|
SUARA
KARYA, 26 Juli 2013
Puasa sejatinya bukan sekedar
menahan lapar, haus, seks, dan sejenis hal yang membatalkannya. Lebih dalam
dari itu, puasa menyajikan jalan spiritual yang sangat dalam. Perjalanan puasa
adalah laku spiritual yang sangat rahasia. Hanya diri dan Tuhan yang mengetahui
ibadah puasa. Dan, tak akan ada manusia yang mampu melepas diri dari pengawasan
Tuhan. Tuhan tetap Maha Tahu segala gerak-gerik manusia, meski manusia kadang
banyak berpura-pura di depan publik.
Ibn al-Qayyim al-Jauzi
mengisyaratkan nilai penting tentang kerahasian ibadah puasa, menurutnya puasa
merupakan ibadah yang sifatnya sangat pribadi, bahkan menjadi rahasia antara
seorang hamba dengan Tuhannya. Kerahasiaan itu merupakan puncak spiritual, yang
akan menghadirkan makna keikhlasan seorang hamba.
Puasa merupakan latihan dan ujian
kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam
pengawasan-Nya terhadap segala gerak-gerik hamba-hamba-Nya. Puasa adalah
penghayatan nyata dari keberadaan Tuhan yang selalu mengawasi setiap gerak-gerik
manusia seperti digambarkan Allah SWT. dalam ayat suci Al-Quran "Dia (Allah) itu bersama kamu di mana
pun kamu berada, dan Allah itu Maha Melihat akan segala sesuatu yang kamu
perbuat." (QS. al-Hadid: 4)
Pengawasaan Tuhan sejatinya hadir
bukan hanya dalam ibadah puasa, tetapi untuk segalanya, melampuai batas ibadah,
pekerjaan, dan sejenisnya, bahkan melampaui batas ruang dan waktu. Tuhan
sejatinya selalu hadir dalam diri manusia. Tetapi, sangat sedikit manusia yang
sadar akan semua itu.
Manusia lebih banyak lupa akan
pengawasan Tuhan, sehingga banyak tindakan destruktif berkembang biak di muka
bumi. Maka, ibadah puasa diwajibkan pada umat Islam, sejatinya bukan hanya
untuk menahan haus, lapar, seks dan sejenis hal yang membatalkannya. Puasa
hadir sebagai jalan keadaban agar manusia sadar bahwa di balik setiap yang ada
di dunia ini, ada Dzat Yang Maha Meng-ada-kan. Dialah Allah SWT, yang diyakini
oleh umat Islam sebagai Pencipta.
Kesadaran akan kebedaan Tuhan,
akan membuat manusia sadar akan dirinya sendiri. Hassan Hanafi dalam
rekonstruksi teologisnya seperti ditulis dalam bukunya, Min al-Aqiah ila
al-Tsaurah, menegaskan bahwa kesadaran akan Dzat Tuhan dan sifatNya akan
mengahdirkan kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri
(self feeling). Penyebutan Tuhan akan
dzatNya sendiri sama persis dengan kesadaran akan keberadaan-Nya, sama
sebagaimana cogito yang ada dalam
manusia berarti penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya mengapa
deskripsi pertama tentang Tuhan adalah wujud (keberadaan). Adapun deskripsi-Nya
tentang sifat-sifatNya berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan
dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan disain, sebuah kesadaran akan
berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu
pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah pelajaran
dan 'harapan' Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan
sadar akan lingkungannya.
Maka, puasa sebagai jalan kesadaran
akan keberadaan Tuhan, sejatinya adalah jalan keadaban kepada manusia, agar
senantiasa meniru seluruh sifat baik Tuhan seperti digambarkan dalam Asmaul
Husna. Karena, bagi Hassan Hanafi, konsep atau nash tentang dzat dan
sifat-sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana
yang ditafsirkan oleh para teolog.
Tuhan tidak butuh pensucian
manusia, karena tanpa yang lain pun Tuhan tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan
segala sifat kesempurnaan-Nya. Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya,
sebagaimana yang ada dalam Al-Qur'an maupun Sunnah, sebenarnya lebih mengarah
pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil. Maka, di
sinilah semestinya manusia dengan puasa, sejatinya diajak sadar akan keberadaan
Tuhan dan meniruNya, agar kehidupan yang dijalani dapat bermakna bagi
kemaslahatan bersama.
Rangkaian jalan keadaban dalam
puasa sejatinya sudah jelas digambarkan oleh Allah SWT. dalam firmanNya,
"Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (Al-Baqarah:
183). Makna takwa di sini sangat komprehensif dan universal, menyangkut
hubungan vertikal dan horizontal dengan sesama manusia.
Sehingga, menurut Muhammad Ibrahim
aT-Tuwaijiri, puasa menjadi sarana untuk mendidik dan membentuk manusia yang
bertakwa kepada Allah SWT. yang mampu mengerjakan kewajiban dan meninggalkan
larangannya dengan konsisten. Konsep takwa di sini sejalan dengan pandangan
Thomas Hobbes yang mengisyaratkan, bahwa untuk mencapai keadaban sebuah bangsa,
semua elemen bangsa harus tunduk pada hukum yang berlaku.
Puasa sebagai jalan spiritualitas
menyajikan serangkaian kesadaran yang mestinya menggerakkan manusia, menuju
jalan keadaban hidup seperti disyariatkan oleh Allah SWT. Karena, menurut Ali
Syariati, hanya manusia satu-satunya makhluk yang mampu menghadapi sifat
naluriahnya. Hewan atau tumbuhan tak bisa melakukan demikian. Sifat naluriah
manusia memang cenderung ingin berbuat destruktif, seperti gagasan Thoma Hobbes
tentang homo homini lupus! Tetapi puasa mengajarkan manusia agar tidak berbuat
destruktif, dengan amaliah larangan makan, minum, seks, dan sejenisnya pada
batas waktu tertentu, sehingga umat Islam belajar menahan diri, lebih-lebih
menahan hawa nafsu dalam berbuat destruktif.
Jauh lebih dalam dari itu semua,
puasa menjadi satu-satunya jalan spiritual yang sangat mendalam, sebab hanya
diri dan Tuhan yang tahu tentang puasa. Kerahasian inilah inti dari puasa, agar
manusia ikhlas dalam bertindak, dan sadar akan keberadaan diri, serta jalan
keadaban yang diajarkan dalam Islam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar