|
JAWA
POS, 26 Juli 2013
PANGERAN William dan Kate Middleton akhirnya memperkenalkan putra pertamanya
kepada publik Inggris, Selasa (23/7) waktu setempat. Royal Baby yang bernama
George Alexander Louis dengan gelar Prince
George of Cambridge itu pun langsung mencuri perhatian dunia. Tidak
terhitung komentar dan ulasan tentang si mungil tersebut.
Meski baru dilahirkan empat hari lalu, sang penerus takhta Kerajaan Inggris itu, tampaknya, akan menjadi trendsetter bagi (orang tua) bayi-bayi lain. Analis seperti Richard Cope meramalkan, busana dan pernik yang dipakai si Pangeran Bayi akan menciptakan tren untuk pakaian bayi dan anak-anak.
Lihat saja selimut putih yang membalut bayi Kate ketika diperkenalkan kepada publik. Walaupun seharga 14,99 poundsterling (Rp 236 ribu), tidak terlalu mahal untuk ukuran keluarga kerajaan, diyakini selimut tersebut akan menggoda banyak orang tua untuk mengenakannnya pada bayi mereka.
Bayi calon raja Inggris itu bakal menjadi kiblat masyarakat pemuja tren. Diyakini, Royal Baby akan menjadi media iklan yang efektif bagi produk-produk yang dipakainya. Meski masih oek-oek, dia mampu memengaruhi perilaku konsumtif publik dunia.
Sikap yang terlalu memuja pesona komoditas atau fetisisme tersebut dikuatkan oleh peran media yang terus-menerus mengekspos dan menimpali. Muncullah sugesti tentang keagungan Royal Baby.
Konsep kapitalisme membuat seseorang memiliki kebutuhan palsu (false needs). Apa yang dipersepsi publik yang dikuatkan media akan menjadi kebutuhan yang ''harus'' dipenuhi demi kepuasan imajiner.
Merujuk pada pemikiran Herbert Marcuse dalam bukunya One Dimensional Man (1964:35), kebutuhan yang ditawarkan untuk berperilaku dan mengonsumsi sesuai dengan iklan termasuk kebutuhan palsu.
Itu menjadi tuntutan sosial berupa nilai-nilai dalam relasi seperti status sosial, prestise, eksistensi, dan citra yang dinyatakan lewat mengonsumsi yang bukan menjadi kebutuhan. Mengonsumsi seperti Royal Baby seolah-olah akan menjadi komoditas yang dianggap bisa menguatkan eksistensi seseorang.
Masyarakat membeli bukan karena kebutuhan (need) atau menikmati apa yang dibeli, tetapi sekadar memenuhi status sosial semu agar dianggap bagian dari kelas sosial tertentu. Bila sudah menjadi rutinitas, manusia tidak merasa ''sesuatu'' telah memanipulasi kesadaran dan mengarahkan tindakannya.
Bila sudah begitu, kata Baudrillard, fungsi utama objek-objek konsumen bukanlah pada manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang diiming-imingkan iklan-iklan gaya hidup. Individu menerima identitas dalam hubungannya dengan orang lain, bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya, namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki, serta tampilkan dalam interaksi sosial.
Terjadilah transformasi, benda-benda tidak dimaknai dengan nilai fungsional (seperti selimut apa pun bisa menghangatkan), tetapi pada nilai-nilai simbolisnya (merasa lebih bangga dengan selimut seperti yang digunakan membungkus Royal Baby). Dengan menggunakan atau mengonsumsi produk tersebut, seseorang merasa mengidentifikasi diri dengan kelas sosial tertentu.
Itulah yang disebut Baudrillard bahwa manusia mengonsumsi tidak pernah benar-benar tahu akan kebutuhannya sendiri dan ketiadaan refleksi tentang dirinya sendiri. Semua berkutat pada tanda-tanda yang di dalamnya ada motif serta tujuan-tujuan tertentu.
Akhirnya, di sinilah manusia. Bila kebablasan, mereka bisa mengalami kegagalan bereksistensi dan kehilangan otentisitas dirinya sebagai manusia. Padahal, menjadi otentik (asli), menjadi diri sendiri, merupakan proses yang sangat penting. Keselarasan antara apa yang diyakini dan yang dihayati sehari-hari dalam tindakan sangat jarang ditemui pada zaman ini. Otentisitas memberikan makna kesadaran akan eksistensi pribadi dalam kehidupan ini.
Bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri, seperti apa dirinya, bahkan apa sebenarnya yang sedang terjadi. Konsumerisme dan gaya hidup individu maupun kelompok yang terjadi dalam setiap aspek kehidupan membuat seseorang kerap tidak sadar akan dirinya. Manusia kehilangan hakikatnya sebagai makhluk personal yang memiliki kebebasan menentukan diri sendiri. Perlu tetap sadar diri di tengah tren apa pun.
Royal Baby yang baru berumur empat hari itu telah turut berkontribusi membentuk perilaku konsumtif publik dunia dengan bantuan aneka media. Akhirnya, selamat lahir ke dunia, Prince George of Cambridge. Semoga kelahiran itu juga bisa membawa perubahan bagi perilaku masyarakat dunia yang lebih humanis. ●
Meski baru dilahirkan empat hari lalu, sang penerus takhta Kerajaan Inggris itu, tampaknya, akan menjadi trendsetter bagi (orang tua) bayi-bayi lain. Analis seperti Richard Cope meramalkan, busana dan pernik yang dipakai si Pangeran Bayi akan menciptakan tren untuk pakaian bayi dan anak-anak.
Lihat saja selimut putih yang membalut bayi Kate ketika diperkenalkan kepada publik. Walaupun seharga 14,99 poundsterling (Rp 236 ribu), tidak terlalu mahal untuk ukuran keluarga kerajaan, diyakini selimut tersebut akan menggoda banyak orang tua untuk mengenakannnya pada bayi mereka.
Bayi calon raja Inggris itu bakal menjadi kiblat masyarakat pemuja tren. Diyakini, Royal Baby akan menjadi media iklan yang efektif bagi produk-produk yang dipakainya. Meski masih oek-oek, dia mampu memengaruhi perilaku konsumtif publik dunia.
Sikap yang terlalu memuja pesona komoditas atau fetisisme tersebut dikuatkan oleh peran media yang terus-menerus mengekspos dan menimpali. Muncullah sugesti tentang keagungan Royal Baby.
Konsep kapitalisme membuat seseorang memiliki kebutuhan palsu (false needs). Apa yang dipersepsi publik yang dikuatkan media akan menjadi kebutuhan yang ''harus'' dipenuhi demi kepuasan imajiner.
Merujuk pada pemikiran Herbert Marcuse dalam bukunya One Dimensional Man (1964:35), kebutuhan yang ditawarkan untuk berperilaku dan mengonsumsi sesuai dengan iklan termasuk kebutuhan palsu.
Itu menjadi tuntutan sosial berupa nilai-nilai dalam relasi seperti status sosial, prestise, eksistensi, dan citra yang dinyatakan lewat mengonsumsi yang bukan menjadi kebutuhan. Mengonsumsi seperti Royal Baby seolah-olah akan menjadi komoditas yang dianggap bisa menguatkan eksistensi seseorang.
Masyarakat membeli bukan karena kebutuhan (need) atau menikmati apa yang dibeli, tetapi sekadar memenuhi status sosial semu agar dianggap bagian dari kelas sosial tertentu. Bila sudah menjadi rutinitas, manusia tidak merasa ''sesuatu'' telah memanipulasi kesadaran dan mengarahkan tindakannya.
Bila sudah begitu, kata Baudrillard, fungsi utama objek-objek konsumen bukanlah pada manfaatnya, melainkan lebih pada fungsi sebagai nilai-tanda atau nilai-simbol yang diiming-imingkan iklan-iklan gaya hidup. Individu menerima identitas dalam hubungannya dengan orang lain, bukan dari siapa dan apa yang dilakukannya, namun dari tanda dan makna yang mereka konsumsi, miliki, serta tampilkan dalam interaksi sosial.
Terjadilah transformasi, benda-benda tidak dimaknai dengan nilai fungsional (seperti selimut apa pun bisa menghangatkan), tetapi pada nilai-nilai simbolisnya (merasa lebih bangga dengan selimut seperti yang digunakan membungkus Royal Baby). Dengan menggunakan atau mengonsumsi produk tersebut, seseorang merasa mengidentifikasi diri dengan kelas sosial tertentu.
Itulah yang disebut Baudrillard bahwa manusia mengonsumsi tidak pernah benar-benar tahu akan kebutuhannya sendiri dan ketiadaan refleksi tentang dirinya sendiri. Semua berkutat pada tanda-tanda yang di dalamnya ada motif serta tujuan-tujuan tertentu.
Akhirnya, di sinilah manusia. Bila kebablasan, mereka bisa mengalami kegagalan bereksistensi dan kehilangan otentisitas dirinya sebagai manusia. Padahal, menjadi otentik (asli), menjadi diri sendiri, merupakan proses yang sangat penting. Keselarasan antara apa yang diyakini dan yang dihayati sehari-hari dalam tindakan sangat jarang ditemui pada zaman ini. Otentisitas memberikan makna kesadaran akan eksistensi pribadi dalam kehidupan ini.
Bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri, seperti apa dirinya, bahkan apa sebenarnya yang sedang terjadi. Konsumerisme dan gaya hidup individu maupun kelompok yang terjadi dalam setiap aspek kehidupan membuat seseorang kerap tidak sadar akan dirinya. Manusia kehilangan hakikatnya sebagai makhluk personal yang memiliki kebebasan menentukan diri sendiri. Perlu tetap sadar diri di tengah tren apa pun.
Royal Baby yang baru berumur empat hari itu telah turut berkontribusi membentuk perilaku konsumtif publik dunia dengan bantuan aneka media. Akhirnya, selamat lahir ke dunia, Prince George of Cambridge. Semoga kelahiran itu juga bisa membawa perubahan bagi perilaku masyarakat dunia yang lebih humanis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar