KOMPAS, 31
Juli 2013
|
Indonesia mendapat penghargaan dari
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). Penghargaan kategori notable result itu diterima Menko
Perekonomian Hatta Rajasa di Roma, Italia, 16 Juni lalu. Menurut FAO, Indonesia
berhasil mencapai target Sasaran Pembangunan Milenium butir 1: menanggulangi
kemiskinan dan kelaparan.
Proporsi kelaparan turun dari 19,9
persen (1990-1992) ke 8,6 persen (2010-2012), lebih rendah dari target proporsi
Sasaran Pembangunan Milenium/SPM (9,9 persen). Target SPM butir 1 adalah
menekan kemiskinan dan kelaparan tinggal separuh pada 2015.
Bagaimana membaca dan memaknai
penghargaan itu? Penghargaan FAO harus dibaca hati-hati agar jangan tersesat.
Di saat sektor pertanian ”sakratul maut” akibat pembiaran, baik karena
kekosongan kelembagaan maupun pragmatisme ekonomi-politik yang mendewakan impor
dan liberalisasi, penghargaan itu patut diapresiasi.
Namun, perlu dipahami, prestasi
menurunkan kelaparan itu bersifat proporsional, bukan absolut. Secara absolut
jumlah kelaparan menurun dari 37 juta orang (1990) jadi 21 juta orang (2012).
Pencapaian ini di bawah target: 18,6 juta orang. Secara absolut 21 juta orang
kelaparan bukan jumlah kecil karena dari 11 ada 1 warga kelaparan.
Menurut Global Food Security Index 2012, yang dirilis Economist Intelligence Unit, indeks keamanan pangan Indonesia
berada di bawah 50 (skor 0-100). Dari 105 negara, Indonesia di urutan ke-64.
Dibandingkan Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina, posisi Indonesia lebih
buruk.
Kita sering terkecoh teori ”negara
maju dan industri meninggalkan pertanian”. Dalam praktik itu tak pernah
terjadi. Ini bisa dilihat dari skor indeks keamanan pangan mereka yang tinggi:
Amerika Serikat (berada di puncak dengan skor 89,5), Jepang (80,7 di level 16),
dan Korea Selatan (77,8 di level 21).
Tidak naik kelas
Kedaulatan pangan kita kian
tergerus dan kian rentan menghadapi fluktuasi harga pangan dunia, apalagi
ditambah dengan perubahan iklim yang kian ekstrem. Menurut Global Hunger Index 2012, yang dirilis International Food Policy Research Institute (IFPRI), pada tahun
2012 Indonesia ”tidak naik kelas” dari 2011. Indonesia berada di kelompok
negara dengan krisis pangan serius berindeks 10,0-19,9 bersama Mongolia. Tiga
faktor digunakan untuk menghitung indeks kelaparan: banyaknya warga kurang gizi
di suatu negara, berat badan anak di bawah rata-rata, dan tingkat kematian anak.
Apakah penilaian FAO bertolak
belakang dengan indeks keamanan pangan dan indeks kelaparan? Tidak. FAO
menggunakan data kelaparan kasatmata yang dimiliki Pemerintah Indonesia.
Sebaliknya, Economist Intelligence Unit
dan IFPRI memakai data kelaparan tersembunyi yang basisnya gizi. Berbeda dengan
kelaparan umum, gejala awal gizi buruk tak mudah dikenali. Dampaknya tak muncul
seketika seperti kelaparan kentara. Kelaparan kentara mudah dideteksi. Ia biasa
muncul saat kemarau, paceklik, bencana alam, atau perang. Dalam situasi seperti
itu mudah ditemukan ada warga yang terguncang hebat akibat kondisi tak terduga.
Dari semua kelompok warga, kelompok
miskin dan rawan adalah dua kelompok paling menderita. Namun, sebetulnya jumlah
orang yang kelaparan kentara akibat kondisi tertentu itu berjumlah tak banyak.
Selain terjadi hanya di masa tertentu, dampaknya tak permanen dan berjangka
pendek, kecuali yang diderita wanita hamil. Janin yang dikandung wanita yang
kelaparan akan menderita kurang gizi, yang dampaknya permanen ketika bayi lahir
dan usia balita.
Ini berbeda dengan kelaparan
tersembunyi. Kelaparan jenis ini dijumpai di mana saja kapan saja. Orang sering
menyebut kelaparan jenis ini sebagai kurang gizi atau kurang energi dan
protein.
Pekerjaan rumah
Indonesia masih memiliki pekerjaan
rumah besar menekan kelaparan tersembunyi. Menurut data Kantor Utusan Khusus
Presiden untuk SPM, pada 2010 prevalensi balita dengan berat badan rendah
(kekurangan gizi) masih 17,9 persen, jauh dari target SPM (15,5 persen); prevalensi
balita gizi buruk masih 13 persen (target SPM 3,6 persen), dan prevalensi
balita gizi kurang masih 13 persen (target SPM 11,9 persen).
Berbeda dengan orang dewasa, anak
balita yang kurang gizi mudah dikenali, seperti berat badan rendah dan kurang
aktif bergerak. Kurang gizi pada orang dewasa biasa ditemukan saat krisis,
ekonomi terpuruk, bencana alam, atau berbagai guncangan sebagai biang kurang
pangan. Namun, kurang gizi pada anak balita tak berkait sama sekali dengan
berbagai kondisi tertentu itu. Pada kondisi pangan yang melimpah pun anak
balita sangat mungkin terkena kurang gizi atau menderita gizi buruk.
Karena itu, berbeda dengan
kelaparan yang biasanya hanya menimpa orang miskin, gizi buruk tak mengenal
status ekonomi seseorang. Anak orang kaya bisa saja terkena gizi buruk.
Penyebabnya jauh lebih kompleks dan rumit. Tiada faktor tunggal. Tak
semata-mata kemiskinan material, tetapi kemiskinan pendidikan, pengetahuan, dan
kesadaran tentang hidup bersih dan sehat. Inilah sebagian besar penyebab insiden
gizi buruk.
Upaya menanggulangi kelaparan
tersembunyi tak sederhana. Sayangnya, upaya pemerintah sering bersifat proyek
dan menyederhanakan masalah. Isu cacingan dan anemia, misalnya, tak mendapat
banyak perhatian sebab kalah ”seksi” dengan isu kelaparan lain. Padahal, anemia
merupakan isu kritis. Angka kematian ibu melahirkan akibat anemia berkisar 70
persen.
Upaya pemerintah menekan kelaparan
tersembunyi hanya memadamkan akibat yang tampak. Sumber apinya tak disentuh.
Intervensi lebih banyak pada anak balita dan ibu hamil. Padahal, penanganan
saat kehamilan terlambat belasan tahun karena dasar persoalannya dimulai sejak
pertumbuhan anak paling dini.
Tak banyak program mau menyasar
akar persoalan, seperti melihat asupan gizi dan gaya hidup yang pendekatannya
lebih pada proses. Karena bersifat proyek, yang penting kuantitas atau cakupan,
sementara proses dan kualitas jadi pilihan kesekian. Hilangnya suatu generasi
telah terjadi di negeri ini. Bila tak segera diatasi, kita hanya mencetak
generasi berkualitas inferior, loyo, dan mudah menyerah saat berkompetisi
dengan negara lain. Ini makna penghargaan FAO itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar