|
SINAR
HARAPAN, 25 Juli 2013
Sudah menjadi keluhan publik yang
tidak terbantah bahwa kehidupan politik Indonesia mutakhir sungguh jauh dari
pencerdasan dan pencerahan bagi kehidupan bangsa.
Itu karena moral elite politik
yang hampa terbungkus materialisme, konsumerisme, hedonisme dan melupakan
nilai-nilai luhur. Ini lantaran korupsi telah menjadi habitus di dalam struktur
relasi kepartaian dan institusi negara.
Untuk menutupi wajah buruk politik
yang ada, terutama di seputar kehidupan partai politik, para elite politik
tidak henti-hentinya memanipulasinya melalui “gaya antikorupsi”, dan terus
menyuburkan politik pencitraan bahwa mereka bebas dari korupsi dan partai
politik mereka adalah partai reformis dan bersih dari suap, korupsi dan
berbagai skandal yang memalukan.
Padahal, merekalah yang
menciptakan “budaya politik” yang diselimuti bau amis suap, korupsi, dan aneka
macam perselingkuhan dan/atau skandal yang memuakkan tersebut.
“Budaya politik” yang penuh suap
dan korupsi, meminjam Bourdieu dalam The
Logic of Practice- (Yasraf Amir Piliang, 2012), suap dan korupsi telah
menjadi bagian habitus, yaitu seperangkat “kecenderungan” (disposition) individu dan kelompok partai yang bertahan lama (durable) dan dapat diwariskan lintas
generasi.
Itu persis yang ada di negeri ini,
di mana suap dan korupsi telah mengalami regenerasi secara sempurna, baik dalam
kehidupan partai politik maupun dalam kehidupan birokrasi negara.
Karena itu yang terlihat adalah
redupnya cahaya moral yang mengalami degradasi atau kematian etika di tengah
kenestapaan rakyat. Keadaan ini akan sulit berubah tatkala konstruksi
kenegaraan, kemasyarakatan, budaya dan politik kalangan elite politik terus
terseret dalam kultur disnormativitas dan berbagai bentuk pembusukan moral dan
nilai-nilai etika politik. Jika tidak hati-hati, bangsa ini kian terseret
menuju tepian kehancuran yang tidak lagi bisa diarahkan menuju ke titian
pencerahan.
Hampa
Wajah politik dus perilaku elite
politik seperti itu, kian mengarahkan masyarakat bangsa ini terhegemonisasi
komplikasi politik minus etika yang merupakan representasi dari wajah manusia
bangsa ini yang lebih tergiur dan tergoda dalam menasbihkan kepentingan
eksklusif, materialistik, dan hedonistiknya, daripada menasbihkan kepentingan
bangsa dan negara serta kemanusiaan seutuhnya.
Keadaan politik bangsa dan negara
dengan perilaku elite politik yang mengabaikan etika politik seperti itu, dalam
sejarah politik bangsa-bangsa di dunia tentu bukan hanya terjadi sekarang,
tetapi juga sudah ratusan tahun, bahkan ribuan tahun lalu.
Itulah kemudian filsuf Friederich
Nietszche (1844-1900), pernah mendeklarasikan bahwa Tuhan sudah mati (God is dead). Suatu
pemakluman-demonstratif yang sesungguhnya bukan menunjukkan bahwa sang filsuf
telah murtad dan telah menjadi ateis, tetapi lebih pada suatu tindakan “gerilya
moral-spiritual” terhadap kondisi moral bangsa Jerman ketika itu yang sudah
rusak.
Perilaku elite politik yang
mengabaikan etika politik seperti itu tidak lain, merupakan cermin kehampaan
moral yang mencederai kehakikian politik atau hakikat politik. Dalam hal mana,
kehakikian politik adalah perilaku politik yang berjuang secara sungguh-sungguh
dan berupaya serius untuk menyejahterakan rakyat, bukan mengejar harta,
kekuasaan dan kemuliaan diri. Nasib rakyat yang menderita adalah taruhan dalam
nadi perjuangan politiknya.
Apabila politik yang hanya
mengejar harta, kekuasaan dan kemuliaan diri terus dibiarkan, demokrasi bisa
berubah menjadi amokrasi, baik secara halus maupun secara kasar, dan
orang-orang cerdas dan santun serta berdedikasi dalam politik kian tergerus
dalam pertarungan politik.
Dengan demikian, jangan pernah bermimpi
tentang etika politik, moralitas demokrasi, dan kekuasaan yang bermartabat
tumbuh subur di negeri ini. Kita pun tidak ingin melihat derap langkah politik
yang belakangan ini kerap dinodai berbagai perilaku politik yang tidak santun
dan kurang bermartabat jauh dari etika, alias hanya mengedepankan ego politik
terus berkembang. Kita tidak ingin jika politik berwajah kotor dan dekil tetap
lestari di Republik ini.
Jika kondisi seperti itu yang
terjadi, politik jahat ala Machiavelli yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai
banalitas politik (the banality of
political evil) akan berjalan kian masif dan dipraktikkan secara sistematis
di Republik ini; dan sulit ditemukan siapa yang bertanggung jawab atas semua
kejahatan politik tersebut. Itulah yang oleh George Simmel dikatakan, ketika
kejahatan dilakukan secara masif dan berkelompok, sulit menentukan siapa yang
bertanggung jawab karena semua pihak akan berkubang di balik kerahasiaan
kelompok.
Kalau sudah demikian, kita akan
sulit menemukan lorong masa depan bangsa dengan kesejahteraan yang konkret.
Keadilan yang diinginkan akhirnya hanya mendekam dalam “jubah” politikus dan
terbungkus dalam “jas” penguasa yang jauh dari perilaku politik dus kekuasaan
yang minus etika dan praktik kekuasaan yang tanpa moral.
Kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat yang diinginkan di dalam hidup bernegara ini akan sulit terejawantah
dalam kehidupan sehari-hari alias hanya menjadi utopia. Dalam situasi ini,
rakyat kecil dan miskin kian terpinggirkan dalam tata kelola negara.
Sebaliknya, orang kaya, para penguasa dan kaum elite politik semakin serakah
dalam merebut peluang ekonomi, politik dan sosial. Kita semua hanya menunggu
saat-saat kematian bersama, tiba menyergap kita.
Syarat Politik
Oleh karena itu, syarat utama
dalam menggerakkan perubahan politik dus menggiring roda kemajuan bangsa adalah
mengembalikan politik ke ranah etika, atau merajut kembali etika politik,
terutama di tahun 2013 ini.
Sebuah syarat politik yang harus
dipenuhi untuk menyongsong tahun politik-pemilu 2014. Etika politik adalah
mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas segala-galanya. Selanjutnya, martabat
serta kehormatan bangsa berada di puncak cita-cita perjuangan politik, dengan
meletakkan keadilan, kebenaran dan kesejatian politik atau kehakikian politik
dalam spirit perjuangannya.
Jika demikian, kita boleh berharap
bangsa ini akan menemukan lorong kepencerahannya. Keadilan akan tercipta,
kesejahteraan dapat terjelma dan kemakmuran akan terejawantah dalam kehidupan
rakyat.
Seluruh warga bangsa diyakini akan
menemukan keceriaan dan kebahagiaan hidupnya. Politik pun akan menemukan
keindahan dan kehormatannya. Sebagaimana kata Aristoteles, politik itu
sesungguhnya dan semestinya indah dan terhormat, yakni sebagai wahana membangun
masyarakat utama. Masyarakat utama adalah masyarakat yang kesejahteraan rakyat
dapat tercipta oleh kehidupan politik yang beretika.
Itu semua dapat terpenuhi jika
para politikus, penguasa dan para elite politik negeri ini memiliki idealisme
dalam membangun negeri ini dengan rela berkorban untuk kepentingan masyarakat,
bangsa dan negara ini.
Tanpa sikap ini, sulit untuk
berharap akan terciptanya kesejahteraan dan keadilan dan kebenaran di negeri
ini, dus keadaban publik dan keagungan bangsa pun semakin menjadi utopia
belaka. Tentu sungguh mengerikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar