|
SUARA
KARYA, 25 Juli 2013
Perkembangan informasi media
penyiaran yang pesat berakibat pada beragamnya arus informasi yang muncul dan
diterima publik. Saat ini jumlah televisi di Indonesia menurut catatan Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat sampai dengan Mei 2013 sebanyak 2.590 lembaga
penyiaran, baik yang telah mendapatkan IPP Tetap, IPP Prinsip maupun Eksisting.
Keberadaan media penyiaran yang
memproduksi informasi yang begitu besar, di satu sisi memudahkan masyarakat
mengonsumsi informasi, tapi di lain, pihak publik juga dibuat bingung dengan
meningkatnya informasi tersebut. Akibatnya, mana berita, mana opini, mana yang
valid dan objektif sulit dijelaskan. Kemudian, mana informasi bernada
provokasi, propaganda, menghujat dan membuat fitnah pun tipis jaraknya. Sulit
membedakan antara informasi hiburan dengan pendidikan. Itu semua trkesan
bercampur aduk dalam kanalisasi informasi yang belum ditata secara baik.
Fenomena tersebut mestinya
diberikan perhatian serius, terutama terhadap media televisi yang memiliki
pengaruh luas dan menggunakan frekuensi publik. Apalagi, dewasa ini penetrasi
publik terhadap TV cukup tinggi.
Di Indonesia, dari data Nielsen
menunjukkan pada tahun 2012 pertumbuhan konsumsi media televisi (94 persen),
mobile phone (60 persen), internet (29 persen), radio (25 persen), surat kabar
(13 persen), film (13 persen), tabloid (7 persen), dan majalah (6 persen). Data
tersebut menunjukkan televisi masih menduduki tempat utama dari konsumsi
masyarakat di antara media lainnya.
Konsentrasi masyarakat terhadap TV
yang tinggi bukan tak mungkin akan membuat publik semakin bingung. Bahasa lain,
bukan malah tercerahkan penontonnya. Malah menimbulkan "kegaduhan" di
tengah realitas sosial. Media mana yang dapat menjadi rujukan atas suatu
informasi yang dahsyat itu? Bahkan, tak jarang suatu peristiwa didapat publik
dengan beragam versi baik data, analisis, maupun paparan media. Informasi yang
berseliweran telah membingungkan masyarakat, siapa dan mana yang pantas
dijadikan rujukan atau bahkan tuntunan.
Di lapangan kita seringkali
mendengar pendapat atau lebih tepat keluhan masyarakat tentang perkembangan
media televisi. Sekarang, informasi yang diproduksi televisi (TV) cepat tapi
kadang membuat pusing, mengaduk-aduk emosi, membikin masyarakat marah, hiburan
tidak jelas tentang pesan pendidikan/moral yang penting tertawa, serta humor
melecehkan fisik seseorang, dan lain-lain. Tayangan media yang jauh dari
nilai-nilai kebangsaan, yakni filsafat dan ideologi bangsa, Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 sejatinya telah diminimalkan.
Belum Maksimal
Harus diakui kini kebutuhan
masyarakat akan media sangat tinggi. Namun begitu, pengaturan terhadap
informasi yang pantas didapatkan masyarakat belum dikelola secara optimal oleh
negara atau lembaga yang memiliki kompetensi. Tujuannya, supaya masyarakat
tercerahkan dengan informasi media televisi, bukan malah kian dibuat bingung
khalayak.
Terhadap pelayanan publik di media
penyiaran memang tak dapat dipungkiri hingga kini masih belum maksimal
dirasakan. Dominannya kepentingan bisnis-politik, orientasi kepentingan
kelompok yang masih menguat, dan masih minimnya keberpihakkan sosial, menjadi
tantangan tersendiri bagi terpenuhinya kebutuhan frekuensi publik tersebut.
Oleh karenanya, kondisi tersebut
sewajarnya diberikan catatan dan koreksi sebab hal tersebut tak sesuai dengan
semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran yang mengamanahkan
agar industri penyiaran memberikan pelayanan utama pada masyarakat di atas
kepentingan ekonomi, bisnis, pribadi, maupun golongan. Hal ini mengingat,
frekuensi yang digunakan industri penyiaran adalah milik publik dan TV menjangkau
berbagai ruang. Itu artinya, kebutuhan akan frekuensi sebesar-besarnya bagi
kepentingan publik luas.
Saya berpikir, sembari
mengupayakan terwujudnya frekuensi publik dengan maksimal baik melalui
pendekatan regulatif-politis, melakukan negosiasi dengan industri penyiaran,
bekerja sama dengan pemerintah dan stakeholder lain, tampaknya perubahan baru
perlu kita gagas untuk mempercepat kebutuhan frekuensi publik bisa terlaksana.
Dalam bayangan saya, penting
adanya frekuensi untuk public service
content. Yaitu, layanan kepada publik melalui media televisi dengan channel
khusus untuk informasi emergensi, sosialisasi penanggulangan bencana alam,
informasi pendidikan, soal penegakan hukum, sosialisasi tentang pemberantasan
korupsi, informasi mengenai perlindungan anak dan perempuan, topik tentang
perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan lain-lain termasuk layanan kesehatan
masyarakat. Mengapa hal itu dilakukan? Alasannya, agar masyarakat lebih cepat
mendapatkan informasi yang dikelola secara khusus. Yaitu, terpenuhinya
kebutuhan akan layanan informasi, edukasi melalui media televisi yang valid,
objektif.
Channel tersebut dikelola oleh
negara melalui lembaga independen yang diperintahkan undang-undang (UU) supaya
terjaga netralitasnya dan tidak ada unsur komersil untuk slot iklan di
dalamnya. Semata-mata menjadikan media sebagai sarana informasi dan edukasi.
Oleh karenanya, hemat saya perlu dimasukkan salah satu lembaga penyiaran jasa public service content dalam perubahan
UU Penyiaran yang sampai sekarang masih dalam proses judicial review di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar