|
KOMPAS,
29 Juli 2013
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
baru-baru ini mengajak kita semua melakukan refleksi jalannya reformasi.
Setelah 15 tahun reformasi, sebagaimana kita rasakan bersama, ada hal-hal yang
memang harus dikoreksi. Sempatkah?
Tentang sistem ketatanegaraan kita,
tentang sistem presiden- sial kita, tentang sistem distribusi kekuasaan kita,
dan juga mekanisme check and
balances. Lebih jauh juga kondisi perekonomian kita: ketergantungan pada
asing kian besar. Tentang pemanfaatan sumber daya alam dan potensi pasar dalam
negeri yang nyaris justru lebih dimanfaatkan asing.
Bagaimana bisa negara kaya sumber
daya alam, tanah subur, dan laut luas, terpaksa harus impor kebutuhan pokok,
BBM, produk barang, dan jasa lain? Marilah kita perbaiki yang belum baik dan
meneruskan yang sudah baik, kata Presiden. Sayang, ajakan itu di akhir masa
jabatannya. Mungkin tak akan cukup waktu memimpin refleksi secara mendasar.
Kita khawatir, ajakan itu isu politik jelang pemilu belaka.
Orientasi
proses
Akan sangat ideal kalau sistem
berbangsa dan bernegara itu sesuai dengan kesepakatan kita bersama. Sistem
berbangsa dan bernegara seperti itu, dengan demikian, dibangun melalui
pendekatan budaya sebab akan me- rujuk kepada kepentingan bersa- ma,
kepentingan nasional di dalam mewujudkan cita-cita buat apa negara ini
didirikan.
Meski bangsa Indonesia amat
majemuk, kita telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara. Wujudnya budaya
gotong royong atau kebersamaan. Meski UUD 1945 telah mengalami perubahan,
Pembukaan UUD 1945 tak mengalami perubahan. Artinya, filosofi, landasan
pemikiran, dan dasar negara tak mengalami perubahan sejak 1945 sampai kini.
Hal ini mengindikasikan bahwa kita
masih konsisten dengan dasar, tujuan, buat apa negara ini didirikan. Ini
penting sebagai lan- dasan mengawali refleksi reformasi. Perubahan yang terjadi
adalah implementasi UUD 1945, batang tubuh UUD 1945, yang setelah 15 tahun
reformasi kita merasakan adanya hal-hal merisaukan sehingga Presiden mengajak
kita melakukan refleksi, meneruskan yang sudah baik dan memperbaiki yang belum
baik. Tentu agar kita tak semakin menyimpang dari tujuan buat apa negara ini
didirikan.
Masalah pokok yang perlu kita
sepakati adalah menerjemahkan rumusan Pembukaan UUD 1945. Di sana tercantum
tujuan, tata cara penyelenggaraan negara, dan bentuk masyarakat Indonesia yang
kita cita-citakan secara garis besar. Intinya, bagaimana mewujudkan kedaulatan
rakyat berdasarkan Pancasila sebab istilah demokrasi sebenarnya tidak
ada di dalam UUD 1945.
Esensi demokrasi terdapat dalam
alinea keempat Pembukaan UUD 1945, Kedaulatan Rakyat berdasar Permusyawaratan/Perwakilan.
Segala kebijakan negara harus diambil berdasar permusyawaratan dari wakil-wakil
rakyat. Hal ini mestinya diawali dengan bagaimana kita menetapkan wakil-wakil
rakyat yang telah diperkenalkan sebagai pemilu.
Bagaimana wakil-wakil rakyat itu
sesuai dengan aspirasi yang diwakilinya? Tentunya kalau rakyat yang memilih
mengetahui wakilnya. Meskipun wakil rakyat itu dicalonkan sebuah partai,
pemilih harus mengetahui wakilnya. Artinya, pemilu adalah memilih wakil rakyat,
bukan memilih wakil partai. Ini hanya dapat terwujud kalau pemilihan umum
diselenggarakan melalui sistem distrik. Kalau pemilu diselenggarakan dengan
sistem distrik, penyelenggaraannya akan jauh lebih sederhana dan tentu biayanya
lebih rendah, bahkan lebih demokratis. Baik pemilu tingkat nasional maupun
pilkada.
Namun, melakukan perubahan sistem
pemilihan umum mungkin bukan satu hal yang mudah sebab dengan sistem pemilihan
umum yang berjalan selama ini, kepentingan para elite politik, para pemimpin
partai politik, lebih terjamin. Buktinya, Pemilu 1955, yang dianggap paling
demokratis, tidak mampu melahirkan pemerintahan yang stabil. Demikian juga
pemilu di era reformasi: melahirkan wakil rakyat yang dinilai sering
tidak nyambung dengan rakyat yang diwakilinya. Akibatnya, kepercayaan
kepada partai merosot.
Dengan wakil-wakil rakyat seperti
itu, berikutnya adalah pemilihan bagi pejabat eksekutif pemerintahan, dari
presiden, gubernur, bupati/wali kota. Tak perlu pemilihan langsung, cukup
melalui lembaga perwakilan, MPR, DPRD tingkat I dan II, sehingga, sekali lagi,
akan jauh lebih sederhana dan demokratis. Pejabat eksekutif itu dipilih oleh
pemilih yang setara sehingga ”bias” demokrasi akan dapat dihindari yang
disebabkan pemilihan langsung di mana kesetaraan pemilih memiliki spektrum
luas.
Dengan wakil-wakil rakyat seperti
itu, akan lebih amanah melahirkan berbagai regulasi dan mengalokasikan anggaran
negara untuk menyejahterakan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat. Hal ini akan tecermin dari kebijakan perekonomian dan kesejahteraan
sosial yang akan diberlakukan. Negara akan selalu hadir meski peran/partisipasi
masyarakat akan selalu diberdayakan. Wujudnya di bidang ekonomi adalah sistem
ekonomi pasar sosial terbuka, sedangkan di bidang kesejahteraan adalah
perwujudan negara kesejahteraan berdasar Pancasila. Peran masyarakat dan negara
akan seimbang. Dalam suasana itu, kemandirian bangsa tumbuh sendirinya hingga
mampu berdiri tegak di era globalisasi.
Harapan
Bila kita menyepakati prinsip-prinsip
sebagaimana dikemukakan di atas, berbagai pemikiran di era reformasi memang
harus kita evaluasi kembali. Refleksi jalannya reformasi memang diperlukan agar
perjalanan bangsa ini dalam mewujudkan cita-citanya semakin didekati.
Prinsipnya, yang sudah baik dipertahankan, yang belum baik diperbaiki.
Bagaimana mewujudkan sistem
ketatanegaraan, distribusi kekuasaan, check
and balances? Semuanya harus diluruskan kembali. Dalam hal ini, kita tak boleh menutup mata pemikiran para pendiri bangsa ini, sebagai-mana
termaktub di dalam UUD 1945 sebelum perubahan 2002, yang memang masih banyak
yang relevan. Istilah yang tepat mungkin adalah kaji ulang UUD 1945. Tidak
menutup perubahan pada UUD 1945, tetapi terus memperbaiki yang belum baik.
Misalnya, pembatasan masa jabatan presiden untuk maksimal dua kali adalah
contoh perubahan yang baik. Ini diperlukan
untuk pengaderan pemimpin bangsa.
Dengan demikian, pendekatan yang
diperlukan adalah pendekatan sistem agar melahirkan sistem sendiri, bukan
salinan negara lain: sistem ketatanegaraannya, sistem demokrasinya, maupun
sistem ekonomi dan kesejahteraan sosialnya. Apakah semua itu hanya mimpi? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar