|
SUARA
MERDEKA, 30 Juli 2013
YAKINKAH
Anda bahwa korupsi bisa melahirkan korupsi baru, ‘’korupsi bin korupsi’’? Bila
tidak, cermatilah kasus penangkapan Mario C Bernardo, pengacara dari kantor
Hotma Sitompoel, usai bertransaksi suap dengan Djodi Supratman, pegawai
Mahkamah Agung (MA). Yakinkah Anda korupsi bisa beranak-pinak? Bila tidak,
cermatilah kasus suap pengacara Harini Wijoso, jaksa Urip Tri Gunawan, dan
pegawai pajak Gayus Tambunan.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Kamis (25/7), menangkap Djodi di kawasan
Monas Jakarta Pusat, dengan barang bukti uang Rp 78 juta, dan Rp 50 juta lagi
di rumah Djodi. Mario diduga terlibat korupsi dalam kaitan memberi janji kepada
PNS dalam pengurusan kasasi kasus penipuan dengan terdakwa Hutomo Wijaya Ongo
Warsito di MA. Ada dugaan suap itu juga terkait perkara korupsi simulator SIM
dengan terdakwa Djoko Susilo. Bila dugaan itu benar, terbukti bahwa korupsi
melahirkan korupsi baru. Bisa jadi, kelak pengacara yang membela Mario dan
Djodi hendak menyuap.
‘’Korupsi
bin korupsi’’ juga terjadi dalam kasus suap pegawai pajak Gayus Tambunan.
Gara-gara memberikan keleluasaan Gayus keluar-masuk bui, Kepala Rutan Brimob
Kelapa Dua, Depok Jawa Barat Kompol Iwan Siswanto dipecat dan dihukum penjara
tahun 2010. Iwan menerima Rp 368 juta. Gayus juga memangsa korban lain, yakni
jaksa Cirus Sinaga dan pengacara Haposan Hutagalung.
Tidak
itu saja, tertangkapnya pengacara Probosutedjo, Harini Wijoso, 30 September
2005, yang memberikan suap kepada lima pegawai MA, yakni Pono Waluyo, Sudi
Achmad, Suhartoyo, Sriyadi, dan Malem Pagi Sinuhaji juga membuktikan korupsi
melahirkan korupsi baru. Pun tertangkapnya Urip saat bertransaksi suap 660 ribu
dolar AS dengan Artalyta Suryani, orang dekat taipan Sjamsul Nursalim, pada 2
Maret 2008, terkait korupsi BLBI yang ditangani Kejaksaan Agung. Sistoyo dari
Kejaksaan Negeri Cibinong juga terlibat suap terkait perkara yang ditangani.
Mereka
yang tertangkap berasal dari institusi atau unsur penegak hukum. Dari
pengacara, selain Mario, Harini, dan Haposan, juga ada Tengku Syaifuddin Popon,
pengacara Abdullah Puteh, yang memberikan suap Rp 250 juta kepada dua Panitera
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yakni Syamsu Ramadhan Rizal dan M Soleh; dan
Adner Sirait, pengacara DL Sitorus, yang berupaya menyuap Ibrahim, hakim PT TUN
Jakarta. Penangkapan Popon dan Adner dilakukan KPK pada 2005. Dari kepolisian
ada Iwan, dari kejaksaan ada Urip, Cirus, dan Sistoyo, dari MA ada Pono Waluyo,
Sudi Achmad, Suhartoyo, Sriyadi dan Malem Pagi Sinuhaji, serta panitera Syamsu
Ramadhan Rizal dan M Soleh.
Masih
di bawah naungan MA, ada hakim Tipikor Bandung Setyabudi Tedjocahyono, dalam kasus
suap perkara bansos yang melibatkan Wali Kota Bandung Dada Rosada; empat hakim
Tipikor lain, yakni Kartini Marpaung, Pragsono, Asmadinata (Semarang) dan Heru
Kisbandono (Pontianak); hakim Ibrahim dari PT TUN Jakarta; hakim
Syarifudin Umar dari PN Jakarta Pusat yang menerima suap Rp250 juta dari
kurator Puguh Wirawan; dan Imas Dianasari, hakim ad hoc Pengadilan Hukum
Industrial Bandung.
Putus Mata Rantai
Pendek
kata, semua unsur penegak hukum terlibat ‘’korupsi bin korupsi’’, dari
pengacara, polisi, jaksa, hakim, hingga panitera bahkan kurator. Namun, semua
institusi bersangkutan selalu berupaya memutus mata rantai, melokalisasi dengan
pola sama, yakni menyebut yang ditangkap itu sebagai oknum, tak terkait
institusi.
Hotma
Sitompoel misalnya, menyebut kasus Mario tak terkait kantor pengacara yang
dipimpinnya, karena Mario selaku rekan sudah biasa menangani perkara sendiri.
Hotma juga menyebut keponakannya itu sedang tidak menangani perkara di MA.
Adapun Djodi, apa yang dilakukannya disebut tak terkait MA.
Begitu
pun dalam kasus Pono dkk, di mana uang Rp 5 miliar diduga hendak diberikan
kepada Bagir Manan, saat itu Ketua MA, juga tidak berlanjut ke petinggi MA.
Padahal Djodi dan Pono diyakini sekadar operator lapangan. Kasus Urip pun tak
sampai menyeret atasannya, padahal Urip juga diduga sekadar operator.
Undang-Undang
(UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 3 Huruf (i) menyebutkan,
‘’Untuk dapat diangkat menjadi advokat harus memenuhi persyaratan berperilaku
baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas tinggi’’. Apakah
Mario, Harini, Haposan, Popon dan Adner sebagai advokat memenuhi ketentuan
pasal ini? Tidak!
Di
sisi lain, bukankah tugas pengacara dalam membela klien adalah mendudukkan
perkara pada proporsi semestinya, agar klien tak dizalimi atau dilanggar
hak-haknya, bukan ìmenyulapî klien yang salah menjadi benar, atau sebaliknya?
Idealnya demikian. Tapi realitasnya, banyak pengacara membela klien secara
membabi-buta. Segala cara pun dihalalkan, termasuk lewat lobi, suap, dan rekayasa.
Fenomena
di Indonesia, sehebat apa pun pengacara, bila tak bisa melobi, jangan berharap
bisa memenangkan perkara. Lambat-laun pengacara hebat itu kehilangan klien dan
jatuh miskin. Sebaliknya, meski keahlian pengacara pas-pasan, kalau ia bisa lobi,
akan dapat membebaskan klien, dan success
fee pun bertambah besar. Inilah yang antara lain memicu ìkorupsi bin
korupsiî itu. Kasus Mario-Djodi hanyalah fenomena puncak gunung es. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar