|
JAWA
POS, 29 Juni 2013
INDONESIA memiliki
keluarga politik dengan jumlah melimpah. Mereka menjadi pejabat, memimpin
dengan basis politik merujuk ke keluarga. Politik menjadi milik sekian
keluarga, bergerak di partai politik, birokrasi, parlemen. Kuasa keluarga
politik diimbuhi dengan kuasa keluarga bisnis. Indonesia menjadi ruang meraup
laba dari pelaku bisnis melalui ikatan dan jejaring keluarga. Indonesia adalah
antologi keluarga meski sering menimbulkan monopoli, nepotisme, dominasi,
diskriminasi.
Imajinasi keluarga di Indonesia perlahan menjauh dari referensi lokalitas dan adab kultural. Keluarga menjelma tema darurat dengan kalkulasi kekuasaan dan laba. Keluarga dalam pengertian tradisional telah beralih menjadi "mesin" untuk meraih kesuksesan politik dan bisnis. Imajinasi ini mengingatkan kita tentang sejarah keluarga di Indonesia, sejak masa kolonialisme sampai masa Orde Baru. Pembentukan keluarga dalam sejarah (modern) Indonesia memang jadi sengketa politik dan identitas (Shiraishi, 2009: 266). Pengisahan berlanjut ke lakon sebagai incaran dari lakon ilusi politik dan bisnis. Keluarga juga jadi idiom kapitalistik melalui sajian iklan-iklan mobil, asuransi, makanan, obat. Iklan-iklan itu selalu memberi klaim keluarga. Ironis!
Soewardi Soerjaningrat mengingat kebermaknaan keluarga dalam pembentukan identitas melalui pengasuhan keluarga. Ajaran keluarga mengacu ke sastra, tari, bahasa, gending menjadi modal untuk mengantar Soewardi Soerjaningrat menapaki zaman modern, bersekolah di institusi modern, dan mengonstruksi karakter di alam kolonialisme. Soewardi Soerjaningrat bersama Soerjopranoto alias "si raja pemogokan" sebagai representasi keluarga dari Pakualaman-Jogjakarta bertumbuh menjadi intelektual dan penggerak nasionalisme. Mereka membentuk diri dalam asuhan dan kosmologi keluarga Jawa, bergerak mengusung keindonesiaan melalui agenda pendidikan, perburuhan, politik.
Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara melanjutkan ingatan atas asuhan keluarga dalam membuat kebijakan-kebijakan di Perguruan Taman Siswa (1922). Keluarga adalah basis pendidikan. Kebijakan ini sengatan atas model pendidikan Barat. Ki Hadjar Dewantara mengajak publik menempatkan keluarga sebagai pusat dari proses mendidik-mengajar. Konsep keluarga pun melandasi agenda pengajaran-pendidikan di Perguruan Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara (1937) menarasikan keluarga sebagai basis imajinasi Indonesia melalui deretan idiom politik-kultural: "bersatoe", "tertib-damai", "tjinta-kasih", "rasa wadjib", "rasa perhatian". Rintisan Ki Hadjar Dewantara telah menjadi nostalgia, terlupakan oleh dominasi pendidikan institusional bernalar "kesuksesan". Keluarga tak bertanggung jawab atas nasib pembelajar; ruang keluarga tergantikan oleh sekolah dan universitas.
Keluarga sebagai basis pendidikan juga dijalankan Agus Salim, Hamka, Mohammad Hatta. Ikhtiar pembentukan keluarga berkarakter dan berintelektual lekas berganti dengan nalar politik dan bisnis. Keberakhiran kolonialisme justru diartikan sebagai momentum menguasai Indonesia melalui ejawantah otoritas keluarga. Kaum politik bermunculan dari keluarga, memiliki jabatan-jabatan penting. Kuasa keluarga bersebaran di pelbagai sektor bisnis, menjalankan roda ekonomi, merujuk ke pamrih-pamrih elitis dan tertutup. Indonesia cuma milik sekian keluarga. Situasi ini berlatar model kekuasaan Soekarno saat mengolah konsep keluarga ke lakon politik. Pemberlakuan demokrasi terpimpin memunculkan "bapakisme", menggerakkan Indonesia melalui instruksi dan pemusatan kekuasaan. Soekarno bermaksud menjadikan keluarga sebagai basis revolusi, tapi mengalami dilema dalam penerjemahan berbangsa dan bernegara.
Pemaknaan keluarga berlanjut ke rezim Orde Baru. Soeharto menghendaki keluarga adalah basis pembangunan. Pembentukan PKK dan Dharma Wanita menjadi representasi penguasaan keluarga melalui imperatif-imperatif ke pihak ibu. Dua institusi itu melanggengkan nalar politik keluarga, membuat kekuasaan Soeharto meresap ke keluarga menggunakan "perintah halus". Negara tampak berperan penting mendefinisikan keluarga, bertaburan pamrih-pamrih politik. Pengertian keluarga di masa Orde Baru adalah institusi terpatuhkan demi pembangunan.
Imperatif politik segera ditambahi imperatif kapitalisme. Keluarga Indonesia di abad XXI adalah sasaran pembentukan konsumen fanatik. Pelbagai komoditas dijajakan dengan slogan-slogan dan klaim-klaim keluarga. Pengertian keluarga sebagai konsumen menggerakkan bisnis, menghasilkan laba besar. Irwan Abdullah (2003) menganggap intervensi pasar, integrasi pasar, ekspansi pasar jadi penentu "kematian" keluarga secara ideologis dan etis. Keluarga pun mengalami penghancuran ganda oleh politik dan bisnis. Keluarga Indonesia kehilangan masa lalu, identitas, karakter, adab. Keluarga selalu rentan mengalami penjinakan dan kalah. Negara abai atas keluarga, membiarkan kehancuran tanpa ada kebijakan etis dan manusiawi.
Keluarga Indonesia di masa sekarang mengarah ke godaan kesuksesan atas nama politik dan bisnis. Adab keluarga telah surut, berganti adab bersaing demi uang dan jabatan. Keluarga ibarat kumpulan pamrih, menampilkan kuasa melalui dominasi dan pragmatisme. Kita kehilangan jejak referensial tentang pengisahan keluarga berlatar tradisionalitas-lokalitas. Keluarga bergerak dari tradisionalitas menuju modernitas. Senjakala keluarga pun menjadi narasi Indonesia.
Ikhtiar mencipta "keluarga sukses" tak memerlukan masa lalu, melaju ke masa depan dengan persaingan sengit dan manipulasi. Kita merindukan keluarga sebagai rujukan membentuk identitas, karakter, kepribadian. Keluarga adalah basis pemanusiaan dan kemanusiaan dengan olahan nilai-nilai kultural, religiusitas, etis. Ingatan atas keluarga itu selalu berganti melalui sajian iklan-iklan politik dan bisnis. Keluarga ditampilkan seolah harmonis meski manipulatif.
Hari ini, 29 Juni, yang ditetapkan negara sebagai Hari Keluarga Nasional, kiranya menjadi permenungan ketika institusi luhur keluarga memasuki senjakala, bahkan menuju "kematian". Begitu. ●
Imajinasi keluarga di Indonesia perlahan menjauh dari referensi lokalitas dan adab kultural. Keluarga menjelma tema darurat dengan kalkulasi kekuasaan dan laba. Keluarga dalam pengertian tradisional telah beralih menjadi "mesin" untuk meraih kesuksesan politik dan bisnis. Imajinasi ini mengingatkan kita tentang sejarah keluarga di Indonesia, sejak masa kolonialisme sampai masa Orde Baru. Pembentukan keluarga dalam sejarah (modern) Indonesia memang jadi sengketa politik dan identitas (Shiraishi, 2009: 266). Pengisahan berlanjut ke lakon sebagai incaran dari lakon ilusi politik dan bisnis. Keluarga juga jadi idiom kapitalistik melalui sajian iklan-iklan mobil, asuransi, makanan, obat. Iklan-iklan itu selalu memberi klaim keluarga. Ironis!
Soewardi Soerjaningrat mengingat kebermaknaan keluarga dalam pembentukan identitas melalui pengasuhan keluarga. Ajaran keluarga mengacu ke sastra, tari, bahasa, gending menjadi modal untuk mengantar Soewardi Soerjaningrat menapaki zaman modern, bersekolah di institusi modern, dan mengonstruksi karakter di alam kolonialisme. Soewardi Soerjaningrat bersama Soerjopranoto alias "si raja pemogokan" sebagai representasi keluarga dari Pakualaman-Jogjakarta bertumbuh menjadi intelektual dan penggerak nasionalisme. Mereka membentuk diri dalam asuhan dan kosmologi keluarga Jawa, bergerak mengusung keindonesiaan melalui agenda pendidikan, perburuhan, politik.
Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara melanjutkan ingatan atas asuhan keluarga dalam membuat kebijakan-kebijakan di Perguruan Taman Siswa (1922). Keluarga adalah basis pendidikan. Kebijakan ini sengatan atas model pendidikan Barat. Ki Hadjar Dewantara mengajak publik menempatkan keluarga sebagai pusat dari proses mendidik-mengajar. Konsep keluarga pun melandasi agenda pengajaran-pendidikan di Perguruan Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara (1937) menarasikan keluarga sebagai basis imajinasi Indonesia melalui deretan idiom politik-kultural: "bersatoe", "tertib-damai", "tjinta-kasih", "rasa wadjib", "rasa perhatian". Rintisan Ki Hadjar Dewantara telah menjadi nostalgia, terlupakan oleh dominasi pendidikan institusional bernalar "kesuksesan". Keluarga tak bertanggung jawab atas nasib pembelajar; ruang keluarga tergantikan oleh sekolah dan universitas.
Keluarga sebagai basis pendidikan juga dijalankan Agus Salim, Hamka, Mohammad Hatta. Ikhtiar pembentukan keluarga berkarakter dan berintelektual lekas berganti dengan nalar politik dan bisnis. Keberakhiran kolonialisme justru diartikan sebagai momentum menguasai Indonesia melalui ejawantah otoritas keluarga. Kaum politik bermunculan dari keluarga, memiliki jabatan-jabatan penting. Kuasa keluarga bersebaran di pelbagai sektor bisnis, menjalankan roda ekonomi, merujuk ke pamrih-pamrih elitis dan tertutup. Indonesia cuma milik sekian keluarga. Situasi ini berlatar model kekuasaan Soekarno saat mengolah konsep keluarga ke lakon politik. Pemberlakuan demokrasi terpimpin memunculkan "bapakisme", menggerakkan Indonesia melalui instruksi dan pemusatan kekuasaan. Soekarno bermaksud menjadikan keluarga sebagai basis revolusi, tapi mengalami dilema dalam penerjemahan berbangsa dan bernegara.
Pemaknaan keluarga berlanjut ke rezim Orde Baru. Soeharto menghendaki keluarga adalah basis pembangunan. Pembentukan PKK dan Dharma Wanita menjadi representasi penguasaan keluarga melalui imperatif-imperatif ke pihak ibu. Dua institusi itu melanggengkan nalar politik keluarga, membuat kekuasaan Soeharto meresap ke keluarga menggunakan "perintah halus". Negara tampak berperan penting mendefinisikan keluarga, bertaburan pamrih-pamrih politik. Pengertian keluarga di masa Orde Baru adalah institusi terpatuhkan demi pembangunan.
Imperatif politik segera ditambahi imperatif kapitalisme. Keluarga Indonesia di abad XXI adalah sasaran pembentukan konsumen fanatik. Pelbagai komoditas dijajakan dengan slogan-slogan dan klaim-klaim keluarga. Pengertian keluarga sebagai konsumen menggerakkan bisnis, menghasilkan laba besar. Irwan Abdullah (2003) menganggap intervensi pasar, integrasi pasar, ekspansi pasar jadi penentu "kematian" keluarga secara ideologis dan etis. Keluarga pun mengalami penghancuran ganda oleh politik dan bisnis. Keluarga Indonesia kehilangan masa lalu, identitas, karakter, adab. Keluarga selalu rentan mengalami penjinakan dan kalah. Negara abai atas keluarga, membiarkan kehancuran tanpa ada kebijakan etis dan manusiawi.
Keluarga Indonesia di masa sekarang mengarah ke godaan kesuksesan atas nama politik dan bisnis. Adab keluarga telah surut, berganti adab bersaing demi uang dan jabatan. Keluarga ibarat kumpulan pamrih, menampilkan kuasa melalui dominasi dan pragmatisme. Kita kehilangan jejak referensial tentang pengisahan keluarga berlatar tradisionalitas-lokalitas. Keluarga bergerak dari tradisionalitas menuju modernitas. Senjakala keluarga pun menjadi narasi Indonesia.
Ikhtiar mencipta "keluarga sukses" tak memerlukan masa lalu, melaju ke masa depan dengan persaingan sengit dan manipulasi. Kita merindukan keluarga sebagai rujukan membentuk identitas, karakter, kepribadian. Keluarga adalah basis pemanusiaan dan kemanusiaan dengan olahan nilai-nilai kultural, religiusitas, etis. Ingatan atas keluarga itu selalu berganti melalui sajian iklan-iklan politik dan bisnis. Keluarga ditampilkan seolah harmonis meski manipulatif.
Hari ini, 29 Juni, yang ditetapkan negara sebagai Hari Keluarga Nasional, kiranya menjadi permenungan ketika institusi luhur keluarga memasuki senjakala, bahkan menuju "kematian". Begitu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar