|
KOMPAS,
30 Juli 2013
Sadar bahwa keberdayaan dan
kebermaknaan hidup meniscayakan merawat keberagaman, guru berkarakter laut
niscaya bagi pendidikan. Guru adalah
lentera kehidupan dalam keberagaman. Ia suluh bagi anak didiknya untuk
mengakrabi keberagaman suku, agama, dan ras, hingga menekuninya di jalan yang
terang.
Akan tetapi,
bukan keberagaman itu saja. Guru menjadi suluh atas keberagaman kondisi jiwa
anak didiknya. Kompleksitas kehidupan, kemiskinan, pergaulan yang anyir oleh
pembiaran beragam kekerasan, dan rapuhnya bangunan keluarga inti adalah
keberagaman yang nyata pula.
Ketakberdayaan
guru membangun karakter laut seringkali membuatnya gagal menjadi suluh
kehidupan. Kita bisa merasakannya pada cerpen Seno Gumira Ajidarma
berjudul Pelajaran Mengarang (Kompas, 5/1/1992).
Pada cerpen
itu dikisahkan ibu guru Tati gagal menampung jiwa keruh Sandra muridnya. Ia
justru uring-uringan karena setelah lewat empat puluh menit Sandra belum
menuliskan ceritanya. Ia gagal menyerap pergulatan dan kegundahan jiwa
muridnya. Sandra harus menuliskan cerita bertema ”Keluarga Kami yang
Berbahagia”, atau ”Liburan ke Rumah Nenek”, atau ”Ibu”.
Bagi Sandra,
itu tema yang sulit. Penyebabnya bukan karena Sandra tidak punya bahan untuk
diceritakan, tetapi apakah kisahnya pantas dibaca gurunya. Pasalnya, Sandra
anak seorang pelacur.
Tentang
keluarga, Sandra mengalami suasana rumah yang berantakan, pengalaman bersama
tamu-tamu mamanya yang dilayani di rumah. Tentang nenek, yang ia tahu adalah
ibu menor di rumah kerja mamanya, yang sering dipanggil mami. Tentang ibu, ia
punya banyak pengalaman dimaki ibunya setiap kali menanyakan tentang ayah dan
pekerjaan mamanya.
Akhirnya
Sandra hanya menulis sepotong kalimat: Ibuku seorang pelacur. Dikisahkan
ibu guru Tati berkesimpulan bahwa anak didiknya memiliki pengalaman masa kanak-
kanak yang indah. Akan tetapi, ia belum sampai pada tulisan Sandra.
Karakter laut
Laut itu tak
pernah menolak. Ia tampung apa saja ragam air yang mengalir padanya. Ia biarkan
aneka air itu tinggal bersamanya. Bergulat bersamanya. Pada saatnya, karena
terik matahari, air itu dibiarkan meninggalkannya hanya sebagai butir-butir
air. Ya, hanya butir air, tanpa kotoran yang melekatinya saat memasuki laut.
Pendidikan
yang dikelola oleh pendidik berkarakter laut sadar akan beragam kondisi para
muridnya. Bukan hanya tampilan fisik yang disadari sebagai keberagamannya.
Dalam kompleksitas kehidupan di negeri ini, beragam penggurat jiwa anak didik
yang mesti disadari adalah meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga, rapuhnya
pengelolaan keluarga inti, kemiskinan, tidak mencukupinya persiapan membangun
keluarga, kian menggilanya penistaan nasib janin dan bayi baru lahir, hingga
pembiaran kekerasan SARA oleh negara.
Jiwa dan
nurani anak-anak yang hadir di sekolah seringkali sarat beban. Bahkan
seringkali mereka adalah representasi anak bangsa tak bertuan. Mereka hidup
dalam belantara yang dipenuhi serigala kehidupan berbulu domba. Pemerkosaan
anak oleh orang dewasa terdekat adalah kasusnya.
Libido
kekuasaan yang kian tak terkendali seringkali memanfaatkan anak-anak dan
pendidikan. Mereka dimanfaatkan bukan demi sesuatu yang substansi, tetapi
semata-mata kontestasi demi membangun citra diri. Anak-anak hanyalah obyek.
Guru berkarakter laut
Sayangnya,
seringkali para guru/pendidik juga telah sarat beban. Aneka pesanan pengelola
lembaga pendidikan seringkali telah membutakan mata pendidik hingga tak mampu
mengenali realitas kehidupan anak didiknya. Yang paling parah, seperti pada
kisahPelajaran Mengarang itu, guru seringkali alergi hingga menolak
realitas anak didik yang diwarnai ketidakwajaran normatif dan agamis. Guru pun hadir
sebagai sosok yang gagap. Bukannya bersikap asertif menerima layaknya laut, ia
justru menolak.
Kita terus
memimpikan pendidikan yang kontekstual. Kita bermimpi terselenggaranya
pendidikan yang tidak terasing dengan realitas kehidupan. Namun, kita juga
berjuang untuk menjauhkan ragam upaya indoktrinasi dan pencucian jiwa serta
nalar demi hasrat pribadi/kelompok.
Kita bermimpi
pendidikan mampu memurnikan anak didik menjadi ciptaan yang unik. Seperti air
sungai kotor yang akhirnya menguap sebagai hanya butir air setelah tiba di
laut.
Awal tahun
pembelajaran ini, demi keindonesiaan kita yang tertakdir beragam, juga sadar
akan keberagaman aktual kondisi anak didik kita, beranikah para guru/pendidik
berjiwa laut?
Dengan
melepaskan hasrat dan ambisi pribadi yang menepikan keunikan pribadi dan
keberagaman? Dengan terbuka menerima anak didik tanpa curiga dan kebencian,
menyingkirkan watak jijik apalagi alergi pada liyan yang tak sepaham?
Pendidik yang
tak berkarakter laut pastilah miskin pergulatan. Jiwanya melarat, bahkan beku.
Padahal di situlah kekayaan sejati pendidik yang tak pernah terbeli. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar