KOMPAS, 31
Juli 2013
|
Pemilihan umum kembali digelar di
Kamboja, 28 Juli 2013. Rakyat Kamboja memberikan suara mereka untuk memilih 123
anggota Majelis Nasional, yang selanjutnya akan memilih perdana menteri. Kalau
kita ingin memberikan apresiasi kepada rakyat Kamboja dan pemerintah, kinilah
saatnya.
Selama kampanye berlangsung sebulan
penuh, baru pemilu kali ini politik Kamboja tak disertai kekerasan dan darah.
Malah, dalam banyak kesempatan dan tempat, massa pendukung partai berkuasa (Cambodian People’s Party), yang dipimpin
Hun Sen, sering bertemu secara bersamaan dengan massa partai oposisi (Cambodian National Rescue Party) yang
dipimpin Sam Rainsy. Kedua massa itu hanya saling mengacungkan jari menunjukkan
nomor urut partai mereka.
Pemilu kali ini tampaknya berpihak
kepada oposisi. Kendati oposisi kalah, perolehan suara mereka naik secara
signifikan. Pada Pemilu 2008, partai oposisi memperoleh 26 kursi, sementara
partai Hun Sen mendapatkan 90 kursi. Pemilu 2013 ini, kelompok oposisi meraih
55 kursi dan partai berkuasa 68 kursi.
Secara persentase, partai berkuasa
memperoleh 55 persen, partai oposisi mendapatkan 45 persen suara.
Beberapa jam sebelum pemungutan
suara dimulai, di kota Phnom Penh, para pemantau internasional pemilu Kamboja
yang dipimpin Jusuf Kalla bertemu dengan pemimpin oposisi, Sam Rainsy, di
markas besarnya. Rainsay berbicara hanya memaki-maki kecurangan proses pemilu.
Hal itu misalnya keberpihakan lembaga pelaksana pemilu, cacatnya daftar
pemilih, dan adanya intimidasi. Rainsy malah menyesalkan mengapa banyak
pemantau internasional datang menyaksikan pemilu yang sangat cacat dan sia-sia
itu.
Kala itu saya bertanya ke Rainsy, ”Apa yang terjadi bila Anda menang, atau
perolehan suara Anda naik dalam pemilu kali ini. Bagaimana Anda membenarkan
kemenangan atau kenaikan suara Anda kelak itu dengan proses pemilu yang penuh cacat,
seperti yang Anda kemukakan itu?” Tak ada yang menyangka saya bertanya
seperti itu. Rainsy menjawab tanpa ragu: ”Tak
mungkin kami bisa menang atau menaikkan suara kami dengan pemilu yang cacat.
Karena itu, tidak perlu saya jawab Anda,” katanya.
Kenaikan suara oposisi mengandung
dua hal. Pertama, pihak oposisi dari awal tidak menyangka bisa memperoleh suara
dari rakyat yang begitu besar. Bisa jadi, pihak oposisi tidak siap menerima dan
mengelola kenaikan suara mereka itu. Kedua, segala tudingan dan keraguan kaum
oposisi mengenai proses pemilu diragukan kebenarannya.
Mengapa oposisi naik?
Pertama, isu politik yang mereka
lemparkan sangat telak menohok partai berkuasa. Sebagaimana selalu dikemukakan
Rainsy ketika kami bertemu, partai berkuasa sebaiknya tidak dipilih karena
mereka adalah bagian dari masa lalu yang kelam dengan tangan yang berlumuran
darah. Hun Sen dan lain-lainnya adalah mantan aktivis Khmer Merah yang telah
membantai jutaan rakyat Kamboja. Isu ini memang sangat sensitif bagi rakyat
Kamboja hingga kini. Sebenarnya, justru Hun Sen telah membelot dari Khmer Merah
dan bersekutu dengan Vietnam mengenyahkan rezim kejam yang dipimpin Pol Pot
itu. Namun, kali ini ketokohan Hun Sen diketepikan oleh rakyat karena telanjur
rakyat sangat antipati dan traumatis dengan Khmer Merah.
Kedua, rasa bosan rakyat terhadap
Hun Sen sudah tidak bisa disembunyikan lagi, terlepas apakah Hun Sen berbuat
atau tidak berbuat banyak kepada negerinya. Maklum, Hun Sen sudah berkuasa
selama tiga dekade. Rentang waktu yang begitu panjang tersebut, secara
psikologis, membuat rakyat gelisah melihat adanya rotasi dan perubahan.
Aspek ini jelas sekali kelihatan
dengan ekspresi kalangan bawah. Hanya sekitar dua jam setelah bilik suara
ditutup, di ibu kota Kamboja, partai Hun Sen sudah ditaklukkan. Para
sopir angkot, buruh, dan penjual makanan tumpah ruah ke jalanan dan
berseru, ”Hun Sen kalah. Kita sudah lama
butuh yang baru sebab kita ingin ada perubahan. Kami tak peduli apakah Hun Sen
pahlawan atau bukan. Kami hanya ingin ada yang berubah.”
Di mana-mana, tatkala kehidupan
politik sudah diwarnai oleh agenda perubahan, susah sekali membendung arus
tersebut. Perubahan dalam politik selalu berimplikasi pada pergeseran pemegang
kekuasaan. Hun Sen masih beruntung sebab hanya perolehan suara partainya yang
berkurang.
Ketiga, rakyat Kamboja sudah letih
dengan praktik korupsi para pejabat mereka di semua jenjang dan struktur. Saya
belum pernah melihat ada sebuah negara dengan ekonomi rendah, tetapi memiliki
jumlah mobil mewah lalu lalang setiap saat, seperti di Phnom Penh itu. Mobil
Lexus dan Range Rover baru dengan segala bentuk dan ukuran seolah mobil yang
setingkat Avanza saja di Indonesia. Mercedes dan BMW nyaris hanya sebagai mobil
kelas dua
Mobil-mobil itu dikendarai pejabat
dan aparat pemerintah. Kecurigaan praktik korupsi sangat beralasan sebab gaji
para pejabat yang mengendarai mobil-mobil itu hanya antara 200 dollar AS hingga
350 dollar AS sebulan. Kondisi ini dimanfaatkan betul oleh pihak oposisi. Maka,
seruan dan tuntutan adanya perubahan banyak diilhami oleh keinginan rakyat
untuk menghentikan praktik korupsi itu.
Keempat, pemimpin oposisi, Sam
Rainsy, amat piawai memainkan posisi politiknya yang terbendung untuk ikut maju
sebagai calon anggota parlemen. Kendati ia dimaafkan oleh raja atas hukuman
pidana yang menerpanya, pintu untuk maju sebagai anggota legislatif ditutup
rapat. Ia pun menggunakan isu ini sebagai agenda politik menohok Hun Sen.
Posisi politiknya itu ia kaitkan
dengan praktik kekuasaan zalim yang dipraktikkan rezim Khmer Merah di masa
lalu. Ia berhasil membentuk persepsi publik bahwa dirinya dizalimi, dan karena
itu rakyat harus bersimpati dan memilih partainya demi memotong mata rantai
masa lalu yang getir itu.
Tema-tema inilah yang diangkat
secara retorik oleh Sam Rainsy. Ia sendiri tidak pernah menawarkan agenda
konkret tentang apa yang ingin dilakukan untuk menyejahterakan rakyat Kamboja
kelak. Namun, itulah politik. Dalam banyak hal di berbagai tempat, retorika
jauh lebih penting daripada tujuan yang jelas dan arah yang konkret. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar