Selasa, 30 Juli 2013

Ramadhan dan Kohesi Sosial

Ramadhan dan Kohesi Sosial
Achmad Fauzi ; Aktivis Multikulturalisme;
Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta
KOMPAS, 26 Juli 2013


Sepertiga pertama bulan Ramadhan1434 Hijriah telah diarungi dengan hikmat. Aroma kemuliaan, ampunan, dan barokah terus menyeruak sebagai penanda dibukanya pintu pengampunan. Inilah bulan di mana Allah banyak memberikan keistimewaan. Oleh karena itu, ini pula saatnya mengasah nilai-nilai kepedulian dan solidaritas sosial yang mulai tumpul.

Caranya bisa dengan bersedekah kepada fakir-miskin, menyumbang takjil ke masjid, dan mengeluarkan zakat. Kesatuan humanitas yang kian terkikis akibat kegaduhan politik dan beragam fenomena konflik yang memecah belah persatuan dapat ditumbuhkan kembali melalui tarawih berjemaah, tadarus, dan buka puasa bersama. Inilah yang dilakukan umat Muslim di berbagai penjuru Tanah Air.
Sayangnya, tradisi semacam itu hanya dihidupkan pada bulan puasa, tetapi kering pada bulan lainnya. Padahal orang yang mampu memaknai pesan esoteris puasa akan menjadikan semua bulan sebagai puasa. Dengan demikian, merajut kebersamaan dan mengasah kepedulian menjadi proses panjang yang tak mengenal kata akhir.
Kohesi sosial
Ramadhan adalah bulan untuk merekatkan kohesi sosial, apalagi di tengah masyarakat Indonesia yang sangat heterogen dan tingkat depresi masyarakat yang tinggi. Semua ini membutuhkan kesadaran pluralisme dan perasaan senasib antarsesama.
Bulan Ramadhan adalah bulan kebersamaan. Di dalamnya banyak mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada yang istimewa di sisi Allah, melainkan kualitas takwanya. Etnik Jawa, Tionghoa, Batak, dan Madura di hadapan Allah sederajat. Tidak ada salah satu etnik dan agama yang diunggulkan, karena semuanya punya martabat. Oleh karena itu, Ramadhan menjadi momentum penting bagi masyarakat untuk memperbarui segala kerapuhan hubungan akibat persepsi negatif terhadap etnik, budaya, agama, dan adat istiadat.
Masjid tidak kenal adanya rintangan warna kulit. Masjid adalah wadah yang baik untuk memadukan segala perbedaan, menghapus dikotomi superioritas dalam bingkai kebersamaan, dan menegasikan kasta ekonomi ataupun politik. Inilah yang dalam bulan puasa disatukan dalam tarawih sebagai dialektika ritual sekaligus sosial.
Pemaknaan sosiologis Ramadhan ini linear dengan khotbah wada’ yang disampaikan Nabi Muhammad pada puncak misi kerasulannya. Bahwa orang-orang Arab tidak lebih utama dari orang non-Arab, begitu pula sebaliknya. Semua berasal dari Adam dan sama-sama tercipta dari tanah. Konsep persaudaraan yang tulen itu secara fundamental seharusnya mampu memengaruhi dinamika relasi masyarakat kita sehingga kekerasan, amuk, dan prasangka benar-benar enyah dari sejarah perjalanan bangsa kita.
Mimbar-mimbar masjid selama sebulan penuh diharapkan mampu menyuarakan ajaran agama yang moderat, toleran, dan menjunjung tinggi kepelbagaian. Selama ini banyak jemaah tertidur pulas di depan mimbar lantaran substansi dakwahnya kurang berbobot, terlalu rigid, kurang memberikan semangat bagi spiritualitas yang lesu, bahkan masih ada khotbah yang menanamkan kebencian terhadap agama lain.
Oleh karena itu, sekali lagi, lembaga-lembaga keagamaan harus proaktif merumuskan kembali strategi dakwah bernapaskan kebangsaan dan kemanusiaan, sebagaimana Soekarno dalam setiap pidatonya, sehingga Islam menjadi jalan spiritual yang sejuk dan mengayomi seluruh umat manusia.
Arnold Toynbee dalam Civilization on Trial (1948) telah menahbiskan Islam sebagai salah satu agama yang menjunjung tinggi perbedaan (ras, etnik, agama, budaya, dan peradaban). Penghargaan itu tak bisa dipisahkan dari keberhasilan ikhtiar transformasi sosial dimensi kebudayaan dalam ritus agama sebagai obat penawar gejolak kekerasan, eksklusivisme, primordialisme, dan diskriminasi rasial yang meruntuhkan pluralisme.
Oleh karena itu, kini dan mendatang Indonesia mendambakan semangat cinta kasih antar-sesama sebagaimana tecermin dalam spirit semua agama. Kerusuhan, pembunuhan, pengeboman, amuk, dan pemberangusan tempat ibadah yang melanggar etika kemanusiaan merupakan eksternalisasi dari pikiran jahat yang tuna-cinta kasih.
Tujuan akhir dari puasa adalah menjadi pribadi bertakwa. Ciri orang bertakwa memandang keragaman sebagai realitas yang niscaya dan melihat orang lain secara setara. Kehadiran puasa menegur manusia agar tidak merasa besar kepala. Klaim kebenaran atau menganggap diri sebagai yang benar, superior, dan menjustifikasi pemahaman lain sebagai yang salah. Sama halnya dengan dua orang buta yang hendak melihat gajah. Yang satu ngotot berkesimpulan bahwa gajah seperti tongkat, karena ia memegang belalainya. Yang lain menyebut gajah seperti bola, karena meraba bagian perutnya.
Seandainya mereka bisa melihat gajah secara utuh, maka kesimpulannya akan berbeda. Begitu juga agama, tidak bisa dilihat dari kulitnya saja, sementara substansinya diabaikan. Dalam Islam ada iman, dalam iman ada takwa. Dalam Islam ada syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Itulah Islam yang totalitas.

Masuklah ke dalam Islam secara kaffah dengan memperlakukan kelompok lain sama dengan memperlakukan diri sendiri. Hanya demikian puasa menumbuhkan jaringan empati yang memperekat ikatan sosial dalam wadah kebangsaan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar