|
JAWA
POS, 30 Juli 2013
SETELAH New York
bertengger di puncak tertinggi deretan kota besar dunia, Shanghai dengan cepat
mencuat sebagai megapolitan baru di daratan Tiongkok. Baik New York maupun
Shanghai, keduanya adalah kota yang indah, pencakar langitnya modern, dan layout kotanya terkonsep. Tidak punya banyak
gang buntu.
Kesamaan berikutnya: New York bukan ibu kota Amerika dan Shanghai juga bukan ibu kota Tiongkok.
Pertanyaannya, siapa bakal menyusul jadi Shanghai baru Asia? Apakah ia Singapura? Pasti bukan. Singapura memang sudah lebih dulu maju, tapi kemajuannya akan jalan di tempat seperti sekarang. Untuk jauh lebih maju lagi, caranya sudah tak ada karena lahan sudah tak punya. Untuk membangun mal Vivo City yang menjorok ke laut di sebelah Harbour Front, Singapura harus menguruk sebagian lautnya. Untuk mempercantik bibir pantai di Pulau Sentosa, negeri tetangga kita itu harus membeli pasir dari perairan sekitar Pulau Sumatera secara sembunyi-sembunyi. Menyedot pasir dari bawah laut, lalu ditimbun di bibir-bibir pantai agar daratannya terasa sedikit agak luas.
Bagaimana Tokyo? Kodrat Tokyo kurang lebih sama dengan Singapura: Lahan cuma secuil dan sudah habis.
Manila? Ia mirip-mirip dengan Jakarta, terutama keruwetannya. Sudah ruwet, langganan banjir pula. Dan tak kunjung ada langkah konkret, misalnya bagaimana mengatasi kemacetannya yang begitu akut. Banjir Jakarta kian tahun kian kronis dan bikin gila. Ganti-ganti gubernur, yang ramai cuma wacananya.
Terus, bagaimana kalau Surabaya? Ia persis New York dan Shanghai. Surabaya bukan ibu kota Indonesia seperti halnya dengan New York yang bukan ibu kota AS. Shanghai juga bukan ibu kota Tiongkok.
Selain Soerabaya itu terlahir indah sejak doeloe kala, kota ini berada di tengah-tengah deretan kepulauan Indonesia. Surabaya juga punya bakat tertib dan tertata hingga hari ini. Masyarakatnya lurus, sopan, dan cita-citanya sehat. Jauh dari sifat jorok dan ngawur. Wali kotanya gigih menambah ruang terbuka hijau (RTH), warganya punya kepedulian lebih dalam menjaga kebersihan kota. Kalau Anda cari banjir di Surabaya sepanjang tahun, dijamin tak akan ketemu. Apalagi di musim kemarau seperti sekarang.
Lalu, kapan Surabaya bakal menyusul Shanghai? Secepatnya! Asal, pemerintah pusat segera mengevaluasi aturan lawas yang menyangkut kawasan keselamatan operasional penerbangan (KKOP) sesuai dengan tuntutan perkembangan Kota Surabaya. Radius terlarang untuk bangunan pencakar langit tak perlu sampai 15 kilometer dari titik landasan Bandara Juanda. Tapi, cukup 5 kilometer dari bandara seperti di bandara modern Jeddah yang juga dikelilingi pencakar langit atau kota-kota lain di negara maju. Dengan KKOP yang sekarang, gedung-gedung di Kota Pahlawan tak akan bisa mencakar langit, namun hanya bisa menengadah melihat langit.
Masyarakat, para pengembang, Pemerintah Kota Surabaya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, semua dalam satu semangat menuju Surabaya Megapolitan. Mengembangkan bangunan vertikal adalah cara paling efektif untuk memaksimalkan lahan yang ada sekaligus tetap menjaga keutuhan ruang terbuka hijau. Persoalannya, mampukah pemerintah pusat melihat bahwa kota kedua setelah Jakarta ini bisa jauh lebih maju ketimbang ibu kota Indonesia? ●
Kesamaan berikutnya: New York bukan ibu kota Amerika dan Shanghai juga bukan ibu kota Tiongkok.
Pertanyaannya, siapa bakal menyusul jadi Shanghai baru Asia? Apakah ia Singapura? Pasti bukan. Singapura memang sudah lebih dulu maju, tapi kemajuannya akan jalan di tempat seperti sekarang. Untuk jauh lebih maju lagi, caranya sudah tak ada karena lahan sudah tak punya. Untuk membangun mal Vivo City yang menjorok ke laut di sebelah Harbour Front, Singapura harus menguruk sebagian lautnya. Untuk mempercantik bibir pantai di Pulau Sentosa, negeri tetangga kita itu harus membeli pasir dari perairan sekitar Pulau Sumatera secara sembunyi-sembunyi. Menyedot pasir dari bawah laut, lalu ditimbun di bibir-bibir pantai agar daratannya terasa sedikit agak luas.
Bagaimana Tokyo? Kodrat Tokyo kurang lebih sama dengan Singapura: Lahan cuma secuil dan sudah habis.
Manila? Ia mirip-mirip dengan Jakarta, terutama keruwetannya. Sudah ruwet, langganan banjir pula. Dan tak kunjung ada langkah konkret, misalnya bagaimana mengatasi kemacetannya yang begitu akut. Banjir Jakarta kian tahun kian kronis dan bikin gila. Ganti-ganti gubernur, yang ramai cuma wacananya.
Terus, bagaimana kalau Surabaya? Ia persis New York dan Shanghai. Surabaya bukan ibu kota Indonesia seperti halnya dengan New York yang bukan ibu kota AS. Shanghai juga bukan ibu kota Tiongkok.
Selain Soerabaya itu terlahir indah sejak doeloe kala, kota ini berada di tengah-tengah deretan kepulauan Indonesia. Surabaya juga punya bakat tertib dan tertata hingga hari ini. Masyarakatnya lurus, sopan, dan cita-citanya sehat. Jauh dari sifat jorok dan ngawur. Wali kotanya gigih menambah ruang terbuka hijau (RTH), warganya punya kepedulian lebih dalam menjaga kebersihan kota. Kalau Anda cari banjir di Surabaya sepanjang tahun, dijamin tak akan ketemu. Apalagi di musim kemarau seperti sekarang.
Lalu, kapan Surabaya bakal menyusul Shanghai? Secepatnya! Asal, pemerintah pusat segera mengevaluasi aturan lawas yang menyangkut kawasan keselamatan operasional penerbangan (KKOP) sesuai dengan tuntutan perkembangan Kota Surabaya. Radius terlarang untuk bangunan pencakar langit tak perlu sampai 15 kilometer dari titik landasan Bandara Juanda. Tapi, cukup 5 kilometer dari bandara seperti di bandara modern Jeddah yang juga dikelilingi pencakar langit atau kota-kota lain di negara maju. Dengan KKOP yang sekarang, gedung-gedung di Kota Pahlawan tak akan bisa mencakar langit, namun hanya bisa menengadah melihat langit.
Masyarakat, para pengembang, Pemerintah Kota Surabaya, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, semua dalam satu semangat menuju Surabaya Megapolitan. Mengembangkan bangunan vertikal adalah cara paling efektif untuk memaksimalkan lahan yang ada sekaligus tetap menjaga keutuhan ruang terbuka hijau. Persoalannya, mampukah pemerintah pusat melihat bahwa kota kedua setelah Jakarta ini bisa jauh lebih maju ketimbang ibu kota Indonesia? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar