|
KOMPAS,
25 Juli 2013
Dua bulan lalu
disepakati Indonesia akan menjadi daerah pelaksanaan proyek penurunan emisi
berbasis hutan terbesar di dunia. Proyek yang dikenal sebagai REDD+ itu
bertajuk Rimba Raya dan sudah diverifikasi lembaga karbon kredit yang kredibel.
Namun, dalam
sisi diametral, pioneer proyek REDD+ dalam kerangka The Kalimantan
Forests and Climate Partnership (KFCP) justru gagal dan resmi dinyatakan pailit
oleh penyandang dana.
Mengapa hal ini
sampai terjadi, apakah ada ketidaksiapan Indonesia dalam pelaksanaan proyek
REDD+ atau justru hanya orientasi jangka pendek yang menjadi kendala? Dalam
tulisan ini akan dicermati beberapa faktor yang mungkin memengaruhi komitmen
Indonesia terkait kelagaan REDD+ dan opsi solusinya.
Komitmen waktu
Bantuan
pendanaan dalam REDD+ harus diterima dalam lembaga Satuan Tugas REDD+. Lembaga
ini penting sebagai pengawal institusional untuk memastikan berjalannya proyek
REDD+ di suatu negara.
Lembaga ini
wajib mengawasi dan memverifikasi usaha penurunan emisi sektor kehutanan ini.
Untuk itu Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan
Kelembagaan REDD+ yang salah satu tugasnya adalah mempersiapkan lembaga REDD+
di Indonesia.
Namun, karena
Satuan Tugas pada termin pertama tidak mampu memenuhi tenggat, Presiden
memberikan perpanjangan waktu dengan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2013
tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2011 tentang Satuan
Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ pada tanggal 22 Januari 2013.
Ironisnya,
tenggat kedua 30 Juni 2013 yang dijanjikan oleh Presiden ternyata tidak dapat
dipatuhi oleh tim bentukannya untuk kedua kalinya.
Dalam
perspektif hukum hal ini akan memberikan ketidakpastian bagi negara-negara yang
hendak bekerja sama dengan Indonesia terkait penurunan emisi sektor hutan.
Komitmen
pemerintah dalam perbaikan lingkungan hidup ternyata hanya berbasis kepentingan
jangka pendek dan cenderung reaksioner, yang secara umum dapat mencederai
komitmen Indonesia dari ketepatan waktu.
Komitmen kewenangan
Salah satu
urgensi hadirnya lembaga REDD+ di Indonesia adalah mengatasi konflik kewenangan
yang tumpang tindih satu sama lain. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010
tentang Satuan Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ yang mengamanatkan
lembaga REDD+ bertugas menyusun kriteria provinsi percontohan dan memastikan
persiapan provinsi terpilih. Kewenangan ini sebelumnya ada pada Kementerian
Kehutanan.
Kementerian
Kehutanan sebenarnya bersemangat membentuk lembaga yang khusus membahas
mengenai REDD+. Selain memberdayakan kelembagaan yang telah ada, seperti Dirjen
Bina Produksi Kehutanan, Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial,
Dirjen PHKA dan Baplan, serta Balitbang Dephut, Kementerian Kehutanan juga
merasa penting untuk membentuk badan ad-hoc. Di Kementerian Kehutanan
sebenarnya telah lama ingin dibentuk Komisi REDD+ sebagai bentuk intervensi
kelembagaan, tetapi hingga kini lembaga tersebut urung terbentuk. Sebaliknya,
ada Dewan Nasional Perubahan Iklim yang memiliki kelompok kerja mitigasi gas
rumah kaca, termasuk bicara tentang REDD+. Terjadilah tumpang tindih peraturan
dan kewenangan yang mengatur REDD+.
Dasar hukum
Tidak
mengherankan apabila proyek REDD+ yang sudah berjalan memunculkan beberapa
konflik serta ketidakjelasan dari segi aturan, baik yang melibatkan agraria,
penataan ruang, ataupun kehutanan. Oleh karena itu, mutlak perlu hadirnya
lembaga yang memiliki otoritas lintas sektor dan lebih tinggi dari sektor yang
ada.
Dalam proses
pembentukan lembaga REDD+ oleh Satuan Tugas REDD+ ditekankan bahwa keberhasilan
penerapan REDD+ di Indonesia sangat bergantung pada transformasi kelembagaan.
Saat ini, kegiatan-kegiatan terkait REDD+ tersebar di berbagai kementerian dan
di daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan koordinasi lintas lembaga pemerintahan.
Lembaga REDD+
akan menjadi badan pusat independen yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden untuk memimpin dan mengoordinasikan upaya pengurangan emisi karbon
akibat deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Untuk itu, lembaga REDD+
membutuhkan mandat dan kewenangan berdasarkan hukum. Lembaga REDD+ memerlukan
mandat lintas kementerian dan lintas sektor agar implementasinya komprehensif.
Dalam
perspektif penulis, peraturan presiden cukup sebagai dasar legitimasi hadirnya
lembaga REDD+. Lembaga ini menjadi kesatuan dengan dasar hukum Peraturan
Presiden tentang REDD+ di Indonesia. Struktur fungsional dari lembaga REDD+ datar,
fleksibel, dan fokus terhadap implementasi. Lembaga REDD+ memimpin,
mengoordinasi atau mengambil bagian dalam berbagai proses utama, misalnya
pengembangan strategi REDD+, persetujuan program dan entitas REDD+, pemantauan
dan evaluasi program. Kedudukan lembaga REDD+ langsung di bawah koordinasi
Presiden akan lebih efektif dan efisien. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar