KOMPAS, 31
Juli 2013
|
Sekarang ini secara legal-formal
petani sungguh dimanjakan melalui beragam perundangan. Hal ini tampak dari
banyaknya dokumen yang menegaskan pentingnya kesejahteraan, kemandirian dan
kedaulatan. Program pemberdayaan, pengembangan sistem ketahanan pangan nasional,
sampai swasembada, semua memandatkannya.
Persoalan kemandirian dan
kedaulatan pangan yang juga menyejahterakan petani akhirnya ditegaskan UU No
18/2012 tentang Pangan. Secara legal-formal, tampaknya UU ini masih dianggap
tak cukup. Karena itu, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (PPP) yang
memandatkan kesejahteraan, kemandirian, dan kedaulatan petani baru-baru ini
disetujui DPR menjadi UU.
Tanpa menutup fakta masih adanya
kontroversi substansi, boleh dikatakan kedua UU itu lebih dari cukup dalam
membingkai proteksi dan kepentingan petani. Persoalan menjadi mengemuka ketika
beragam tekad politik yang protektif itu ternyata tak pernah jadi realitas
lapangan, yang merupakan kebutuhan riil petani, bukan sekadar proteksi
legalistik-formalistik.
Untuk menilai betapa kuatnya
proteksi legal kedua UU ini bisa disebut pasal paling relevan untuk mencermati
krisis pangan mutakhir dan kaitannya dengan importasi umumnya, khususnya impor
daging sapi yang tidak kunjung reda.
UU No 18/2012 menyebut pada Pasal
36 (1) ”Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri
tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri”. Sementara
Pasal 31 UU PPP berbunyi ”Setiap orang dilarang memasukkan komoditas pertanian
dari luar negeri pada saat ketersediaan komoditas pertanian di dalam negeri
sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan pemerintah”.
Tanpa UU pun, tuntutan substantif
yang mencakup dua pasal ini sebenarnya telah sekian lama jadi tekad pemerintah,
yang kemudian dirumuskan dalam segala peta jalan swasembada pangan, dan dokumen
lainnya. Kenyataannya, dinamika pangan nasional tidak pernah lepas dari krisis
tata niaga dengan penyebab utama besarnya pengaruh importasi.
Selalu saja ada pembenaran legal
bagi importasi. Beragam kebijakan pangan, sengaja atau tidak sengaja,
memudahkan terwujudnya fakta legal dan rekonstruksi kelangkaan, data pasar
sulapan, gejolak sosial rekayasa, dan segala indikasi lapangan, sebagai
pembenaran kelangkaan dan wajib impor. Pesimisme mencuat ketika selalu tersuguh
realitas aneka krisis pangan seperti kedelai, beras, gula, bawang, cabai,
singkong, produk hortikultura umumnya, dan semuanya, sampai krisis daging sapi
yang tak kunjung padam.
Rekonstruksi krisis sapi
Bahasa pesimistisnya, ”lain
legalitas, lain pula realitasnya”. Karut-marut tata niaga ini nyaris terjadi
pada semua komoditas pangan yang disulap jadi semakin bergantung pada pangan
impor dengan pembenaran lebih canggih dari upaya proteksi petani. Model sulapan
ini sudah sangat standar dan dipertontonkan dalam aneka pendekatan.
Pembenaran impor biasa dilakukan
melalui pelangkaan barang dan pendekatan agitatif. Untuk kasus daging sapi,
misalnya, dengan pelangkaan, sekurangnya terdapat sembilan jalur pendekatan:
(1) membuat resah konsumen; (2) agitasi industri pemakai bahan baku; (3)
membangun keresahan pedagang pasar dan perantara; (4) menggerakkan pekerja
terkait; (5) advokasi ke partai politik; (6) menggalang isu politik fraksi
DPRD-DPR; (7) negosiasi birokrasi; (8) mobilisasi kritik akademisi; dan (9)
menjual fatwa rohaniwan.
Sejumlah modus dekadensi nurani itu
sangat standar dan sebenarnya mudah dideteksi. Mudah dideteksi, tetapi tidak
pernah dilakukan, meski beragam asas legal dan kekuatan politik dimiliki
pemerintah dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II-nya. Pertanyaannya, kenapa
kekuatan paripurna itu mandul dan kehilangan kekuatan, bahkan acap kali
kontroversi yang tampak dalam KIB II ketika krisis komoditas pangan meradang,
apa pun komoditasnya.
Spiritualisasi pembangunan,
struktur penyelenggara negara, segala kebijakan dan dokumen legal rasanya
merupakan kebutuhan mendesak. UU PPP dan UU No 18/2012 tidak pula akan ada
manfaatnya ketika penerapannya tidak disertai penguatan spiritual.
Hakikatnya, krisis pangan nasional
bukanlah akibat ketertinggalan teknologi. Bukan keterbatasan sumber daya alam
dan tidak pula krisis legalitas, melainkan krisis spiritual. Yang menggejala
adalah krisis nurani di balik segala kekuatan dalam pengendalian dekadensi
nurani bisnis yang membunuh petani sebagai produsen domestik, melalui impor dan
rentenya. Tanpa kebangkitan kekuatan nurani, rasanya perjalanan sistem pangan
nasional akan makin mundur, hopeless...
na’uzu billah.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar