, meniscayakan terbentuknya kultur digital, kultur baru yang berbeda dengan kultur manual. Kimberly N Rosenfeld dalam Digital Online Culture, Identity, and Schooling in the Twenty-First Century (2015) mengingatkan hal ini.
Kultur digital berada dalam irisan antara kultur kehidupan nyata (real life culture) dan kultur maya atau virtual. Manusia yang berkonteks teknologi akan memiliki saat-saat ketika kedua budaya ini bercampur.
Budaya digital membantu manusia berimajinasi, mengembangkan daya kreativitasnya. Namun, kultur sedemikian harus tetap berpijak dunia nyata. Imajinasi digital seharusnya digerakkan dalam bingkai untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan dunia nyata. Di sinilah lantas inovasi berkembang sehingga invensi atau penemuan-penemuan mutakhir yang bermanfaat untuk keperluan dunia industri maupun nonindustri atau kemanusiaan yang lebih luas hadir secara variatif.
Politik pendidikan 4.0 bagaimanapun membuka kesempatan luas bagi peserta didik kejuruan atau vokasi dalam mengembangkan kreativitas dan pelejitan daya inovasinya. Karena itu, sudah tepat kiranya manakala pemerintah melalui berbagai regulasi dan pendekatan berikhtiar menyambungkannya dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI).
Baik pendidikan menengah maupun tinggi kian dituntut mampu berkolaborasi dalam merancang dan melakukan riset dan pengembangan dengan DUDI. Tanpa kolaborasi, sinergisitas tak akan terbentuk sehingga nilai tambah tak terbentuk.
Dalam konteks itulah, kultur digital harus diarahkan ke ranah kreativitas dan inovasi. Politik pendidikan 4.0 harus bersifat menghilangkan kendala-kendalanya, serta tak boleh terjebak pada dimensi komersialisasi jika pengembangannya melibatkan swasta. Politik pendidikan selalu berhadapan dengan kontestasi inovasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Sering kali ragam program dan produk inovasi pendidikan yang dikembangkan pemerintah terkesan kalah dari yang dibiakkan inovator swasta.
Ini bisa dipahami mengingat swasta biasanya tak terlalu terbebani birokratisasi. Di negara-negara demokrasi yang meniscayakan inovasi sebagai bagian integral dari kompetisi pasar, swasta memang lebih bergerak lincah.
Dan, memang bukan proporsinya manakala pemerintah menjadi bagian dari kompetitor mereka. Dalam ranah politik pendidikan 4.0 yang dipentingkan ialah efektivitas kolaborasinya. Pemerintah sebagai regulator tetap berpijak pada amanat konstitusi yang mulia.
Literasi kritis
Digitalisasi pendidikan juga harus disertai ikhtiar literasi kritis. Pengertiannya, peserta didik diarahkan untuk mampu menyeleksi ragam materi yang dibutuhkan.
Kemampuan menyeleksi dan menyaring ragam informasi sebagai bentuk kekritisan literatif merupakan keniscayaan utama agar peserta didik tak terjatuh dalam lembah hitam jagat digital. Eric Schmidt dan Jared Cohen, dalam  The New Digital Age: Reshaping the Future of People, Nations and Business (2013), mengingatkan, jagat daring digital memberi peluang sama bagi penggunanya untuk merengkuh kebaikan, seluas peluangnya untuk terjatuh di ranah keburukan. Jagat digital adalah jagat yang terbuka bagi yang baik maupun jahat.
Karena itu, konsep literasi kritis, yang antara lain diingatkan kembali oleh Bill Johnston, Sheila MacNeill, dan Keith Smyth dalam  Conceptualising the Digital University The Intersection of Policy, Pedagogy and Practice (2018), sangat penting.
Konsep ini menekankan kontrol internal pengguna jagat digital, termasuk untuk keperluan pendidikan. Dengan demikian, fokus penggunaan peranti digital semata dalam kerangka berselancar pada ilmu pengetahuan dan pengembangan kreativitas.
Di atas semua itu, politik pendidikan 4.0 juga harus mengarah ke penguatan nasionalisme yang inklusif dan humanis. Perlu formula tepat agar digitalisasi pendidikan tak justru berkembang tak terkendali sehingga peserta didik justru mengalami disorientasi kebangsaan. Yang kita perlukan digitalisasi pendidikan yang tetap membumi dan mengindonesia, justru ketika peserta didik akan semakin akrab dengan jagat digital.
(M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional dan Pengurus Pusat HIPIIS)