|
SUARA
MERDEKA, 26 Juli 2013
TERUS bergulirnya dugaan kasus korupsi oleh para elite kita
yang terekspose berbagai media, makin membuktikan bahwa selama ini sebagian
dari mereka hanya pandai berdalih dalam membela kepentingan rakyat.
Di antara mereka yang saat ini sudah ditetapkan menjadi
tersangka, bahkan terdakwa pun masih sering menyampaikan berbagai dalih.
Semisal mengatakan KPK atau aparat penegak hukum lain menerapkan tebang pilih.
Ada pula yang mengatakan peraturannya tidak jelas sehingga mereka tidak tahu
bila melanggar.
Bahkan ada yang reaktif dengan mengatakan ada grand
designuntuk menjatuhkan nama kelompok atau partai politiknya, terutama terkait
Pemilu 2014. Di sisi lain, partai politik (parpol) yang sadar akan citranya
makin terpuruk berlomba-lomba mencoba mengembalikan citra di mata masyarakat.
Berbagai cara mereka lakukan, dari melakukan berbagai
kegiatan sosial, ekonomi, bahkan politik, baik melalui pendeklarasian capres
dan cawapres, hingga merencanakan menggelar konvensi dalam penentuan capres dan
cawapres. Termasuk menyelenggarakan kegiatan lain yang mereka anggap memiliki
nilai berita (news value) tinggi
sehingga diharapkan diliput oleh berbagai media.
Rupanya mereka menyadari bahwa media massa mempunyai
kekuatan, dari melipatgandakan pengetahuan hingga komunikasi pararasional
(McQuail; 2004), sehingga rata-rata saat ini para elite berserta parpol mereka
berlomba-lomba memanfaatkan secara maksimal keberadaan media massa. Sayang,
para elite parpol mengabaikan keterciptaan keharmonisan dalam organisasi, yang
menurut pakar public relations (PR)
Ivy Lee justru menjadi prasyarat utama bagi keterciptaan citra positif
organisasi.
Akibatnya, ketika konflik itu terekspose melalui media
massa justru sangat merugikan. Celakanya, sebagian elite sepintas berkesan
mengabaikan, bahkan tampaknya memilih menggunakan prinsip biarkan anjing
menggonggong kafilah tetap berlalu. Meski mungkin sepintas tidak masalah,
sebenarnya bila hal itu dibiarkan tetap saja akan mengakibatkan kemunculan
dampak negatif. Akan lebih baik seandainya tiap organisasi, berdasarkan AD dan
ART mereka menyelesaikannya dengan cara sebaikbaiknya. Bila cara itu ditempuh
maka ketika konflik tersebut terpublikasikan oleh media massa tidak akan
menimbulkan resistensi yang justru sangat merugikan.
Pertanyaannya, segera disadari oleh para elite parpolkah hal
itu, dan bagaimana sebaiknya ke depan? Mengelola Krisis Seluruh elite parpol
mestinya tahu bahwa berdasarkan ilmu public relations, tiap organisasi tentu
memiliki berbagai faktor pemicu kemunculan krisis. Terlebih dalam persaingan
yang makin ketat (termasuk antarparpol), kemungkinan kemunculan persaingan
kurang sehat bisa saja terjadi. Meskipun demikian, bukan berarti tiap krisis
yang dialami oleh parpol, semisal kasus dugaan korupsi menyangkut elitenya
adalah skenario pihak lain.
Terlebih menuduh semua itu direkayasa oleh lembaga
antikorupsi seperti KPK, yang saat ini memperoleh dukungan rakyat. Selain
kontraproduktif, tuduhan yang terpublikasi semacam itu justru akan membuat
kredibilitas parpol tempat para elite tersebut kian terpuruk. Terkait hal tersebut,
hasil survei akhir-akhir ini merupakan indikasi nyata dari dampak negatif
tersebut. Yang lebih bijak dilakukan seharusnya bagaimana mengubah krisis yang
sedang menimpa itu menjadi peluang yang menguntungkan. Dari sisi manajemen
public relations, caranya adalah dengan melakukan tindakan riil.
Dalam kasus dugaan korupsi yang menimpa parpol misalnya,
cara itu bisa ditempuh dengan membersihkan elitenya yang terbukti korupsi,
didahului oleh kekooperatifan saat elite itu diperiksa oleh aparat penegak
hukum. Selain itu, tindakan nyata yang membuktikan bahwa para elite parpol
tersebut berkarya nyata membantu kesulitan masyarakat, yang pasti akan
memperoleh penilaian positif, dan kredibilitasnya perlahanlahan akan kembali
meningkat.
Berbagai survei terakhir yang menempatkan partai oposisi ke
posisi paling atas merupakan indikatornya. Akhirnya, sikap serta perilaku para
top elite untuk berani melakukan hal yang bermanfaat bagi rakyat merupakan
keniscayaan, karena berdasarkan Teori Penyalahan Individu (Individual Blame Theory) sebagai salah satu Teori Pembangunan yang
kita anut, itulah salah satu kata kuncinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar