|
KORAN
TEMPO, 29 Juni 2013
Sebagai ujung kalam, lagi-lagi adalah titipan pesan:
apabila pengembalian PRJ ke konsep semula benar-benar terjadi, elok agaknya
jika konsep PMB Den Haag, yang bertolak dari Pasar Malam Gambir, juga dipetik.
Sebab, itulah pasar malam rakyat yang ideal.
Perubahan visi Pekan Raya Jakarta-Kemayoran (PRK-K) menjadi Pesta
Rakyat Jakarta-Monumen Nasional (PRJ-M) menimbulkan polemik. Hal ini dimulai
ketika Gubernur Jakarta Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama,
mendadak ingin memindahkan PRJ dari Kemayoran kembali ke Lapangan Monumen
Nasional atau Monas. Konsepnya pun akan dikembalikan seperti semula: sebagai
ajang pesta masyarakat kebanyakan, dengan tema induk Pekan Produk Kreatif
Daerah. Pertimbangannya, Gubernuran melihat betapa sejak 2004 materi PRJ-K
sudah terlampau didominasi produk industri kelas atas.
Memang, setelah pasar malam itu dikelola oleh PT Jakarta
International Trade Fair Corporation, produk rakyat yang dikelola usaha
kecil-menengah jauh terpinggirkan. Maka, uji coba PRJ-M lantas dilakukan pada
14-16 Juni dengan menyandang nama Pesta Rakyat Jakarta. Pasar malam ini
disambut antusias, sehingga tahun depan PRJ-K kemungkinan besar akan boyongan
ke Monas. Meski demikian, PRJ-M ini disindir oleh Murdaya Poo, promotor PRJ-K,
Komisaris Utama Jakarta International Expo, sebagai "pasar malam kelas kerak telor".
Saya pernah terlibat langsung dengan kegiatan PRJ-M, yang
dahulu disebut Jakarta Fair atau JF. Sebuah pasar malam yang terasa selalu
menawarkan perspektif. Syahdan, pada tengah 1980-an, selama beberapa tahun saya
ditunjuk sebagai juri rupa produk industri kecil-menengah, bersama Permadi, SH
(waktu itu Ketua Lembaga Konsumen Indonesia), Soedarmadji J.H. Damais (peminat
sejarah), dan lain-lain. Dari ribuan rupa produk yang dinilai, muncul puluhan
juara yang terpublikasi secara luas. Berangkat dari prestasi itu, industri
kecil-menengah yang jadi juara pada kemudian hari tampak ramai-ramai
berkembang. Perkembangan ini menstimulasi industri kecil-menengah lain yang
belum menjadi juara untuk memburu prestasi yang sama dalam kompetisi JF tahun
berikutnya. Begitu seterusnya, dan seterusnya.
Dari sisi ini terfakta bahwa JF bukan sekadar ajang hiburan
bagi masyarakat, tapi juga pembentuk momentum bagi industri rakyat untuk
menaikkan citra ke publik umum. Nyoman Togog, pematung kayu bertema buah-buahan
yang menjadi salah satu pemenang rupa produk JF, mengatakan, "Hanya dengan Piagam Jakarta Fair,
usaha saya berkembang luar biasa, sehingga saya bisa memiliki 75 pematung, yang
karyanya direproduksi 2.000 perajin 30 desa di Gianyar, Bali."
Puncaknya, pada 1985, ia mendapat bintang Upakarti dari Presiden
Soeharto.
Kompleksitas
Rentengan reputasi industri kerajinan JF ini di kemudian
hari menginspirasi lahirnya pameran besar seni kerajinan Indonesia yang setiap
tahun diadakan oleh Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas). Dan fenomena minat
masyarakat Jakarta (dan Indonesia) atas produk bangsanya sendiri mendorong
Presiden Soeharto menggalakkan aksi Kementerian Usaha Peningkatan Penggunaan
Produk Dalam Negeri (UP3DN), yang dipimpin oleh Ginandjar Kartasasmita.
Bahwa JF bukan sekadar pasar malam, itu tampak dari
kompleksitas acaranya. Sebab, di samping mengemas berbagai industri hiburan
tradisional sampai modern dari Betawi dan berbagai daerah, JF juga membeberkan
sejarah Jakarta lewat pameran. Bersamaan dengan itu, produk-produk masa silam
Batavia (dan Indonesia) juga dijadikan tontonan kenangan. Alhasil, JF menjadi
lapangan ilmu pengetahuan, lantaran orang tak cuma melihat masa sekarang,
tetapi juga masa lalu dan masa mendatang.
Dari sini akhirnya masyarakat merasakan kontras perbedaan
JF dan PRJ-K, yang dominan mempertunjukkan aktivitas niaga produk industri
mancanegara, lengkap dengan para SPG yang serba cantik dan seksi nian.
Menyenangkan, memang! Tapi tiba-tiba semua seperti sangat umum, tanpa keunikan,
profan, dan cuma berada di permukaan.
Atas kenyataan ini, banyak orang lantas dengan sinis
menyarankan: kalau ingin melihat Pasar Malam Jakarta yang sesungguhnya,
datanglah ke Pasar Malam Besar, De Indische Stad, di Den Haag, Belanda. Sebuah
saran yang keterlaluan, namun memperoleh kebenaran setelah saya sempat
mengunjunginya.
Pasar Malam Gambir
Pasar Malam Besar atau PMB ini pertama kali diadakan pada
1959 atas gagasan Tjalie Robinson. Alkisah, wartawan yang lama di Hindia
Belanda ini memahami, setelah 10 tahun penyerahan kedaulatan Indonesia dari
Belanda 1949, sekitar 300 ribu orang Belanda yang pernah hidup di Indonesia
merasa kesepian. Tjalie berkehendak membuat forum berkumpul dan bernostalgia
bagi mereka. Demi merealisasinya, ia bekerja sama dengan organisator Stichting
Tong Tong. Pada tiap musim panas sekitar Juni, pasar malam ini diadakan. Dan
tersebab logo Tong Tong selalu tertera besar di situ, orang lantas menyebut
"Pasar Malam Tong Tong".
Dalam dua minggu pelaksanaan PMB, ratusan acara musik,
tari, sandiwara, sampai kookdemonstratie (demo memasak) makanan Indonesia
digelar. Sedangkan di sisi-sisi lain, terpajang berbagai benda produk Indonesia
masa silam. Seperti uang kuno rancangan Lion Cachet bernominal twee honderd
golden untuk de Javasche Bank, batik Frankemon bikinan 80 tahun silam, sampai
poster ajakan piknik ke Hindia Belanda bikinan JAW von Stein untuk
Rotterdamsche Lloyd tahun 1920-an. Yang menarik, nama blok dan gang-gang
penghubung antarblok diambil dari nama tokoh Belanda yang pernah populer di
Indonesia. Jan Toorop Laan, Multatuli Straat, Jan Pieterszoon Coen Straat,
misalnya.
Yang harus diketahui, gagasan PMB ini diadopsi dari Pasar
Malam Gambir yang diadakan oleh pemerintah Belanda di lapangan Gambir (kini
lapangan Monas), Batavia, pada 1898. Pasar malam ini diadakan, selain untuk "hiboeran dan permaenan bagi pendoedoek
negri", juga untuk "Pemoedjian
bagi Hari Tahon dan bertachtanja Sri Baginda Maharadja Poetri Wihelmina di
Negeri Olanda" (iklan dalam koran Bintang Barat, 30 Agustus
1898).
Dalam jaarmark kuno itu ada depot, tonil, akrobat sampai
lotere. Tak ketinggalan "Kampoeng
Keradjinan", yang menampilkan "toekang
oekir wajang Batoe Soekaboemi, toekang bikin kendi dan perioek dari Banten,
keradjinan rakjat Djawa Koelon" (koran Pembrita Betawi edisi 27
Agustus 1906). Pasar Malam Gambir tutup ketika Jepang masuk pada 1942.
Sebagai ujung kalam, lagi-lagi adalah titipan pesan:
apabila pengembalian PRJ ke konsep semula benar-benar terjadi, elok agaknya
jika konsep PMB Den Haag, yang bertolak dari Pasar Malam Gambir, juga dipetik.
Sebab, itulah pasar malam rakyat yang ideal. Sedangkan pasar malam industri
besar ala PRJ-K, biarkan saja berjalan seperti sediakala. Ada Jakarta Fair gaya
Monas, ada PRJ gaya Kemayoran, tak ada salahnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar