Selasa, 30 Juli 2013

Asa pada Politik Masa Depan

Asa pada Politik Masa Depan
Gunawan Witjaksana ; Dosen dan Ketua Terpilih Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang
SUARA MERDEKA, 26 Juli 2013


TERUS bergulirnya dugaan kasus korupsi oleh para elite kita yang terekspose berbagai media, makin membuktikan bahwa selama ini sebagian dari mereka hanya pandai berdalih dalam membela kepentingan rakyat.

Di antara mereka yang saat ini sudah ditetapkan menjadi tersangka, bahkan terdakwa pun masih sering menyampaikan berbagai dalih. Semisal mengatakan KPK atau aparat penegak hukum lain menerapkan tebang pilih. Ada pula yang mengatakan peraturannya tidak jelas sehingga mereka tidak tahu bila melanggar.

Bahkan ada yang reaktif dengan mengatakan ada grand designuntuk menjatuhkan nama kelompok atau partai politiknya, terutama terkait Pemilu 2014. Di sisi lain, partai politik (parpol) yang sadar akan citranya makin terpuruk berlomba-lomba mencoba mengembalikan citra di mata masyarakat.
Berbagai cara mereka lakukan, dari melakukan berbagai kegiatan sosial, ekonomi, bahkan politik, baik melalui pendeklarasian capres dan cawapres, hingga merencanakan menggelar konvensi dalam penentuan capres dan cawapres. Termasuk menyelenggarakan kegiatan lain yang mereka anggap memiliki nilai berita (news value) tinggi sehingga diharapkan diliput oleh berbagai media.

Rupanya mereka menyadari bahwa media massa mempunyai kekuatan, dari melipatgandakan pengetahuan hingga komunikasi pararasional (McQuail; 2004), sehingga rata-rata saat ini para elite berserta parpol mereka berlomba-lomba memanfaatkan secara maksimal keberadaan media massa. Sayang, para elite parpol mengabaikan keterciptaan keharmonisan dalam organisasi, yang menurut pakar public relations (PR) Ivy Lee justru menjadi prasyarat utama bagi keterciptaan citra positif organisasi.

Akibatnya, ketika konflik itu terekspose melalui media massa justru sangat merugikan. Celakanya, sebagian elite sepintas berkesan mengabaikan, bahkan tampaknya memilih menggunakan prinsip biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Meski mungkin sepintas tidak masalah, sebenarnya bila hal itu dibiarkan tetap saja akan mengakibatkan kemunculan dampak negatif. Akan lebih baik seandainya tiap organisasi, berdasarkan AD dan ART mereka menyelesaikannya dengan cara sebaikbaiknya. Bila cara itu ditempuh maka ketika konflik tersebut terpublikasikan oleh media massa tidak akan menimbulkan resistensi yang justru sangat merugikan.

Pertanyaannya, segera disadari oleh para elite parpolkah hal itu, dan bagaimana sebaiknya ke depan? Mengelola Krisis Seluruh elite parpol mestinya tahu bahwa berdasarkan ilmu public relations, tiap organisasi tentu memiliki berbagai faktor pemicu kemunculan krisis. Terlebih dalam persaingan yang makin ketat (termasuk antarparpol), kemungkinan kemunculan persaingan kurang sehat bisa saja terjadi. Meskipun demikian, bukan berarti tiap krisis yang dialami oleh parpol, semisal kasus dugaan korupsi menyangkut elitenya adalah skenario pihak lain.

Terlebih menuduh semua itu direkayasa oleh lembaga antikorupsi seperti KPK, yang saat ini memperoleh dukungan rakyat. Selain kontraproduktif, tuduhan yang terpublikasi semacam itu justru akan membuat kredibilitas parpol tempat para elite tersebut kian terpuruk. Terkait hal tersebut, hasil survei akhir-akhir ini merupakan indikasi nyata dari dampak negatif tersebut. Yang lebih bijak dilakukan seharusnya bagaimana mengubah krisis yang sedang menimpa itu menjadi peluang yang menguntungkan. Dari sisi manajemen public relations, caranya adalah dengan melakukan tindakan riil.

Dalam kasus dugaan korupsi yang menimpa parpol misalnya, cara itu bisa ditempuh dengan membersihkan elitenya yang terbukti korupsi, didahului oleh kekooperatifan saat elite itu diperiksa oleh aparat penegak hukum. Selain itu, tindakan nyata yang membuktikan bahwa para elite parpol tersebut berkarya nyata membantu kesulitan masyarakat, yang pasti akan memperoleh penilaian positif, dan kredibilitasnya perlahanlahan akan kembali meningkat.


Berbagai survei terakhir yang menempatkan partai oposisi ke posisi paling atas merupakan indikatornya. Akhirnya, sikap serta perilaku para top elite untuk berani melakukan hal yang bermanfaat bagi rakyat merupakan keniscayaan, karena berdasarkan Teori Penyalahan Individu (Individual Blame Theory) sebagai salah satu Teori Pembangunan yang kita anut, itulah salah satu kata kuncinya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar