|
SINAR
HARAPAN, 26 Juli 2013
Upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia kembali menghadapi ujian. Kali ini ujian itu
berupa resistensi dan tuntutan revisi dari sejumlah pihak terhadap Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan.
Peristiwa
kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara,
Kamis (11/7) lalu, seakan menjadi momentum untuk memunculkan tuntutan tersebut.
Kerusuhan
di LP Tanjung Gusta Medan, Sumatera Utara, dijadikan sebagai justifikasi untuk
memunculkan wacana revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Ada upaya untuk mengaitkan peristiwa kerusuhan di LP Tanjung Gusta dengan
peraturan pemerintah mengenai pengetatan remisi tersebut.
Sebagaimana
diketahui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengatur pengetatan pemberian
remisi terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, dan terorisme.
Hal itu dimaksudkan untuk memunculkan efek jera bagi para pelaku ketiga tindak
pidana tersebut.
Akan
tetapi, kemunculan peraturan pemerintah tersebut mendapatkan resistensi sejumlah
pihak, terutama dari kalangan politikus di Senayan.
Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dinilai bertentangan dengan undang-undang
lembaga permasyarakatan karena seorang terpidana harus diperhatikan hak-hak
hukumnya untuk mendapatkan keringanan melalui remisi dan pembebasan bersyarat
jika berkelakuan baik selama berada di tahanan.
Resistensi
kalangan politikus terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 juga dapat
dilihat dari penyampaian surat dari wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Priyo
Budi Santoso kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk
mempertimbangkan pencabutan peraturan pemerintah tersebut.
Politikus
Partai Golkar itu berdalih pengiriman surat kepada Presiden SBY tersebut
semata-mata dilakukan untuk menindaklanjuti laporan pengaduan masyarakat
tentang kondisi para napi di lembaga permasyarakatan yang disampaikan kepada
Komisi III DPR beberapa waktu lalu.
Laporan
dibuat oleh sembilan narapidana yang mewakili 109 narapidana lain. Beberapa di
antara sembilan narapidana itu adalah mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno
dan mantan Bupati Bengkulu Agusrin M Najamuddin.
Resistensi
kalangan politikus di Senayan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012
ditengarai merupakan wujud advokasi terhadap para pelaku tindak pidana korupsi
di Indonesia. Apalagi tidak sedikit koruptor yang saat ini tengah mendekam di
LP memiliki latar belakang partai politik dan pernah tercatat sebagai anggota
dewan.
Patut
diduga sikap para politikus DPR yang bertentangan dengan semangat pemberantasan
korupsi tersebut merupakan bagian dari skenario politik untuk melakukan
pelemahan terhadap gerakan antikorupsi secara umum dan eksistensi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) secara khusus.
Pelemahan KPK
Selama
ini berbagai upaya pelemahan terhadap KPK memang teramat sering dilakukan
kalangan politikus di DPR. Keberadaan KPK memang telah membuat resah sejumlah
pihak yang selama ini memiliki keleluasaan untuk melakukan tindak pidana
korupsi. Selama kurun waktu delapan tahun berkiprah (2004-2012) tercatat KPK
telah melakukan penyelidikan 480 kasus, penyidikan 278 kasus, dan
penuntutan/vonis 222 kasus.
Jumlah
total tersangka dari kasus-kasus itu sebanyak 332 orang dengan rincian 65
anggota DPR/DPRD, 31 orang kepala daerah/wakil kepala daerah, tujuh orang
komisioner, enam orang menteri/setingkat menteri, lima orang hakim, dan 218
orang berlatar belakang lain.
Salah
satu cara paling populer dalam melakukan pelemahan terhadap KPK adalah melalui
pembentukan opini negatif terhadap KPK. Isu perpecahan di antara komisioner KPK
merupakan salah satu wujud dari pembentukan opini negatif tersebut. Begitu juga
dengan kemunculan rumor-rumor mengenai penegakan hukum oleh KPK yang tebang
pilih dan diskriminatif.
Bahkan,
bukan tidak mungkin kelak DPR akan memangkas sejumlah kewenangan penindakan
yang dimiliki KPK melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pemangkasan itu agar kewenangan KPK tidak lagi kuat sehingga sama dengan aparat
penegak hukum lain, seperti kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Berbagai
perilaku politikus yang sering kali tidak selaras dengan semangat pemberantasan
korupsi tentu membuat publik merasa miris. Karena itu, tidak mengherankan jika
kini publik melihat keberadaan partai politik lebih sebagai sumber permasalahan
bangsa dan negara ketimbang solusi.
Mungkin
benar apa yang dikatakan Presiden SBY dalam berbagai kesempatan bahwa melakukan
pemberantasan korupsi di Indonesia bukan perkara mudah. Pemberantasan korupsi
di negeri ini menjadi agenda sekaligus tantangan berat bagi pemerintah, terutama
jajaran penegak hukum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar