|
KOMPAS,
30 Juli 2013
Mengelola pertumbuhan ekonomi adalah seperti
menyetir kendaraan. Pada saat kondisi jalan lurus dan lancar, maka pedal gas
boleh diinjak kencang, tetapi laju kendaraan tidak boleh melanggar batas
maksimum kecepatan.
Jika kondisi jalan menuju tikungan, rem mulai
diinjak. Jika pedal gas terus diinjak dengan kecepatan maksimum, bisa
dipastikan kendaraan akan menabrak dan penumpang celaka. Akan tetapi, menginjak
rem juga harus dengan cermat. Jika rem mendadak terlalu dalam, penumpang akan
kaget dan bisa juga cedera. Di sinilah tugas penting bagi pengemudi untuk
menyetir dengan kecepatan terukur yang aman bagi penumpang.
BI sebagai pengemudi
Bank Indonesia adalah layaknya pengemudi
kendaraan, yaitu pengemudi ketersediaan uang beredar di Indonesia. Kecukupan
jumlah uang beredar, baik itu uang kertas maupun uang giral, akan memengaruhi
laju pertumbuhan ekonomi. Sumber uang beredar ada dari dalam negeri dan dari
aliran modal luar negeri.
Jika aliran modal dari luar negeri berlimpah,
uang beredar juga melimpah sehingga suku bunga akan turun dan akan memacu roda
perekonomian. Tetapi jika aliran modal asing berkurang, uang beredar juga akan
menurun sehingga suku bunga meningkat, laju perekonomian melambat. Hanya saja
berbeda dengan pengemudi kendaraan di mana penumpangnya dapat melihat kondisi
jalan yang dilalui, sebagian besar pelaku ekonomi yang merupakan ”penumpang”
tidak memahami kondisi ekonomi yang sedang dilalui. Akibatnya, pada waktu Bank
Indonesia mulai menginjak rem, penumpang kebingungan, bahkan mengomel.
Banyak anggota masyarakat tidak mengerti bahwa
ekonomi yang sedang kita jalani di tahun 2013 ini cukup menantang, tidak
seperti situasi tahun 2010-2011. Pada tahun 2010 dan 2011, kinerja ekspor masih
bagus sehingga terjadi surplus neraca barang dan jasa (neraca berjalan), serta
anggaran pemerintah defisitnya terkendali di bawah 2 persen dari produk
domestik bruto (PDB). Tetapi saat ini primadona ekspor komoditas tambang
menurun cukup signifikan, sedangkan impor bahan bakar minyak (BBM) serta impor
nonmigas masih kencang. Akibatnya, defisit neraca berjalan membengkak di atas 2
persen dari PDB.
Pemerintah akhirnya berani mengatasi
”sebagian” problem defisit neraca berjalan dan defisit APBN dengan sedikit
mengurangi subsidi BBM walaupun akibatnya untuk sementara waktu inflasi
meningkat. Akan tetapi, pengurangan subsidi BBM tersebut tampaknya belum cukup
signifikan menurunkan defisit neraca berjalan karena laju impor masih terlalu
kencang, sedangkan ekspor semakin melambat.
Defisit neraca berjalan serta defisit APBN
harus dibiayai oleh aliran modal masuk. Masalahnya aliran modal asing sudah
mulai berkurang karena bank sentral Amerika (The Fed) akan mengurangi injeksi likuiditas. Investor asing akan
selektif, hanya mau masuk ke pasar modal Indonesia jika rasio makroekonomi
dijaga prudent. Jika defisit neraca ekspor impor dibiarkan memburuk serta
modal portofolio stop masuk ke Indonesia, risikonya adalah devisa negara akan
terus tergerus untuk membiayai laju impor. Risiko lainnya adalah kemampuan
pembiayaan APBN akan berkurang signifikan.
Faktanya investor portofolio asinglah yang
mendanai 30 persen dari pembiayaan APBN. Risiko ini bukan risiko di atas
kertas, melainkan sudah terjadi. Buktinya cadangan devisa telah turun di bawah
100 miliar dollar AS demi membiayai impor, serta imbal hasil Surat Utang Negara
(SUN) telah meningkat 3 persen dibandingkan dengan tiga bulan yang lalu.
Artinya, biaya bunga utang pemerintah telah meningkat. Contohnya, imbal hasil
SUN berjangka waktu 10 tahun telah meningkat dari 5,2 persen menjadi 8,2
persen.
Ketergantungan impor kronis
Ketergantungan negara ini terhadap impor sudah
sangat kronis, mulai dari barang modal (mesin), bahan baku, bahan penolong,
barang konsumsi, sampai dengan bahan pangan. Keunggulan komparatif sebagai
negara agraris dan negara maritim tidak dimanfaatkan. Kebijakan jangka panjang
untuk menguatkan industri dalam negeri memerlukan komitmen bersama dari pusat
sampai daerah, termasuk komitmen pengusahanya. Menjadi pedagang (importir)
memang lebih mudah dibandingkan membangun industri, tetapi akibatnya devisa
terus tersedot.
Dalam jangka pendek, jika kebijakan fiskal
(pengurangan subsidi BBM) tidak cukup ampuh menekan defisit neraca berjalan
serta defisit APBN, terpaksa kebijakan moneter yang harus digunakan. Oleh
karena itu, BI sekarang mulai injak rem, menyerap kelebihan uang beredar, yaitu
dengan cara sedikit menaikkan suku bunga dan sedikit melakukan depresiasi
rupiah. Dampak dari kenaikan suku bunga adalah penurunan pertumbuhan kredit dan
pelambatan pertumbuhan ekonomi, tetapi setelah itu diharapkan inflasi akan
menurun dan impor akan melambat.
Selain dengan kenaikan suku bunga, penurunan
impor dapat dicapai dengan depresiasi rupiah sambil mendukung daya saing
ekspor, mendorong neraca berjalan menjadi surplus atau paling tidak defisitnya
menurun ke batas yang wajar, di bawah 2 persen PDB.
Jadi, kenaikan sebanyak 0,75 persen suku bunga
Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (Fasbi) menjadi 4,75 persen dan BI Rate
menjadi 6,5 persen, serta depresiasi rupiah di atas Rp 10.000 per dollar AS
memang dirancang untuk melambatkan ekonomi demi mengembalikan angka rasio
makroekonomi Indonesia pada jalur yang prudent. Bahkan BI menggabungkan
kenaikan suku bunga dengan kebijakan LTV (loan
to value ratio) di kredit properti, yaitu menaikkan rasio uang muka kredit
pembelian rumah kedua, ketiga, dan seterusnya. Tentu saja banyak pihak yang
tidak suka dengan pelambatan ekonomi, apalagi Indonesia sedang memasuki tahun
pemilu. Inilah pentingnya komunikasi publik tentang suatu kebijakan.
China juga melambat
Apakah hanya Indonesia yang secara sengaja
melambatkan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013? Ternyata China juga
mengambil strategi yang sama. Dalam rangka mencegah kenaikan harga tanah yang
tidak terkendali serta mengurangi polusi lingkungan, maka pemimpin China dengan
sengaja melambatkan laju ekonomi.
Strategi ini berbeda dengan situasi di tahun
2009. Pada saat dunia mengalami resesi pada tahun 2009, Pemerintah China
menggenjot pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan kredit agar ekonominya
tetap tumbuh di atas 8 persen. Akan tetapi, sekarang Pemerintah China tidak mau
lagi menggenjot investasi fisik yang ”sembrono’ karena akan membuat kapasitas
yang berlebihan, pada akhirnya menjadi kredit macet. Bahkan China secara
sengaja mengetatkan likuiditas untuk menurunkan pertumbuhan kredit lembaga
keuangan non bank. Jadi China secara sengaja tahun ini tumbuh di bawah 8
persen. Yang terkena dampak adalah Indonesia. Kinerja ekspor komoditas
pertambangan Indonesia semakin menurun karena pelambatan ekonomi China.
Suku bunga dan depresiasi
Berapa kenaikan suku bunga dan depresiasi
rupiah yang dianggap normal? Hal tersebut bergantung pada ekspektasi terhadap
inflasi satu tahun kedepan. Setelah kenaikan harga BBM, maka ekspektasi inflasi
meningkat ke 8-9 persen sehingga berakibat imbal hasil SUN meningkat ke 8,2
persen. Ini merupakan kenaikan biaya bunga bagi pemerintah dan pengusaha.
Berhubung BI ingin mengurangi jumlah uang beredar, maka BI mengurangi pembelian
SUN untuk sementara waktu. Jika inflasi mulai turun setelah Lebaran, inflasi
pada tahun 2014 semoga sudah kembali ke bawah 5,5 persen. Jika Fasbi naik kembali
0,5 persen ke maksimum 5,25 persen, ekspektasi inflasi bisa diturunkan lebih
cepat sehingga imbal hasil SUN tenor 10 tahun akan kembali turun ke bawah 6
persen pada awal tahun 2014. Terbukti, setelah BI menaikkan suku bunga,
beberapa hari terakhir imbal hasil SUN berjangka waktu 10 tahun telah membaik
turun ke 7,6 persen.
Bagaimana dengan depresiasi rupiah? Kurs mata
uang negara lain seperti Filipina, Malaysia, India, Brasil, dan Turki juga
melemah mulai 4 persen sampai dengan 8 persen. Rupiah baru melemah sekitar 5
persen. Jika kurs rupiah tidak ikut melemah, rupiah justru akan
dianggap over value yang berakibat ekspor produk manufaktur Indonesia
kehilangan daya saing. Selain itu, impor juga akan semakin meningkat.
Depresiasi rupiah terhadap dollar AS yang
masih dianggap normal merupakan selisih antara inflasi Indonesia tahun ini (8
persen) dan inflasi Amerika (1,8 persen), artinya depresiasi 6,2 persen masih
merupakan hal yang wajar, bahkan bermanfaat buat negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar