|
KOMPAS,
30 Juli 2013
Rangkap jabatan, yakni jabatan
sebagai pimpinan partai politik dan sebagai pejabat negara (pejabat politik),
telah lama dikeluhkan. Rangkap jabatan dilihat dari perspektif apa pun—baik
etika, manajemen, sosial, politik, maupun ekonomi—kurang pantas. Selain kurang patut,
rangkap jabatan itu merupakan saluran untuk berbuat menyimpang atau korupsi.
Penggunaan fasilitas negara tidak mungkin bisa dihindari oleh
pejabat tersebut, baik itu besar maupun kecil, disadari atau tidak, ketika
pejabat tersebut melakukan aktivitas yang sulit dibedakan antara tugas negara
atau tugas partainya.
Contohnya, seorang menteri yang merangkap jabatan pimpinan
partai pada suatu hari meresmikan proyek pembangunan pemerintah di luar Jawa
dan pada sore harinya membuka rapat kerja partainya. Bisakah menteri tersebut
memisahkan antara tiket dan biaya perjalanan serta akomodasi yang dipergunakan
yang dibiayai negara dan yang dibiayai partainya?
Hal ini baru tiket yang biayanya sedikit. Bagaimana kalau
biayanya besar dan fasilitasnya proyeknya juga besar? Bukankah ini saluran
korupsi yang seharusnya sudah diperbaiki dalam reformasi birokrasi pemerintah
semenjak masa Reformasi, karena gejala ini sudah lama berlaku dalam riwayat
birokrasi pemerintah kita semenjak Orde Lama, Orde Baru, dan yang sekarang.
Pejabat politik
Semenjak pemerintahan BJ Habibie mengumandangkan pelaksanaan
pemerintahan yang demokratis pada 1999, semenjak itu pula partai politik mulai
memerintah birokrasi pemerintahan. Mulailah kita mengenal jabatan dan pejabat
politik. Pada zaman pemerintahan sebelumnya, Presiden Soeharto tidak
menyebutnya jabatan atau pejabat politik, tetapi jabatan atau pejabat negara.
Sebutan jabatan dan pejabat negara memang bagus karena
semuanya untuk kepentingan negara, walaupun pejabatnya sejatinya juga pejabat
politik. Di sinilah mulai kabur antara penggunaan fasilitas dan kekayaan negara
dengan milik golongan politik yang memerintah.
Tampaknya kondisi ini akibat luputnya perhatian pemerintah
untuk menata hubungan antara jabatan negara dan jabatan politik sehingga
rangkap jabatan dibiarkan berlarut-laruat sampai hari ini. Hal ini sekaligus
menunjukkan gagalnya reformasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Banyaknya korupsi oleh pejabat politik yang memimpin
birokrasi, mulai dari menteri, gubernur, bupati hingga wali kota, bahkan juga
anggota Dewan, membuktikan rangkap jabatan sangat menyuburkan saluran korupsi
kekayaan negara. Kondisi ini sebenarnya bisa diakhiri jika pemerintah jeli
memperhatikan persoalan ini dan pimpinan partai politik menyadarinya.
Dalam literatur ilmu politik dengan tegas ditekankan bahwa
jika pimpinan partai dipercaya memegang jabatan sebagai pejabat negara, saat
itu pula harus selesai hubungan politik yang bersangkutan dengan partainya.
Kesadaran mengenai hal ini merupakan dasar pengendalian diri untuk membedakan
antara milik negara dan milik partai politik. Nanti jika jabatan negaranya
selesai, dia bisa kembali ke jabatan partainya.
Semua ini bisa terwujud jika semua undang-undang—mulai dari
undang-undang partai politik hingga undang-undang pemilu, undang-undang
pemilihan presiden dan kepala daerah, undang-undang aparatus sipil negara, dan
undang-undang pemerintahan daerah—menetapkan secara tegas dilarangnya rangkap
jabatan tersebut.
Jabatan negara
Istilah jabatan negara sebaiknya dipergunakan untuk mengganti
istilah jabatan politik. Undang-undang yang berlaku sampai sekarang masih
memakai istilah jabatan negara. Adapun istilah jabatan politik belum pernah
disebutkan di dalam undang-undang yang ada. Walaupun yang bersangkutan bisa saja
dari partai politik, tetapi setelah memegang jabatan negara seperti presiden,
wakil presiden, menteri, gubernur, bupati atau wali kota, maka tidak ada lagi
kaitan dengan partainya.
Mereka semua hanya semata-mata melakukan tugas negara untuk
kepentingan seluruh rakyat di negara tersebut. Jika saat didirikan tujuan semua
partai politik adalah bukan untuk mempertajam ego sektoral partai masing-masing
melainkan untuk kepentingan nasional, maka kejayaan negara dan kepentingan
seluruh rakyat dan bangsa akan mudah dicapai.
Di era pemerintahan Orde Baru, tidak dikenal adanya jabatan
politik. Hal ini selain karena Presiden Soeharto tidak menyukai politik, juga
karena pejabatnya berasal bukan dari partai politik melainkan dari Golongan
Karya yang bukan partai politik.
Perubahan sistem politik yang terjadi selama era Reformasi
tidak cepat direspons oleh pemerintahan yang sekarang sehingga tatanan
birokrasi kita tidak jelas mengatur hubungan dan prosedur kerja yang harus
dijalankan mengenai jabatan politik ini.
Selain rangkap jabatan, klasifikasi jabatan politik dan
jabatan karier birokrasi pemerintah juga harus jelas. Benarkah panglima TNI,
kapolri, jaksa agung bukan jabatan politik? Mengapa selama ini pengangkatan
orang untuk jabatan-jabatan itu harus diuji kelayakannya oleh DPR sebagai
lembaga politik? Hal-hal yang tidak jelas seperti ini menuntut adanya penataan
jabatan-jabatan politik dalam sistem birokrasi pemerintah.
Sebagaimana lazimnya di dalam negara demokrasi, Panglima TNI
adalah jabatan karier di bidang militer, demikian pula kapolri adalah jabatan
karier kepolisian. Kedua jabatan itu sama statusnya sebagai jabatan karier
seperti sebutan untuk pegawai negeri sipil mulai dari pejabat karier eselon
satu ke bawah.
Proses perekrutan dan promosinya harus dijauhkan dari suasana
dan arena politik yang secara melembaga diwakili oleh lembaga politik DPR.
Pengangkatan dan promosinya berada di wilayah pemegang kekuasaan penyelenggara
pemerintah, yakni presiden, bukan berada di wilayah pemegang kekuasaan
perundang-undangan atau politik. Panglima TNI dan kapolri adalah pembantu
presiden, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan.
Oleh karena itu, seharusnya pengangkatan dan promosinya di
atur dalam keputusan presiden dan tidak perlu dibawa dan dimintakan persetujuan
atau diuji kelayakan oleh DPR. Jabatan panglima TNI ataupun kapolri sama
seperti jabatan karier, dibatasi dengan usia pensiun. Artinya, ia harus diganti
jika telah sampai umur pensiun.
Yang kelayakannya seharusnya diuji oleh DPR adalah pejabat
politik. Misalnya, para menteri sebelum dilantik oleh presiden dimintakan
persetujuan politik kepada DPR seperti di negara-negara parlementer. Jabatan
politik atau jabatan negara tidak dibatasi oleh usia pensiun kecuali ada
undang-undang yang mengatur batasan usia pensiunnya.
Politik dan birokrasi memang sulit dipisahkan, tetapi bisa
dibedakan untuk tatanan pemerintahan yang demokratis dan untuk menciptakan
tatanan sistem pemerintahan yang bersih. Semuanya itu telah luput dari
perhatian reformasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar