Jumat, 26 Juli 2013

Merajut Etika Politik

Merajut Etika Politik
Thomas Koten ;   Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 25 Juli 2013


Sudah menjadi keluhan publik yang tidak terbantah bahwa kehidupan politik Indonesia mutakhir sungguh jauh dari pencerdasan dan pencerahan bagi kehidupan bangsa.

Itu karena moral elite politik yang hampa terbungkus materialisme, konsumerisme, hedonisme dan melupakan nilai-nilai luhur. Ini lantaran korupsi telah menjadi habitus di dalam struktur relasi kepartaian dan institusi negara.

Untuk menutupi wajah buruk politik yang ada, terutama di seputar kehidupan partai politik, para elite politik tidak henti-hentinya memanipulasinya melalui “gaya antikorupsi”, dan terus menyuburkan politik pencitraan bahwa mereka bebas dari korupsi dan partai politik mereka adalah partai reformis dan bersih dari suap, korupsi dan berbagai skandal yang memalukan.

Padahal, merekalah yang menciptakan “budaya politik” yang diselimuti bau amis suap, korupsi, dan aneka macam perselingkuhan dan/atau skandal yang memuakkan tersebut.

“Budaya politik” yang penuh suap dan korupsi, meminjam Bourdieu dalam The Logic of Practice- (Yasraf Amir Piliang, 2012), suap dan korupsi telah menjadi bagian habitus, yaitu seperangkat “kecenderungan” (disposition) individu dan kelompok partai yang bertahan lama (durable) dan dapat diwariskan lintas generasi.

Itu persis yang ada di negeri ini, di mana suap dan korupsi telah mengalami regenerasi secara sempurna, baik dalam kehidupan partai politik maupun dalam kehidupan birokrasi negara.

Karena itu yang terlihat adalah redupnya cahaya moral yang mengalami degradasi atau kematian etika di tengah kenestapaan rakyat. Keadaan ini akan sulit berubah tatkala konstruksi kenegaraan, kemasyarakatan, budaya dan politik kalangan elite politik terus terseret dalam kultur disnormativitas dan berbagai bentuk pembusukan moral dan nilai-nilai etika politik. Jika tidak hati-hati, bangsa ini kian terseret menuju tepian kehancuran yang tidak lagi bisa diarahkan menuju ke titian pencerahan.

Hampa

Wajah politik dus perilaku elite politik seperti itu, kian mengarahkan masyarakat bangsa ini terhegemonisasi komplikasi politik minus etika yang merupakan representasi dari wajah manusia bangsa ini yang lebih tergiur dan tergoda dalam menasbihkan kepentingan eksklusif, materialistik, dan hedonistiknya, daripada menasbihkan kepentingan bangsa dan negara serta kemanusiaan seutuhnya.

Keadaan politik bangsa dan negara dengan perilaku elite politik yang mengabaikan etika politik seperti itu, dalam sejarah politik bangsa-bangsa di dunia tentu bukan hanya terjadi sekarang, tetapi juga sudah ratusan tahun, bahkan ribuan tahun lalu.

Itulah kemudian filsuf Friederich Nietszche (1844-1900), pernah mendeklarasikan bahwa Tuhan sudah mati (God is dead). Suatu pemakluman-demonstratif yang sesungguhnya bukan menunjukkan bahwa sang filsuf telah murtad dan telah menjadi ateis, tetapi lebih pada suatu tindakan “gerilya moral-spiritual” terhadap kondisi moral bangsa Jerman ketika itu yang sudah rusak.

Perilaku elite politik yang mengabaikan etika politik seperti itu tidak lain, merupakan cermin kehampaan moral yang mencederai kehakikian politik atau hakikat politik. Dalam hal mana, kehakikian politik adalah perilaku politik yang berjuang secara sungguh-sungguh dan berupaya serius untuk menyejahterakan rakyat, bukan mengejar harta, kekuasaan dan kemuliaan diri. Nasib rakyat yang menderita adalah taruhan dalam nadi perjuangan politiknya.

Apabila politik yang hanya mengejar harta, kekuasaan dan kemuliaan diri terus dibiarkan, demokrasi bisa berubah menjadi amokrasi, baik secara halus maupun secara kasar, dan orang-orang cerdas dan santun serta berdedikasi dalam politik kian tergerus dalam pertarungan politik.

Dengan demikian, jangan pernah bermimpi tentang etika politik, moralitas demokrasi, dan kekuasaan yang bermartabat tumbuh subur di negeri ini. Kita pun tidak ingin melihat derap langkah politik yang belakangan ini kerap dinodai berbagai perilaku politik yang tidak santun dan kurang bermartabat jauh dari etika, alias hanya mengedepankan ego politik terus berkembang. Kita tidak ingin jika politik berwajah kotor dan dekil tetap lestari di Republik ini.

Jika kondisi seperti itu yang terjadi, politik jahat ala Machiavelli yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai banalitas politik (the banality of political evil) akan berjalan kian masif dan dipraktikkan secara sistematis di Republik ini; dan sulit ditemukan siapa yang bertanggung jawab atas semua kejahatan politik tersebut. Itulah yang oleh George Simmel dikatakan, ketika kejahatan dilakukan secara masif dan berkelompok, sulit menentukan siapa yang bertanggung jawab karena semua pihak akan berkubang di balik kerahasiaan kelompok.

Kalau sudah demikian, kita akan sulit menemukan lorong masa depan bangsa dengan kesejahteraan yang konkret. Keadilan yang diinginkan akhirnya hanya mendekam dalam “jubah” politikus dan terbungkus dalam “jas” penguasa yang jauh dari perilaku politik dus kekuasaan yang minus etika dan praktik kekuasaan yang tanpa moral.

Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang diinginkan di dalam hidup bernegara ini akan sulit terejawantah dalam kehidupan sehari-hari alias hanya menjadi utopia. Dalam situasi ini, rakyat kecil dan miskin kian terpinggirkan dalam tata kelola negara. Sebaliknya, orang kaya, para penguasa dan kaum elite politik semakin serakah dalam merebut peluang ekonomi, politik dan sosial. Kita semua hanya menunggu saat-saat kematian bersama, tiba menyergap kita.

Syarat Politik

Oleh karena itu, syarat utama dalam menggerakkan perubahan politik dus menggiring roda kemajuan bangsa adalah mengembalikan politik ke ranah etika, atau merajut kembali etika politik, terutama di tahun 2013 ini.
Sebuah syarat politik yang harus dipenuhi untuk menyongsong tahun politik-pemilu 2014. Etika politik adalah mengutamakan kesejahteraan rakyat di atas segala-galanya. Selanjutnya, martabat serta kehormatan bangsa berada di puncak cita-cita perjuangan politik, dengan meletakkan keadilan, kebenaran dan kesejatian politik atau kehakikian politik dalam spirit perjuangannya.

Jika demikian, kita boleh berharap bangsa ini akan menemukan lorong kepencerahannya. Keadilan akan tercipta, kesejahteraan dapat terjelma dan kemakmuran akan terejawantah dalam kehidupan rakyat.
Seluruh warga bangsa diyakini akan menemukan keceriaan dan kebahagiaan hidupnya. Politik pun akan menemukan keindahan dan kehormatannya. Sebagaimana kata Aristoteles, politik itu sesungguhnya dan semestinya indah dan terhormat, yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama. Masyarakat utama adalah masyarakat yang kesejahteraan rakyat dapat tercipta oleh kehidupan politik yang beretika.

Itu semua dapat terpenuhi jika para politikus, penguasa dan para elite politik negeri ini memiliki idealisme dalam membangun negeri ini dengan rela berkorban untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara ini.

Tanpa sikap ini, sulit untuk berharap akan terciptanya kesejahteraan dan keadilan dan kebenaran di negeri ini, dus keadaban publik dan keagungan bangsa pun semakin menjadi utopia belaka. Tentu sungguh mengerikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar