Senin, 01 Juli 2013

Jakarta Fair Gaya Monas

Jakarta Fair Gaya Monas
Agus Dermawan T ;  Penulis Buku-Buku Berbasis Seni, Sosial, dan Budaya
KORAN TEMPO, 29 Juni 2013


Sebagai ujung kalam, lagi-lagi adalah titipan pesan: apabila pengembalian PRJ ke konsep semula benar-benar terjadi, elok agaknya jika konsep PMB Den Haag, yang bertolak dari Pasar Malam Gambir, juga dipetik. Sebab, itulah pasar malam rakyat yang ideal.
Perubahan visi Pekan Raya Jakarta-Kemayoran (PRK-K) menjadi Pesta Rakyat Jakarta-Monumen Nasional (PRJ-M) menimbulkan polemik. Hal ini dimulai ketika Gubernur Jakarta Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, mendadak ingin memindahkan PRJ dari Kemayoran kembali ke Lapangan Monumen Nasional atau Monas. Konsepnya pun akan dikembalikan seperti semula: sebagai ajang pesta ma­syarakat kebanyakan, dengan tema induk Pekan Produk Kreatif Daerah. Pertimbangannya, Gubernuran melihat betapa sejak 2004 materi PRJ-K sudah terlampau didominasi produk industri kelas atas. 
Memang, setelah pasar malam itu dikelola oleh PT Jakarta International Trade Fair Corporation, produk rakyat yang dikelola usaha kecil-menengah jauh terpinggirkan. Maka, uji coba PRJ-M lantas dilakukan pada 14-16 Juni dengan menyandang nama Pesta Rakyat Jakarta. Pasar malam ini disambut antusias, sehingga tahun depan PRJ-K kemungkinan besar akan boyongan ke Monas. Meski demikian, PRJ-M ini disindir oleh Murdaya Poo, promotor PRJ-K, Komisaris Utama Jakarta International Expo, sebagai "pasar malam kelas kerak telor".
Saya pernah terlibat langsung dengan kegiatan PRJ-M, yang dahulu disebut Jakarta Fair atau JF. Sebuah pasar malam yang terasa selalu menawarkan perspektif. Syahdan, pada tengah 1980-an, selama beberapa tahun saya ditunjuk sebagai juri rupa produk industri kecil-menengah, bersama Permadi, SH (waktu itu Ketua Lembaga Konsumen Indonesia), Soedarmadji J.H. Damais (peminat sejarah), dan lain-lain. Dari ribuan rupa produk yang dinilai, muncul puluhan juara yang terpublikasi secara luas. Berangkat dari prestasi itu, industri kecil-menengah yang jadi juara pada kemudian hari tampak ramai-ramai berkembang. Perkembangan ini menstimulasi industri kecil-menengah lain yang belum menjadi juara untuk memburu prestasi yang sama dalam kompetisi JF tahun berikutnya. Begitu seterusnya, dan seterusnya.
Dari sisi ini terfakta bahwa JF bukan sekadar ajang hiburan bagi masyarakat, tapi juga pembentuk momentum bagi industri rakyat untuk menaikkan citra ke publik umum. Nyoman Togog, pematung kayu bertema buah-buahan yang menjadi salah satu pemenang rupa produk JF, mengatakan, "Hanya dengan Piagam Jakarta Fair, usaha saya berkembang luar biasa, sehingga saya bisa memiliki 75 pematung, yang karyanya direproduksi 2.000 perajin 30 desa di Gianyar, Bali." Puncaknya, pada 1985, ia mendapat bintang Upakarti dari Presiden Soeharto. 
Kompleksitas
Rentengan reputasi industri kerajinan JF ini di kemudian hari menginspirasi lahirnya pameran besar seni kerajinan Indonesia yang setiap tahun diadakan oleh Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas). Dan fenomena minat masyarakat Jakarta (dan Indonesia) atas produk bangsanya sendiri mendorong Presiden Soeharto menggalakkan aksi Kementerian Usaha Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (UP3DN), yang dipimpin oleh Ginandjar Kartasasmita.
Bahwa JF bukan sekadar pasar malam, itu tampak dari kompleksitas acaranya. Sebab, di samping mengemas berbagai industri hiburan tradisional sampai modern dari Betawi dan berbagai daerah, JF juga membeberkan sejarah Jakarta lewat pameran. Bersamaan dengan itu, produk-produk masa silam Batavia (dan Indonesia) juga dijadikan tontonan kenangan. Alhasil, JF menjadi lapangan ilmu pengetahuan, lantaran orang tak cuma melihat masa sekarang, tetapi juga masa lalu dan masa mendatang. 
Dari sini akhirnya masyarakat merasakan kontras perbedaan JF dan PRJ-K, yang dominan mempertunjukkan aktivitas niaga produk industri mancanegara, lengkap dengan para SPG yang serba cantik dan seksi nian. Menyenangkan, memang! Tapi tiba-tiba semua seperti sangat umum, tanpa keunikan, profan, dan cuma berada di permukaan.
Atas kenyataan ini, banyak orang lantas dengan sinis menyarankan: kalau ingin melihat Pasar Malam Jakarta yang sesungguhnya, datanglah ke Pasar Malam Besar, De Indische Stad, di Den Haag, Belanda. Sebuah saran yang keterlaluan, namun memperoleh kebenaran setelah saya sempat mengunjunginya. 
Pasar Malam Gambir
Pasar Malam Besar atau PMB ini pertama kali diadakan pada 1959 atas gagasan Tjalie Robinson. Alkisah, wartawan yang lama di Hindia Belanda ini memahami, setelah 10 tahun penyerahan kedaulatan Indonesia dari Belanda 1949, sekitar 300 ribu orang Belanda yang pernah hidup di Indonesia merasa kesepian. Tjalie berkehendak membuat forum berkumpul dan bernostalgia bagi mereka. Demi merealisasinya, ia bekerja sama dengan organisator Stichting Tong Tong. Pada tiap musim panas sekitar Juni, pasar malam ini diadakan. Dan tersebab logo Tong Tong selalu tertera besar di situ, orang lantas menyebut "Pasar Malam Tong Tong".
Dalam dua minggu pelaksanaan PMB, ratusan acara musik, tari, sandiwara, sampai kookdemonstratie (demo memasak) makanan Indonesia digelar. Sedangkan di sisi-sisi lain, terpajang berbagai benda produk Indonesia masa silam. Seperti uang kuno rancangan Lion Cachet bernominal twee honderd golden untuk de Javasche Bank, batik Frankemon bikinan 80 tahun silam, sampai poster ajakan piknik ke Hindia Belanda bikinan JAW von Stein untuk Rotterdamsche Lloyd tahun 1920-an. Yang menarik, nama blok dan gang-gang penghubung antarblok diambil dari nama tokoh Belanda yang pernah populer di Indonesia. Jan Toorop Laan, Multatuli Straat, Jan Pieterszoon Coen Straat, misalnya. 
Yang harus diketahui, gagasan PMB ini diadopsi dari Pasar Malam Gambir yang diadakan oleh pemerintah Belanda di lapangan Gambir (kini lapangan Monas), Batavia, pada 1898. Pasar malam ini diadakan, selain untuk "hiboeran dan permaenan bagi pendoedoek negri", juga untuk "Pemoedjian bagi Hari Tahon dan bertachtanja Sri Baginda Maharadja Poetri Wihelmina di Negeri Olanda" (iklan dalam koran Bintang Barat, 30 Agustus 1898). 
Dalam jaarmark kuno itu ada depot, tonil, akrobat sampai lotere. Tak ketinggalan "Kampoeng Keradjinan", yang menampilkan "toekang oekir wajang Batoe Soekaboemi, toekang bikin kendi dan perioek dari Banten, keradjinan rakjat Djawa Koelon" (koran Pembrita Betawi edisi 27 Agustus 1906). Pasar Malam Gambir tutup ketika Jepang masuk pada 1942. 

Sebagai ujung kalam, lagi-lagi adalah titipan pesan: apabila pengembalian PRJ ke konsep semula benar-benar terjadi, elok agaknya jika konsep PMB Den Haag, yang bertolak dari Pasar Malam Gambir, juga dipetik. Sebab, itulah pasar malam rakyat yang ideal. Sedangkan pasar malam industri besar ala PRJ-K, biarkan saja berjalan seperti sediakala. Ada Jakarta Fair gaya Monas, ada PRJ gaya Kemayoran, tak ada salahnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar