|
KOMPAS,
30 Juli 2013
Perhatian publik kembali menyoroti
institusi kepolisian. Kali ini terkait momentum pergantian posisi Kepala Polri,
yang saat ini dijabat Timur Pradopo dan sebentar lagi akan berakhir masa
jabatannya. Maka, calon pengganti mulai ditimbang-timbang.
Berdasarkan undang-undang, kewenangan
untuk mengangkat dan memberhentikan kepala Polri berada di tangan Presiden
dengan persetujuan DPR. Adapun yang dicalonkan adalah para perwira tinggi Polri
yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
Momentum pergantian ini kemudian
melahirkan ”bursa panas” para calon pengganti. Beberapa nama disebut sebagai
kandidat potensial. Namun, pemicu panasnya bursa persaingan ternyata tidak
hanya terkait soal siapa yang memenuhi kualifikasi, melainkan karena di antara
riuh rendah pencalonan itu muncul kembali persoalan lama mengenai rekening
”gendut”.
Kasus rekening gendut
Dari sembilan jenderal yang
belakangan positif ikut meramaikan bursa pencalonan, dua di antaranya Komisaris
Jenderal Budi Gunawan dan Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, yang notabene
pernah tersandung masalah rekening gendut.
Sebagaimana diketahui, isu rekening
gendut pernah mencuat ke publik pada tahun 2010. Saat itu Indonesia Corruption
Watch (ICW), meminta Polri untuk menjelaskan keberadaan 17 rekening yang diduga
kuat merupakan milik sejumlah petinggi kepolisian. Disebut rekening gendut
karena uang yang disimpan jumlahnya fantastis.
Sengkarut rekening ”jumbo” kemudian
berujung pada sengketa informasi antara ICW dan Polri. Sengketa itu dipungkasi
dengan putusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang mengabulkan permohonan ICW.
Dengan demikian, Polri wajib membeberkan kepada publik mengenai keberadaan dan
para pemilik dari rekening jumbo tersebut.
Namun, apa lacur, tindak lanjut
atas putusan KIP tersebut hingga saat ini tidak jelas juntrungannya. Tidak cuma
putusan KIP yang tidak digubris, ”janji- janji angin surga” Polri mengenai
pengusutan rekening gendut itu juga menghilang.
Perlu perhatian
Kenapa rekening jumbo perlu menjadi
perhatian serius pada momen pergantian kepala Polri? Setidaknya ada beberapa
alasan yang perlu dibahas di bawah ini.
Pertama, beberapa preseden
pembongkaran praktik koruptif yang dilakukan sejumlah pejabat publik—tak
terkecuali pejabat Polri—pintu masuknya antara lain dengan penelisikan terhadap
rekening, terutama jika ada indikasi nominal besar dan transaksi yang
mencurigakan.
Sebagai ilustrasi, publik tentu
masih ingat pemberitaan di media massa beberapa tahun lalu ketika Mabes Polri
menelusuri laporan PPATK mengenai rekening seorang kapolda di Kalimantan Timur,
yang berisikan uang Rp 2.088.000.000 dengan sumber dana tidak tak jelas.
Rekening tersebut kemudian ditutup
dan dipindahkan oleh pemiliknya ke rekening lain. Namun, ternyata untuk
selanjutnya dana ditarik dan disetorkan kembali ke deposito sang kapolda.
Kedua, rekening gendut, pada sisi
yang lain juga bisa menjadi alat untuk menakar besaran (magnitude) dari suatu tindakan korupsi. Maka, dari suatu hasil
pelacakan, bisa disimpulkan apakah secara kuantitatif korupsi yang dilakukan
oleh seorang pejabat publik itu termasuk berskala kecil, sedang, atau besar.
Penyitaan aset senilai Rp 100
miliar atas dugaan korupsi simulator (Djoko Susilo), misalnya, mengindikasikan
bahwa harta koruptor, selain disembunyikan dalam bentuk pembelian aset,
sebagian tetap disimpan dalam bentuk uang di rekening. Inilah yang kemudian
menciptakan rekening gendut.
”Seloroh” di kalangan sebagian
pegiat antikorupsi yang mengatakan, ”Jika seorang jenderal bintang 2 korup saja
bisa membeli aset dan menyimpan uang di rekening dengan jumlah yang begitu
besar, bayangkan saja jika jenderal bintang 3 atau 4 yang korup.”
Meski sekadar kelakar, hal itu
membawa pesan implisit mengenai magnitude korupsi yang dilakukan seorang
petinggi kepolisian.
Dengan memperhatikan sejumlah
proyek pengadaan di kepolisian yang rata-rata besar dan masif, mungkin sekali
jika magnitude korupsinya juga berbanding lurus dengan itu.
Menjadi radar
Ketiga, dengan perpaduan
metode follow the money (mengikuti
aliran uang) dan follow the asset (mengikuti
aliran aset) pada pelacakan harta koruptor, yang antara lain dilakukan
dengan penelusuran sejumlah transaksi mencurigakan
pada rekening, posisi dari rekening gendut menjadi strategis. Rekening itu
tidak lagi sekadar menjadi alat perburuan harta koruptor, tetapi juga bisa
menjadi radar untuk menemukan pihak-pihak lain yang terlibat dalam tindak
pidana korupsi.
Tentu masih segar dalam ingatan
publik, kasus suap PT Salmah Arowana Lestari dan pengamanan Pilkada Jawa Barat
2008. Kasus tersebut menjadikan mantan Kepala Bareskrim Polri Komisaris
Jenderal Susno Duadji sebagai ”pesakitan”. Namun, apa yang melibatkan Susno
ternyata ”beririsan” dengan kasus rekening gendut di kalangan petinggi Polri.
Bongkar rekening gendut
Pada waktu itu, sebagai mantan
Wakil Ketua PPATK, Susno sempat didorong oleh beberapa pihak supaya
menjadi whistleblower yang membongkar keberadaan rekening gendut yang
dimiliki pejabat dan mantan pejabat Polri.
Selain sebagai argumentasi, tiga
hal di atas—serta penjelasan sebelumnya—setidaknya menggambarkan suatu situasi
pelik, yakni kelindan institusi kepolisian dengan persoalan rekening gendut.
Kepelikan ini terjadi dan berlangsung sebagai akibat dari ketidakseriusan Polri
menyelesaikan persoalan rekening gendut. Kini, dalam momentum pencalonan kepala
Polri, isu itu muncul menjadi ”bola liar”.
Maka, jika benar-benar ingin
mendapatkan figur berintegritas dan berkomitmen untuk lahirnya institusi
kepolisian yang tidak korup, pencalonan pengganti kepala Polri sebaiknya
digunakan sebagai momentum untuk merampungkan pekerjaan rumah menuntaskan soal
rekening gendut, sesuatu yang sebenarnya ditunggu publik selama ini seperti
halnya ”menunggu godot”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar