Rabu, 31 Juli 2013

Kegagalan Reformasi

Kegagalan Reformasi
Miftah Thoha ;  Guru Besar Magister Administrasi Publik UGM;
Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI)
KOMPAS, 30 Juli 2013
  

Rangkap jabatan, yakni jabatan sebagai pimpinan partai politik dan sebagai pejabat negara (pejabat politik), telah lama dikeluhkan. Rangkap jabatan dilihat dari perspektif apa pun—baik etika, manajemen, sosial, politik, maupun ekonomi—kurang pantas. Selain kurang patut, rangkap jabatan itu merupakan saluran untuk berbuat menyimpang atau korupsi.

Penggunaan fasilitas negara tidak mungkin bisa dihindari oleh pejabat tersebut, baik itu besar maupun kecil, disadari atau tidak, ketika pejabat tersebut melakukan aktivitas yang sulit dibedakan antara tugas negara atau tugas partainya.

Contohnya, seorang menteri yang merangkap jabatan pimpinan partai pada suatu hari meresmikan proyek pembangunan pemerintah di luar Jawa dan pada sore harinya membuka rapat kerja partainya. Bisakah menteri tersebut memisahkan antara tiket dan biaya perjalanan serta akomodasi yang dipergunakan yang dibiayai negara dan yang dibiayai partainya?

Hal ini baru tiket yang biayanya sedikit. Bagaimana kalau biayanya besar dan fasilitasnya proyeknya juga besar? Bukankah ini saluran korupsi yang seharusnya sudah diperbaiki dalam reformasi birokrasi pemerintah semenjak masa Reformasi, karena gejala ini sudah lama berlaku dalam riwayat birokrasi pemerintah kita semenjak Orde Lama, Orde Baru, dan yang sekarang.

Pejabat politik

Semenjak pemerintahan BJ Habibie mengumandangkan pelaksanaan pemerintahan yang demokratis pada 1999, semenjak itu pula partai politik mulai memerintah birokrasi pemerintahan. Mulailah kita mengenal jabatan dan pejabat politik. Pada zaman pemerintahan sebelumnya, Presiden Soeharto tidak menyebutnya jabatan atau pejabat politik, tetapi jabatan atau pejabat negara.

Sebutan jabatan dan pejabat negara memang bagus karena semuanya untuk kepentingan negara, walaupun pejabatnya sejatinya juga pejabat politik. Di sinilah mulai kabur antara penggunaan fasilitas dan kekayaan negara dengan milik golongan politik yang memerintah.

Tampaknya kondisi ini akibat luputnya perhatian pemerintah untuk menata hubungan antara jabatan negara dan jabatan politik sehingga rangkap jabatan dibiarkan berlarut-laruat sampai hari ini. Hal ini sekaligus menunjukkan gagalnya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Banyaknya korupsi oleh pejabat politik yang memimpin birokrasi, mulai dari menteri, gubernur, bupati hingga wali kota, bahkan juga anggota Dewan, membuktikan rangkap jabatan sangat menyuburkan saluran korupsi kekayaan negara. Kondisi ini sebenarnya bisa diakhiri jika pemerintah jeli memperhatikan persoalan ini dan pimpinan partai politik menyadarinya.

Dalam literatur ilmu politik dengan tegas ditekankan bahwa jika pimpinan partai dipercaya memegang jabatan sebagai pejabat negara, saat itu pula harus selesai hubungan politik yang bersangkutan dengan partainya. Kesadaran mengenai hal ini merupakan dasar pengendalian diri untuk membedakan antara milik negara dan milik partai politik. Nanti jika jabatan negaranya selesai, dia bisa kembali ke jabatan partainya.

Semua ini bisa terwujud jika semua undang-undang—mulai dari undang-undang partai politik hingga undang-undang pemilu, undang-undang pemilihan presiden dan kepala daerah, undang-undang aparatus sipil negara, dan undang-undang pemerintahan daerah—menetapkan secara tegas dilarangnya rangkap jabatan tersebut.

Jabatan negara

Istilah jabatan negara sebaiknya dipergunakan untuk mengganti istilah jabatan politik. Undang-undang yang berlaku sampai sekarang masih memakai istilah jabatan negara. Adapun istilah jabatan politik belum pernah disebutkan di dalam undang-undang yang ada. Walaupun yang bersangkutan bisa saja dari partai politik, tetapi setelah memegang jabatan negara seperti presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati atau wali kota, maka tidak ada lagi kaitan dengan partainya.

Mereka semua hanya semata-mata melakukan tugas negara untuk kepentingan seluruh rakyat di negara tersebut. Jika saat didirikan tujuan semua partai politik adalah bukan untuk mempertajam ego sektoral partai masing-masing melainkan untuk kepentingan nasional, maka kejayaan negara dan kepentingan seluruh rakyat dan bangsa akan mudah dicapai.

Di era pemerintahan Orde Baru, tidak dikenal adanya jabatan politik. Hal ini selain karena Presiden Soeharto tidak menyukai politik, juga karena pejabatnya berasal bukan dari partai politik melainkan dari Golongan Karya yang bukan partai politik.

Perubahan sistem politik yang terjadi selama era Reformasi tidak cepat direspons oleh pemerintahan yang sekarang sehingga tatanan birokrasi kita tidak jelas mengatur hubungan dan prosedur kerja yang harus dijalankan mengenai jabatan politik ini.

Selain rangkap jabatan, klasifikasi jabatan politik dan jabatan karier birokrasi pemerintah juga harus jelas. Benarkah panglima TNI, kapolri, jaksa agung bukan jabatan politik? Mengapa selama ini pengangkatan orang untuk jabatan-jabatan itu harus diuji kelayakannya oleh DPR sebagai lembaga politik? Hal-hal yang tidak jelas seperti ini menuntut adanya penataan jabatan-jabatan politik dalam sistem birokrasi pemerintah.

Sebagaimana lazimnya di dalam negara demokrasi, Panglima TNI adalah jabatan karier di bidang militer, demikian pula kapolri adalah jabatan karier kepolisian. Kedua jabatan itu sama statusnya sebagai jabatan karier seperti sebutan untuk pegawai negeri sipil mulai dari pejabat karier eselon satu ke bawah.

Proses perekrutan dan promosinya harus dijauhkan dari suasana dan arena politik yang secara melembaga diwakili oleh lembaga politik DPR. Pengangkatan dan promosinya berada di wilayah pemegang kekuasaan penyelenggara pemerintah, yakni presiden, bukan berada di wilayah pemegang kekuasaan perundang-undangan atau politik. Panglima TNI dan kapolri adalah pembantu presiden, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.

Oleh karena itu, seharusnya pengangkatan dan promosinya di atur dalam keputusan presiden dan tidak perlu dibawa dan dimintakan persetujuan atau diuji kelayakan oleh DPR. Jabatan panglima TNI ataupun kapolri sama seperti jabatan karier, dibatasi dengan usia pensiun. Artinya, ia harus diganti jika telah sampai umur pensiun.

Yang kelayakannya seharusnya diuji oleh DPR adalah pejabat politik. Misalnya, para menteri sebelum dilantik oleh presiden dimintakan persetujuan politik kepada DPR seperti di negara-negara parlementer. Jabatan politik atau jabatan negara tidak dibatasi oleh usia pensiun kecuali ada undang-undang yang mengatur batasan usia pensiunnya.


Politik dan birokrasi memang sulit dipisahkan, tetapi bisa dibedakan untuk tatanan pemerintahan yang demokratis dan untuk menciptakan tatanan sistem pemerintahan yang bersih. Semuanya itu telah luput dari perhatian reformasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar