|
REPUBLIKA,
24 Juli 2013
Meningkatnya
harga-harga kebutuhan akibat naiknya harga BBM dan menjelang Lebaran dikhawatirkan
kian menggerus daya beli masyarakat. Pada tahap lanjut, melemahnya daya beli
masyarakat itu berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Pemerintah memang
telah mengantisipasi melemahnya daya beli masyarakat akibat naiknya harga BBM
dengan dana kompensasi yang disebut sebagai bantuan langsung sementara masyarakat
(BLSM). Tapi, jika kenaikan harga-harga itu melebihi kompensasi yang diberikan,
potensi meningkatnya angka kemiskinan sulit terelakkan.
Dalam
kondisi tersebut, satu hal yang perlu diwaspadai dari melemahnya daya beli
masyarakat itu adalah dampaknya terhadap anak-anak. Sebab, anak-anak, terutama
dari kelompok hampir miskin umumnya berpeluang lebih besar jatuh miskin
dibandingkan orang dewasa.
Tumbuh kembang
Lebih rentannya
anak-anak tertimpa kemiskinan, terutama disebabkan kebutuhan mereka lebih
banyak dibandingkan orang dewasa. Kebutuhan anak sifatnya tidak bisa tertunda
karena diperlukan untuk menjaga proses tumbuh kembang. Pada umumnya,
kemiskinan orang dewasa (adult poverty)
berkaitan dengan tidak terpenuhinya pangan, pakaian, dan tempat tinggal.
Sedangkan, penyebab kemiskinan anak (child
poverty), selain ketiga aspek tersebut (pangan, pakaian, dan tempat
tinggal) juga ditentukan aspek lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan.
Lebih
jauh, Gordon et al (2003) menyebutkan bahwa kemiskinan anak diakibatkan oleh
tidak terpenuhinya minimal salah satu dari delapan dimensi kesejahteraan anak,
yaitu pangan, air bersih, sanitasi, kesehatan, perumahan, pendidikan, informasi,
dan akses terhadap layanan publik. Tentunya, semakin banyak dimensi yang tidak
dapat dipenuhi dari kebutuhan anak-anak, semakin parah tingkat kemiskinannya.
Untuk
mengetahui tingkat keparahan kemiskinan anak, Gordon et al telah melakukan
studi di 46 negara berkembang berdasarkan proxy
delapan dimensi kesejahteraan anak yang disebutkan tadi. Hasil studi
menunjukkan bahwa satu di antara dua anak tidak memperoleh salah satu dimensi
kesejahteraan anak dan satu di antara tiga anak tidak memperoleh dua atau lebih
dimensi kesejahteraan anak.
Maka,
cukup jelas bahwa langkah pengentasan kemiskinan anak menjadi lebih sulit
dibandingkan upaya pengentasan kemiskinan orang dewasa. Menurut Heidel (2004),
kontribusi penurunan angka kemiskinan terhadap kemiskinan anak hanya sebesar
sepertiganya. Tragisnya, kemiskinan anak umumnya terjadi mendahului kemiskinan
orang dewasa. Hal itu bisa dilihat saat pendapatan keluarga menurun, acapkali
kebutuhan anak terlebih dahulu yang dikorbankan. Untuk pendidikan, misalnya,
tidak sedikit orang tua yang mengurangi jatah biaya pendidikan anaknya atau
bahkan menghentikan sekolah anaknya ketika ekonomi keluarga memburuk. Parahnya
lagi, anak-anak yang berhenti sekolah kerap dipaksa terjun ke dunia kerja.
Pengalaman krisis 1997, misalnya, menunjukkan seperlima penduduk miskin (setara
20,10 persen) menyuruh anaknya bekerja untuk membantu penghasilan keluarga
(BPS, 1998).
Secara
faktual, kehidupan anak yang terlilit kemiskinan akan berpotensi mengalami
penderitaan sepanjang hidupnya. Kemiskinan anak merupakan bibit tumbuhnya kemiskinan
kronis yang sulit untuk dientaskan. Sebab, anak-anak yang terjerembab dalam
kemiskinan umumnya mengalami gangguan dalam tumbuh kembangnya, sehingga sulit
melakukan kegiatan, terutama kegiatan produktif secara optimal.
Perbesar bantuan
Maka dari
itu, dengan mencermati besarnya risiko yang akan terjadi dari keberadaan
kemiskinan anak, sepatutnya perlu dilakukan upaya pencegahan sejak dini. Dalam
konteks ini, pemberian kompensasi melalui Program Keluarga Harapan (PKH) dengan
sasaran keluarga sangat miskin yang memiliki ibu hamil, anak balita, dan anak
sekolah tampaknya bisa membantu untuk mengatasi gerak laju kemiskinan
anak.
Perlu
diketahui bahwa pada 2013 pemerintah tetap melanjutkan PKH dengan kompensasi sebesar
Rp 1,5 juta hingga Rp 1,8 juta per rumah tangga bagi 2,4 juta rumah tangga di
Tanah Air. Namun, sayangnya cakupan PKH itu masih sangat terbatas karena
diperuntukkan bagi keluarga sangat miskin di 167 kabupaten/kota. Padahal, anak
dari keluarga sangat miskin diperkirakan terdapat di hampir seluruh wilayah di
505 kabupaten/kota di Tanah Air.
Sementara,
dari sisi besaran bantuan kesejahteraan yang diterima anak-anak, terutama anak
balita juga dinilai belum cukup memadai, bahkan dibandingkan dengan sejumlah
negara yang pendapatan per kapitanya lebih rendah dari Indonesia. Kamboja,
misalnya, dengan pendapatan per kapita sebesar 2.095 dolar AS mampu memberikan
bantuan kesejahteraan pada anak balitanya se - besar 0,93 persen dari produk domestik
bruto (PDB) negara itu.
Adapun
Indonesia dengan pendapatan per kapita sebesar 4.154 dolar AS ternyata hanya
mampu memberikan bantuan kesejahteraan terhadap anak balitanya sebesar 0,31
persen dari PDB-nya. Sementara, India dengan penduduk terbesar kedua sejagat
(1,2 miliar jiwa) mampu mengalokasikan anggaran kesejahteraan untuk anak balitanya
sebesar 0,54 persen dari PDB-nya (UK, Save the Children, 2009).
Semua
pihak perlu meyakini bahwa setiap sen yang dikucurkan dalam rangka me menuhi
kebutuhan esensial anak merupakan investasi untuk perbaikan masa depan anak dan
bangsa. Studi di Brasil, misalnya, menunjukkan bahwa peningkatan dua tahun pendidikan
bagi anak ketika dewasa akan berpotensi meningkatkan pendapatannya sebesar 18
persen (ICC, Investing in Children in
latin America and the Carribean, 2000).
Namun,
besarnya bantuan pemerintah untuk kesejahteraan anak belum menjamin
kesejahteraan mereka serta-merta meningkat. Peran orang tua dalam mengelola
bantuan dengan mendahulukan kepentingan anak merupakan aspek yang turut
menentukan kesejahteraan anak. Karena itulah, peran pemerintah dan masyarakat
sangat diperlukan guna mencegah terjadinya kemiskinan anak. Selain itu, semua
elemen juga harus berupaya sercara serius untuk mengentaskan anak-anak yang
sudah telanjur terperangkap dalam jurang kemiskinan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar