|
SUARA
MERDEKA, 24 Juli 2013
KERUSUHAN di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta Medan
Sumatera Utara dapat ’’menginspirasi’’ warga binaan di LP lain. Kementerian
Hukum dan HAM perlu mewaspadainya, termasuk memprioritaskan pembenahan
manajemen LP, sementara PP Nomor 99 Tahun 2012 tak layak dipertahankan.
Bila pemerintah benar-benar mau belajar dari rusuh di LP
Kerobokan Denpasar Bali, napi Tanjung Gusta mungkin tidak akan pernah berontak
atau membuat rusuh. Sayang, pemberontakan napi Kerobokan tahun lalu itu rupanya
dimaknai Kemenkumham sebagai peristiwa biasa. Buktinya, tidak ada aksi terencana
untuk membenahi kebobrokan manajemen lembaga pemasyarakatan. Semula, publik
berasumsi bahwa sidak yang begitu sering dilakukan Wamenkumham Denny Indrayana
ke LPdi berbagai daerah merupakan langkah awal dan bagian dari program
pembenahan manajemen.
Ternyata, publik keliru. Dalam sidaknya, Denny lebih
menyoroti perlakuan manajemen lembaga pemasyarakatan terhadap napi kasus
korupsi dan kasus narkoba. Dia menutup mata atas kebobrokan yang begitu sering
dikecam publik. Padahal, kebobrokan manajemen lembaga pemasyarakatan sudah
diakui Kemenkumham sendiri. Pascarusuh di LP Kerobokan, Menkumham Amir
Syamsuddin menyatakan bahwa kondisi lembaga pemasyarakatan yang kelebihan
kapasitas terjadi di mana-mana.
Menyangkut Perlakuan Kerusuhan di LP Kelas IIA Kerobokan
terjadi pada Selasa malam, 21 Februari 2012. Bangunan kantor terbakar dan
hampir semua arsip hangus. Rusuh itu memang dipicu perkelahian antarwarga
binaan. Tetapi, muara persoalannya adalah diskriminasi perlakuan terhadap napi
yang menimbulkan ketidaknyamanan karena jumlah warga binaan yang mencapai tiga
kali lipat dari kapasitas.
Kerobokan didesain untuk menampung 361 napi. Saat kerusuhan
terjadi, dihuni 1.238 warga binaan. Akar masalah di Tanjung Gusta pun sama,
yakni ketidaknyamanan yang dirasakan warga binaan karena setiap harus hidup
berimpitan. Maka, hanya karena aliran listrik padam dan kelangkaan air bersih,
kekesalan mereka langsung berubah jadi amarah tak terkendali.
Kerobokan dan Tanjung Gusta pun dibakar. Aspirasi paling
utama warga binaan adalah perlakukan mereka dengan adil dan manusiawi, jangan
ada diskriminasi, dan berikan standar kenyamanan sebagai napi. Oleh karena
kelebihan jumlah penghuni terjadi di banyak lembaga pemasyarakatan, Kemenkumham
kini harus mewaspadai kemungkinan perlawanan serupa terjadi di tempat lain.
Misalnya di LPKelas II A Pekanbaru. Kapasitas tempat itu hanya 361 napi tetapi
sudah dihuni 1.238 warga binaan.
Sekali lagi, akar masalah atau risiko rusuh di lembaga
pemasyarakatan adalah jumlah penghuni yang jauh melampui kapasitas tampung.
Kelebihan jumlah penghuni menggoda sipir mempraktikan diskriminasi karena
fasilitas standar bagi napi otomatis berkurang. Diskriminasi menyebabkan
ketidaknyamanan, dan membuat komunitas napi terkotak-kotak.
Dari situasi yang demikian, terbangunlah risiko konflik
antarwarga binaan. Begitu terjadi pertikaian antarkelompok napi, api pertikaian
itu dengan cepat menjalar dan berubah menjadi kerusuhan. Seperti itulah
kronologi rusuh di Tanjung Gusta dan Kerobokan.
Kerusuhan di Tanjung Gusta dikait-kaitkan dengan PP Nomor
99 Tahun 2012 yang mengatur Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan. Regulasi itu tidak layak dipertahankan. Pasal 34 regulasi itu
mengatur tata cara mendapatkan remisi, Pasal 36 tentang tata cara mendapatkan
asimilasi , Pasal 39 tentang pencabutan asimilasi, dan Pasal 43 tentang
Pembebasan Bersyarat.
Semua ketentuan ini diberlakukan pada terpidana kasus
korupsi, kasus narkoba, dan kasus terorisme. Tidak layak untuk dipertahankan
karena PP 99 sangat mudah untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak berwenang
melaksanakan regulasi itu. Sudah bukan rahasia lagi bahwa remisi dalam praktik
ibarat barang dagangan. Ekstremnya, Anda ingin mendapat remisi? Berani bayar
berapa? Model pertanyaan seperti ini sudah barang tentu hanya pantas
dialamatkan kepada terpidana kasus korupsi dan narkoba. Asumsinya mereka masih
kaya raya dengan pemilikan jumlah uang yang masih sangat besar.
Terpidana dua kasus itu berani bayar berapa saja untuk
mendapatkan keringanan hukuman. Masih ingat heboh grasi untuk Meirika Franola
alias Ola, terpidana mati kasus narkoba? Demikian geramnya sehingga Ketua
Mahkamah Konstitusi (MK) waktu itu, Mahfud MD menduga kuat jaringan mafia
narkoba sudah berhasil menembus Istana Negara. Proses untuk mendapatkan grasi
itu pasti cukup panjang.
Berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan rekan-rekan Ola
agar rekomendasi grasi itu bisa sampai ke meja presiden? Artinya, selain bisa
diperdagangkan, PP 99 pun bisa dijadikan alat untuk memeras. Maka, belajar dari
kasus grasi untuk Ola, regulasi itu sebaiknya dibatalkan supaya tidak lagi
terjadi ekses di kemudian hari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar