|
SUARA
KARYA, 30 Juli 2013
Artikel
dari Penulis yang sama pernah dimuat di OKEZONENEWS 25 Juli 2013
Sekarang, makin banyak daerah
dipimpin oleh kekuatan politik koalisi, atau latar belakang politik kepala
daerah berbeda dengan wakilnya. Dalam kondisi demikian, keduanya memiliki visi
dan misi politik yang juga berbeda meskipun telah disatukan pada saat
pemilukada.
Layak dicermati, munculnya
pemerintahan koalisi di banyak daerah merupakan imbas dari sistem multipartai
yang memang mempersulit partai-partai menjadi dominan di daerah. Dengan kata
lain, partai-partai di banyak daerah memiliki kekuatan yang relatif sama
sehingga tidak mampu mengusung pasangan calon kepala daerah tanpa harus
berkoalisi.
Padahal, setiap partai di daerah
cenderung bermusuhan, tapi kemudian terpaksa harus berkoalisi demi merebut
kursi kepala daerah dan kursi wakil kepala daerah. Karena itu, setiap
pemerintahan daerah yang dibentuk berdasarkan koalisi berpotensi menyimpan
benih-benih konflik dan rentan korup.
Faktanya, makin banyak terjadi
perselisihan antara kepala daerah dengan wakilnya sehingga menimbulkan
ketegangan politik yang berimbas pada ketidakharmonisan dalam memimpin
pemerintahan daerah. Pada kondisi demikian, konflik politik berpotensi memanas
sehingga berdampak negatif bagi kinerja birokrasi yang memperlambat kemajuan
daerah. Selain itu, makin banyak kasus korupsi yang dilakukan jajaran pemimpin
daerah, yang terjadi karena masing-masing berlatar belakang politik berbeda.
Sehingga berbeda pula kepentingan politiknya yang ujung-ujungnya rebutan
"proyek basah" untuk menggemukkan partainya masing-masing dengan
cara-cara korupsi.
Untuk mengatasi konflik politik
antara kepala daerah dengan wakilnya tentu saja tidak mudah jika masing-masing
berambisi untuk berkuasa dan saling mengalahkan. Pada kondisi demikian,
meskipun tidak harmonis tetap saja duet kepemimpinan di daerah dipertahankan.
Namun, ternyata ada juga yang
memilih mundur, sebagaimana yang terjadi di Garut dan di DKI Jakarta. Dalam hal
ini, mundurnya wakil kepala daerah bisa dianggap jalan pintas untuk mengakhiri
konflik politik di daerah yang paling aman.
Jika wakil kepala daerah memilih
mundur di tengah jalan karena tidak ingin memperuncing konflik politik dengan
kepala daerah, hal itu bisa saja dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap
rakyat yang telah memilihnya. Bagi wakil kepala daerah yang tidak lagi harmonis
atau bahkan berselisih dengan kepala daerah, dan kemudian memilih mundur, bisa
jadi merupakan langkah yang bijak dan menguntungkan bagi masa depan politiknya.
Misalnya, setelah mundur, wakil kepala daerah bisa membangun kekuatan politik
yang lebih besar untuk meraih kemenangan dalam pemilukada berikutnya sehingga
dia bisa menjadi kepala daerah.
Dengan kata lain, mundur untuk
maju adalah pilihan politik yang berdampak positif, karena ibaratnya sekali
mendayung dua tiga pulau terlampaui. Artinya, mundur sama dengan mengakhiri
konflik sekaligus membuka peluang untuk membangun kekuatan baru untuk meraih
kemenangan dalam pemilukada berikutnya.
Ban Serep
Dalam praktiknya, pasangan kepala
daerah dengan wakilnya sering tidak bisa saling berbagi tugas dalam kinerja
pemerintahan daerah. Bahkan banyak kepala daerah selalu sangat dominan sehingga
imbasnya menyingkirkan wakilnya. Karena
itu, wakil kepala daerah sering seperti ban serep atau roda cadangan bagi
kendaraan yang tidak pernah terpakai sampai kendaraan tersebut berhenti di
akhir perjalanan yang telah ditentukan.
Tentu sangat tidak nyaman bagi
wakil kepala daerah yang diposisikan seperti ban serep yang terus menerus
menjadi cadangan saja. Meskipun selalu menerima gaji buta karena tidak jelas
tugasnya, rasanya tentu tetap tidak memuaskan. Bahkan bagi yang memiliki ambisi
untuk ikut membangun daerahnya atau ingin mengaktualisasikan dirinya, menjadi
ban serep akan membuatnya merasa seperti dikubur hidup-hidup.
Begitulah, menjadi ban serep
adalah risiko yang sangat pahit bagi setiap wakil kepala daerah yang berambisi
ingin mengaktualisasikan dirinya. Karena itu, sejak awal sebaiknya dibuat
kesepakatan berbagi tugas dalam memimpin daerah. Artinya, kesepakatan berbagi
tugas dalam memimpin daerah harus menjadi dasar pembentukan koalisi yang harus
dipatuhi semua pihak. Tanpa adanya kesepakatan demikian, kepala daerah memang
bisa selalu dominan sehingga terkesan menyingkirkan wakilnya.
Otoritas Tunggal
Mengingat potensi konflik politik
lokal sangat riskan jika tidak segera diakhiri, selayaknya regulasi politik
yang terkait pemerintahan daerah direvisi. Misalnya, aturan yang mengharuskan
kepemimpinan daerah dipegang oleh kepala daerah dan wakilnya layak dianulir dan
kemudian diganti peraturan baru. Sedangkan peraturan baru harus menjadi dasar
hukum terbentuknya otoritas tunggal (single
otority) di daerah.
Lebih gamblangnya, sebaiknya
daerah hanya dipimpin oleh seorang kepala daerah yang mendapat suara terbanyak
dalam pemilukada. Dengan demikian, pemilukada tidak lagi memilih pasangan calon
kepala daerah dan wakilnya melainkan hanya memilih calon kepala daerah saja.
Single otority di
daerah justru akan lebih efektif dan efisien dalam membangun dan memajukan
daerah. Dan bagi semua pesaing kepala daerah bisa berdiri di barisan oposisi
yang serius melakukan kontrol atas kinerja kepala daerah. Dengan demikian, single otority bisa berpotensi mencegah
konflik politik lokal sekaligus berpotensi membentuk pemerintahan di daerah
yang bersih dari berbagai macam korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar