|
KOMPAS,
26 Juli 2013
Sepertiga pertama bulan
Ramadhan1434 Hijriah telah diarungi dengan hikmat. Aroma kemuliaan, ampunan,
dan barokah terus menyeruak sebagai penanda dibukanya pintu pengampunan. Inilah
bulan di mana Allah banyak memberikan keistimewaan. Oleh karena itu, ini pula
saatnya mengasah nilai-nilai kepedulian dan solidaritas sosial yang mulai
tumpul.
Caranya bisa
dengan bersedekah kepada fakir-miskin, menyumbang takjil ke masjid, dan
mengeluarkan zakat. Kesatuan humanitas yang kian terkikis akibat kegaduhan
politik dan beragam fenomena konflik yang memecah belah persatuan dapat
ditumbuhkan kembali melalui tarawih berjemaah, tadarus, dan buka puasa bersama.
Inilah yang dilakukan umat Muslim di berbagai penjuru Tanah Air.
Sayangnya,
tradisi semacam itu hanya dihidupkan pada bulan puasa, tetapi kering pada bulan
lainnya. Padahal orang yang mampu memaknai pesan esoteris puasa akan menjadikan
semua bulan sebagai puasa. Dengan demikian, merajut kebersamaan dan mengasah
kepedulian menjadi proses panjang yang tak mengenal kata akhir.
Kohesi sosial
Ramadhan adalah
bulan untuk merekatkan kohesi sosial, apalagi di tengah masyarakat Indonesia
yang sangat heterogen dan tingkat depresi masyarakat yang tinggi. Semua ini
membutuhkan kesadaran pluralisme dan perasaan senasib antarsesama.
Bulan Ramadhan
adalah bulan kebersamaan. Di dalamnya banyak mengajarkan kepada kita bahwa
tidak ada yang istimewa di sisi Allah, melainkan kualitas takwanya. Etnik Jawa,
Tionghoa, Batak, dan Madura di hadapan Allah sederajat. Tidak ada salah satu
etnik dan agama yang diunggulkan, karena semuanya punya martabat. Oleh karena
itu, Ramadhan menjadi momentum penting bagi masyarakat untuk memperbarui segala
kerapuhan hubungan akibat persepsi negatif terhadap etnik, budaya, agama, dan
adat istiadat.
Masjid tidak
kenal adanya rintangan warna kulit. Masjid adalah wadah yang baik untuk
memadukan segala perbedaan, menghapus dikotomi superioritas dalam bingkai
kebersamaan, dan menegasikan kasta ekonomi ataupun politik. Inilah yang dalam
bulan puasa disatukan dalam tarawih sebagai dialektika ritual sekaligus sosial.
Pemaknaan
sosiologis Ramadhan ini linear dengan khotbah wada’ yang disampaikan Nabi
Muhammad pada puncak misi kerasulannya. Bahwa orang-orang Arab tidak lebih
utama dari orang non-Arab, begitu pula sebaliknya. Semua berasal dari Adam dan
sama-sama tercipta dari tanah. Konsep persaudaraan yang tulen itu secara
fundamental seharusnya mampu memengaruhi dinamika relasi masyarakat kita
sehingga kekerasan, amuk, dan prasangka benar-benar enyah dari sejarah
perjalanan bangsa kita.
Mimbar-mimbar
masjid selama sebulan penuh diharapkan mampu menyuarakan ajaran agama yang
moderat, toleran, dan menjunjung tinggi kepelbagaian. Selama ini banyak jemaah
tertidur pulas di depan mimbar lantaran substansi dakwahnya kurang berbobot,
terlalu rigid, kurang memberikan semangat bagi spiritualitas yang lesu, bahkan
masih ada khotbah yang menanamkan kebencian terhadap agama lain.
Oleh karena
itu, sekali lagi, lembaga-lembaga keagamaan harus proaktif merumuskan kembali
strategi dakwah bernapaskan kebangsaan dan kemanusiaan, sebagaimana Soekarno
dalam setiap pidatonya, sehingga Islam menjadi jalan spiritual yang sejuk dan
mengayomi seluruh umat manusia.
Arnold Toynbee
dalam Civilization on Trial (1948)
telah menahbiskan Islam sebagai salah satu agama yang menjunjung tinggi perbedaan
(ras, etnik, agama, budaya, dan peradaban). Penghargaan itu tak bisa dipisahkan
dari keberhasilan ikhtiar transformasi sosial dimensi kebudayaan dalam ritus
agama sebagai obat penawar gejolak kekerasan, eksklusivisme, primordialisme,
dan diskriminasi rasial yang meruntuhkan pluralisme.
Oleh karena
itu, kini dan mendatang Indonesia mendambakan semangat cinta kasih antar-sesama
sebagaimana tecermin dalam spirit semua agama. Kerusuhan, pembunuhan,
pengeboman, amuk, dan pemberangusan tempat ibadah yang melanggar etika
kemanusiaan merupakan eksternalisasi dari pikiran jahat yang tuna-cinta kasih.
Tujuan akhir
dari puasa adalah menjadi pribadi bertakwa. Ciri orang bertakwa memandang
keragaman sebagai realitas yang niscaya dan melihat orang lain secara setara.
Kehadiran puasa menegur manusia agar tidak merasa besar kepala. Klaim kebenaran
atau menganggap diri sebagai yang benar, superior, dan menjustifikasi pemahaman
lain sebagai yang salah. Sama halnya dengan dua orang buta yang hendak melihat
gajah. Yang satu ngotot berkesimpulan bahwa gajah seperti tongkat,
karena ia memegang belalainya. Yang lain menyebut gajah seperti bola, karena
meraba bagian perutnya.
Seandainya
mereka bisa melihat gajah secara utuh, maka kesimpulannya akan berbeda. Begitu
juga agama, tidak bisa dilihat dari kulitnya saja, sementara substansinya
diabaikan. Dalam Islam ada iman, dalam iman ada takwa. Dalam Islam ada syariat,
tarekat, hakikat, dan makrifat. Itulah Islam yang totalitas.
Masuklah ke
dalam Islam secara kaffah dengan memperlakukan kelompok lain sama
dengan memperlakukan diri sendiri. Hanya demikian puasa menumbuhkan jaringan
empati yang memperekat ikatan sosial dalam wadah kebangsaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar