Rabu, 31 Juli 2013

Pertumbuhan dan Stabilitas

Pertumbuhan dan Stabilitas
Mirza Adityaswara ;  Ekonom
KOMPAS, 30 Juli 2013


Mengelola pertumbuhan ekonomi adalah seperti menyetir kendaraan. Pada saat kondisi jalan lurus dan lancar, maka pedal gas boleh diinjak kencang, tetapi laju kendaraan tidak boleh melanggar batas maksimum kecepatan.

Jika kondisi jalan menuju tikungan, rem mulai diinjak. Jika pedal gas terus diinjak dengan kecepatan maksimum, bisa dipastikan kendaraan akan menabrak dan penumpang celaka. Akan tetapi, menginjak rem juga harus dengan cermat. Jika rem mendadak terlalu dalam, penumpang akan kaget dan bisa juga cedera. Di sinilah tugas penting bagi pengemudi untuk menyetir dengan kecepatan terukur yang aman bagi penumpang.

BI sebagai pengemudi

Bank Indonesia adalah layaknya pengemudi kendaraan, yaitu pengemudi ketersediaan uang beredar di Indonesia. Kecukupan jumlah uang beredar, baik itu uang kertas maupun uang giral, akan memengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. Sumber uang beredar ada dari dalam negeri dan dari aliran modal luar negeri.

Jika aliran modal dari luar negeri berlimpah, uang beredar juga melimpah sehingga suku bunga akan turun dan akan memacu roda perekonomian. Tetapi jika aliran modal asing berkurang, uang beredar juga akan menurun sehingga suku bunga meningkat, laju perekonomian melambat. Hanya saja berbeda dengan pengemudi kendaraan di mana penumpangnya dapat melihat kondisi jalan yang dilalui, sebagian besar pelaku ekonomi yang merupakan ”penumpang” tidak memahami kondisi ekonomi yang sedang dilalui. Akibatnya, pada waktu Bank Indonesia mulai menginjak rem, penumpang kebingungan, bahkan mengomel.

Banyak anggota masyarakat tidak mengerti bahwa ekonomi yang sedang kita jalani di tahun 2013 ini cukup menantang, tidak seperti situasi tahun 2010-2011. Pada tahun 2010 dan 2011, kinerja ekspor masih bagus sehingga terjadi surplus neraca barang dan jasa (neraca berjalan), serta anggaran pemerintah defisitnya terkendali di bawah 2 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tetapi saat ini primadona ekspor komoditas tambang menurun cukup signifikan, sedangkan impor bahan bakar minyak (BBM) serta impor nonmigas masih kencang. Akibatnya, defisit neraca berjalan membengkak di atas 2 persen dari PDB.

Pemerintah akhirnya berani mengatasi ”sebagian” problem defisit neraca berjalan dan defisit APBN dengan sedikit mengurangi subsidi BBM walaupun akibatnya untuk sementara waktu inflasi meningkat. Akan tetapi, pengurangan subsidi BBM tersebut tampaknya belum cukup signifikan menurunkan defisit neraca berjalan karena laju impor masih terlalu kencang, sedangkan ekspor semakin melambat.

Defisit neraca berjalan serta defisit APBN harus dibiayai oleh aliran modal masuk. Masalahnya aliran modal asing sudah mulai berkurang karena bank sentral Amerika (The Fed) akan mengurangi injeksi likuiditas. Investor asing akan selektif, hanya mau masuk ke pasar modal Indonesia jika rasio makroekonomi dijaga prudent. Jika defisit neraca ekspor impor dibiarkan memburuk serta modal portofolio stop masuk ke Indonesia, risikonya adalah devisa negara akan terus tergerus untuk membiayai laju impor. Risiko lainnya adalah kemampuan pembiayaan APBN akan berkurang signifikan.

Faktanya investor portofolio asinglah yang mendanai 30 persen dari pembiayaan APBN. Risiko ini bukan risiko di atas kertas, melainkan sudah terjadi. Buktinya cadangan devisa telah turun di bawah 100 miliar dollar AS demi membiayai impor, serta imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) telah meningkat 3 persen dibandingkan dengan tiga bulan yang lalu. Artinya, biaya bunga utang pemerintah telah meningkat. Contohnya, imbal hasil SUN berjangka waktu 10 tahun telah meningkat dari 5,2 persen menjadi 8,2 persen.

Ketergantungan impor kronis

Ketergantungan negara ini terhadap impor sudah sangat kronis, mulai dari barang modal (mesin), bahan baku, bahan penolong, barang konsumsi, sampai dengan bahan pangan. Keunggulan komparatif sebagai negara agraris dan negara maritim tidak dimanfaatkan. Kebijakan jangka panjang untuk menguatkan industri dalam negeri memerlukan komitmen bersama dari pusat sampai daerah, termasuk komitmen pengusahanya. Menjadi pedagang (importir) memang lebih mudah dibandingkan membangun industri, tetapi akibatnya devisa terus tersedot.

Dalam jangka pendek, jika kebijakan fiskal (pengurangan subsidi BBM) tidak cukup ampuh menekan defisit neraca berjalan serta defisit APBN, terpaksa kebijakan moneter yang harus digunakan. Oleh karena itu, BI sekarang mulai injak rem, menyerap kelebihan uang beredar, yaitu dengan cara sedikit menaikkan suku bunga dan sedikit melakukan depresiasi rupiah. Dampak dari kenaikan suku bunga adalah penurunan pertumbuhan kredit dan pelambatan pertumbuhan ekonomi, tetapi setelah itu diharapkan inflasi akan menurun dan impor akan melambat.

Selain dengan kenaikan suku bunga, penurunan impor dapat dicapai dengan depresiasi rupiah sambil mendukung daya saing ekspor, mendorong neraca berjalan menjadi surplus atau paling tidak defisitnya menurun ke batas yang wajar, di bawah 2 persen PDB.

Jadi, kenaikan sebanyak 0,75 persen suku bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (Fasbi) menjadi 4,75 persen dan BI Rate menjadi 6,5 persen, serta depresiasi rupiah di atas Rp 10.000 per dollar AS memang dirancang untuk melambatkan ekonomi demi mengembalikan angka rasio makroekonomi Indonesia pada jalur yang prudent. Bahkan BI menggabungkan kenaikan suku bunga dengan kebijakan LTV (loan to value ratio) di kredit properti, yaitu menaikkan rasio uang muka kredit pembelian rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Tentu saja banyak pihak yang tidak suka dengan pelambatan ekonomi, apalagi Indonesia sedang memasuki tahun pemilu. Inilah pentingnya komunikasi publik tentang suatu kebijakan.

China juga melambat

Apakah hanya Indonesia yang secara sengaja melambatkan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013? Ternyata China juga mengambil strategi yang sama. Dalam rangka mencegah kenaikan harga tanah yang tidak terkendali serta mengurangi polusi lingkungan, maka pemimpin China dengan sengaja melambatkan laju ekonomi.

Strategi ini berbeda dengan situasi di tahun 2009. Pada saat dunia mengalami resesi pada tahun 2009, Pemerintah China menggenjot pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan kredit agar ekonominya tetap tumbuh di atas 8 persen. Akan tetapi, sekarang Pemerintah China tidak mau lagi menggenjot investasi fisik yang ”sembrono’ karena akan membuat kapasitas yang berlebihan, pada akhirnya menjadi kredit macet. Bahkan China secara sengaja mengetatkan likuiditas untuk menurunkan pertumbuhan kredit lembaga keuangan non bank. Jadi China secara sengaja tahun ini tumbuh di bawah 8 persen. Yang terkena dampak adalah Indonesia. Kinerja ekspor komoditas pertambangan Indonesia semakin menurun karena pelambatan ekonomi China.

Suku bunga dan depresiasi

Berapa kenaikan suku bunga dan depresiasi rupiah yang dianggap normal? Hal tersebut bergantung pada ekspektasi terhadap inflasi satu tahun kedepan. Setelah kenaikan harga BBM, maka ekspektasi inflasi meningkat ke 8-9 persen sehingga berakibat imbal hasil SUN meningkat ke 8,2 persen. Ini merupakan kenaikan biaya bunga bagi pemerintah dan pengusaha. Berhubung BI ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka BI mengurangi pembelian SUN untuk sementara waktu. Jika inflasi mulai turun setelah Lebaran, inflasi pada tahun 2014 semoga sudah kembali ke bawah 5,5 persen. Jika Fasbi naik kembali 0,5 persen ke maksimum 5,25 persen, ekspektasi inflasi bisa diturunkan lebih cepat sehingga imbal hasil SUN tenor 10 tahun akan kembali turun ke bawah 6 persen pada awal tahun 2014. Terbukti, setelah BI menaikkan suku bunga, beberapa hari terakhir imbal hasil SUN berjangka waktu 10 tahun telah membaik turun ke 7,6 persen.

Bagaimana dengan depresiasi rupiah? Kurs mata uang negara lain seperti Filipina, Malaysia, India, Brasil, dan Turki juga melemah mulai 4 persen sampai dengan 8 persen. Rupiah baru melemah sekitar 5 persen. Jika kurs rupiah tidak ikut melemah, rupiah justru akan dianggap over value yang berakibat ekspor produk manufaktur Indonesia kehilangan daya saing. Selain itu, impor juga akan semakin meningkat.


Depresiasi rupiah terhadap dollar AS yang masih dianggap normal merupakan selisih antara inflasi Indonesia tahun ini (8 persen) dan inflasi Amerika (1,8 persen), artinya depresiasi 6,2 persen masih merupakan hal yang wajar, bahkan bermanfaat buat negeri ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar