|
SUARA
KARYA, 25 Juli 2013
Tulisan ini sedikit menanggapi pernyataan Menteri BUMN
Dahlan Iskan, beberapa waktu lalu di sejumlah media massa yang menyebutkan
bahwa Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dari sejumlah perusahaan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan dialihkan ke pihak lain yang lebih
berkompeten.
Menurut Dahlan, wacana ini dilakukan agar BUMN yang
bersangkutan lebih fokus mengurusi bidangnya sebagai badan usaha milik negara.
Inilah beberapa poin alasan yang dijadikan Dahlan Iskan kenapa PKBL atau
CSR-nya BUMN harus dialihkan ke pihak lain yang lebih borkompeten. BUMN
dinilainya, bukan dibentuk untuk tujuan mengelola kegiatan sosial. Selain itu,
pengelolaan PKBL masih tergolong lemah sehingga BUMN sulit
mempertanggungjawabkan penggunaan dana yang dialokasikan untuk kepentingan
masyarakat. Dengan PKBL, BUMN dikhawatirkan juga tidak bisa berkompetisi dengan
perusahaan swasta, sehingga target mengejar prestasi sulit dicapai.
Ada benarnya kekhawatiran orang nomor satu di Kementerian
BUMN ini, meski kita harus pula melihat masih ada sejumlah perusahaan BUMN yang
getol melakukan kegiatan PKBL dengan kinerja yang terus memuaskan, bahkan
semakin meningkat, seperti PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. BUMN perbankan
sepertinya selamat terkait kebijakan Dahlan, karena penerapan PKBL sudah
optimal, seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Negara
Indonesia (Persero) Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Sebelum membahas lebih jauh masalah ini, mari kita lihat apa
CSR itu sendiri. Corporate Social
Responsibility (CSR) seperti yang dikutip Lingkar Studi CSR Indonesia,
merupakan upaya dari entitas bisnis untuk meminimalkan dampak negatif dan
memaksimalkan dampak positif operasional perusahaan terhadap pemangku
kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan.
Konsep CSR itu sendiri pada 1953 dipopulerkan dengan buku
karya Howard R Bowen bertajuk Social Responsibilities of the businessman.
Genderang CSR yang digadang-gadang Bapak CSR (Howard R Bowen) tersebut pada
1960 mulai berkembang. Masalah kemiskinan dan keterbelakangan mendapat
perhatian, bahkan dalam Earth Summit
(KTT Bumi) di Rio De Janeiro tahun 1992 ditegaskan konsep sustainable
development (pembangunan berkelanjutan) yang berdasarkan atas perlindungan
lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial, sebagai hal yang harus
dilakukan. Pada World Summit on
Sustainable Development (WSSD) 2002 di Yohannesburg, Afrika Selatan,
mencuat konsep Tanggung Jawab Sosial (Social
Responsibility) yang mengiringi dua konsep sebelumnya, yakni Economic and Environment Sustainability.
CSR itu sendiri nantinya akan menjadi investasi sosial perusahaan untuk
mendapatkan image positif di mata masyarakat atau lingkungannya. Bahkan, ini
menjadi bagian dari risk management
perusahaan untuk meredam konflik sosial.
Bagi perusahaan pelat merah (BUMN), program PKBL tidak jauh
berbeda dengan praktik CSR yang dilakukan perusahaan swasta. Dengan program CSR
BUMN ini diharapkan terjadi peningkatan partisipasi perusahaan pemerintah untuk
memberdayakan potensi dan kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat
yang berfokus pada pengembangan ekonomi kerakyatan guna menciptakan pemerataan
pembangunan. PKBL memiliki peran yang cukup luas dibanding CSR, karena
diharapkan mampu mewujudkan tiga pilar utama pembangunan masyarakat. Ketiga
pilar tersebut adalah PKBL harus mampu mengurangi jumlah pengangguran (pro job)
dan penduduk miskin (pro poor), serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro
growth). PKBL merupakan pengejawantahan tanggung jawab BUMN kepada masyarakat,
yang dananya diambil dari penyisihan laba (untuk kemitraan maksimal 2 persen
dan bina lingkungan 2 persen). Program ini dilakukan untuk memberikan bimbingan
dan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan, sehingga BUMN tidak terkesan
hanya mengejar keuntungan belaka.
Mandiri
Program Kemitraan BUMN merupakan program untuk meningkatkan
kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana
dari bagian laba BUMN. Sementara program Bina Lingkungan BUMN merupakan program
untuk membentuk calon Mitra Binaan baru dan pemberdayaan kondisi sosial
masyarakat melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. PKBL itu sendiri
harus dimaknai sebagai mandatory dalam makna liability yang disertai dengan
sanksi, bukan hanya sekedar responsibility
karena bersifat voluntary. Penulis mengamati bahwa PKBL amat diperlukan bagi
BUMN.
Dari sisi kepentingan BUMN yang bersangkutan, bahwa PKBL mampu menjadi
investasi sosial perusahaan yang bersangkutan guna mendapatkan image positif di
mata masyarakat atau lingkungannya.
Jadi, wacana untuk mengalihkan PKBL ke satu perusahaan yang
fokus atau berkompeten belum saatnya, bahkan masih amat sulit diterapkan. Dalam
pandangan awam, bagaimana mungkin menciptakan sebuah image positif sebuah BUMN
"A", misalnya, tapi yang melaksanakan PKBL itu adalah BUMN
"B". Bisa dipastikan yang mendapat image positif adalah BUMN
"B" karena perusahaan ini yang melaksanakan PKBL. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar