Selasa, 30 Juli 2013

Hak Keamanan Warga

Hak Keamanan Warga
M Bashori Muchsin ;  Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam, Malang
KORAN JAKARTA, 26 Juli 2013



Ketika Lyndon B Johnson masih menjadi senator muda dari negara bagian Texas, dia memasang tulisan di dinding kantornya, "You don’t learning when you’re doing all the talking" atau Anda tidak akan pernah belajar apa-apa jika terus berbicara.

Pernyataan Johnson ditujukan pada setiap "pekerja" negara yang bertanggung jawab pada kehidupan rakyat. Mereka diingatkan, di pundaknya terdapat amanat yang tidak ringan, harus dilaksanakan secara maksimal, bukan asal-asalan.

Johnson juga mengingatkan diri dan setiap "pekerja" negara supaya tidak banyak obral janji atau sekadar bicara untuk menjawab pertanyaan, aspirasi, dan gugatan rakyat. Kalau hanya bicara (janji), tidak lebih sekadar memberi mimpi yang membius.

Parameter kinerja profesional birokrat negara di antaranya terletak pada terpenuhi hak-hak warga. Ketika hak-hak warga dipenuhi dan mereka merasa puas berarti aparat menjalankan tugas secara profesional. Sebaliknya, jika banyak hak warga yang belum terakomodasi, maka kinerjanya belum profesional.

Kinerja aparat kemanan belum bisa dibilang profesional karena masih banyak hak warga yang belum bisa dipenuhi seperti rasa aman dari gangguan kriminalitas. Banyaknya kriminalitas memperlihatkan knerja kepolisian belum benar-benar profesional. 

Berbagai aksi kriminalitas berupa pencurian, penodongan, hingga perampokan makin marak selama ramadan dan menjelang lebaran. Kawanan penjahat tidak hanya nekat menodong korban, tetapi juga tak segan-segan melukai bahkan mengumbar tembakan. Misalnya, pada Rabu (17/7), tiga kasus perampokan terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya, khususnya kawasan pinggiran Ibu Kota, Jakarta Timur, Depok, dan Tangerang Selatan. 

Dalam kasus di Depok, seorang anggota TNI AD, Prada Roni, dirampas motornya di kawasan Jalan Dwikora, Depok, Selasa (16/7) malam. Saat itu anggota Divisi I Kostrad Cilodong ini tengah mengendarai motor. Tiba-tiba motornya dihentikan dua laki-laki dan menodong Roni. Tak mau menyerah begitu saja, ia melawan. Salah seorang penjahat melepaskan tiga tembakan. Roni tertembak di bagian paha kiri dan pinggang. Ia tersungkur dan berteriak. Kedua pelaku melarikan diri.

Itu hanya merupakan salah satu contoh kasus di antara sekian banyak "penjarahan" hak atas keamanan warga jelang lebaran. Hak keamanan warga belum benar-benar menjadi prioritas aparat. Hak keamanan warga berelasi dengan bebas dari ketakutan, ancaman, atau gangguan yang membahayakan ketenangan, keselamatan, dan keberlanjutan hidupnya. Dari sekian banyak ini, hak bebas dari ketakutan benar-benar tergugat karena terasa sebagai "sangat mahal" bagi warga.

Warga yang sedang beraktivitas atau menikmati kenyamanan tidur di rumah, tiba-tiba dengan gampangnya dibuat kehilangan hak keamanannya karena kehadiran segerombolan penjahat yang akan merampas harta bendanya. Negara tidak mampu melindungi warga secara optimal. 

Prioritas

Aparat keamanan perlu merekonstruksi kinerja guna nenempatkan hak keamanan warga menjadi benar-benar sebuah prioritas. Hak atas keamanan tidak akan sampai rentan dikoyak dan disetruksi oleh pelaku kriminalitas, jika negara melalui aparatnya selalu menempatkannya sebagai prioritas kerja. 

Salah satu dari empat kebebasan (the four freedoms) yang dicanangkan oleh Presiden Amerika Franklin D Roosevelt pada awal dasawarsa 40-an adalah bebas dari rasa takut ( freedom from fear). Kebebasan ini diyakini sebagai hal yang esensial selain tiga kebebasan lain (kebebasan berbicara, beragama, dan dari kemiskinan) agar seorang manusia bisa menjalani kehidupan yang bermartabat.

Bebas dari rasa takut sudah menjadi kerinduan masyarakat. Warga sudah lama menunggu bukti agar desain manajemen keamanan wilayah perkotaan dan pedesaan (pinggiran) secepatnya diubah. Masyarakat tak boleh dibiarkan terus menerus merasa terkungkung dalam ketakutan. 

Bebas dari ketakutan atau kenikmati konstruksi keamanan sosial yang kondusif dan progresif merupakan hak konstitusional warga. Namanya juga hak konstitusional, maka sudah seharusnya diwujudkan. Masyarakat yang idealitasnya berkewajiban menyejahterakan dirinya atau mengepakkan sayap-sayap ekonominya, akhirnya bisa gagal total ketika aktivitasnya lebih sering berada dalam ancaman yang menekan. 

Pemimpin demokrasi Burma Aung Sang Suu Kyi dalam pidatonya pada tahun 1990, mengatakan bahwa rasa takut membuat manusia kehilangan ukuran baik dan buruk. Seorang manusia yang dilanda ketakutan, tidak akan mampu bermartabat. Segenap potensi yang ada padanya untuk mengupayakan kesejahteraan diri dan orang lain akan teredam. Masyarakat dan bangsa mana pun yang dihinggapi rasa takut akan mudah muncul penyimpangan kekuasaan. Berbagai kejahatan dan perbuatan keji akan subur.

Peringatan Aung Sang Suu Kyi dapat dibaca bahwa masyarakat atau bangsa di mana pun, termasuk Indonesia wajib dijauhkan dari atmosfir ketakutan atas keselamatan dan keberlanjutan hidupnya. Semakin dihinggapi ketakutan, maka hidup yang dijalainya menjadi tidak produktif.

Menjadi ironis jika negara memang bermaksud menjadikan atmosfir yang mengancam terus menerus sebagai bagian dari strategi politik "pelemahan" atau pereduksian kedaulatannya. Politik bisa saja membuat elite kehilangan daya kritis, sehingga negara bisa otoriter. Masyarakat tidak boleh diperlakukan demikian. Warga harus dimerdekakan dari rasa takut tidak hanya dari para penjahat yang terang-terangan mengaku sebagai kriminal, tetapi juga dari kelompok-kelompok masyarakat yang bertindak anarkis. 

Bahkan belakangan kelompok anarkis jauh lebih menakutkan dan masif dalam meneror warga. Aparat keamanan sebagaimana diinstruksikan Presiden Yudhoyono harus menindah tegas anasir-anasir peneror. Aparat tidak boleh menolerir kelompok-kelompok yang kerjanya hanya menebarkan teror ke masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar