Selasa, 30 Juli 2013

Jalan Keadaban Puasa

Jalan Keadaban Puasa
Masduri ; Peneliti di Jurusan Teologi dan
Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 26 Juli 2013


Puasa sejatinya bukan sekedar menahan lapar, haus, seks, dan sejenis hal yang membatalkannya. Lebih dalam dari itu, puasa menyajikan jalan spiritual yang sangat dalam. Perjalanan puasa adalah laku spiritual yang sangat rahasia. Hanya diri dan Tuhan yang mengetahui ibadah puasa. Dan, tak akan ada manusia yang mampu melepas diri dari pengawasan Tuhan. Tuhan tetap Maha Tahu segala gerak-gerik manusia, meski manusia kadang banyak berpura-pura di depan publik.

Ibn al-Qayyim al-Jauzi mengisyaratkan nilai penting tentang kerahasian ibadah puasa, menurutnya puasa merupakan ibadah yang sifatnya sangat pribadi, bahkan menjadi rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Kerahasiaan itu merupakan puncak spiritual, yang akan menghadirkan makna keikhlasan seorang hamba.

Puasa merupakan latihan dan ujian kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap segala gerak-gerik hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan nyata dari keberadaan Tuhan yang selalu mengawasi setiap gerak-gerik manusia seperti digambarkan Allah SWT. dalam ayat suci Al-Quran "Dia (Allah) itu bersama kamu di mana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Melihat akan segala sesuatu yang kamu perbuat." (QS. al-Hadid: 4)

Pengawasaan Tuhan sejatinya hadir bukan hanya dalam ibadah puasa, tetapi untuk segalanya, melampuai batas ibadah, pekerjaan, dan sejenisnya, bahkan melampaui batas ruang dan waktu. Tuhan sejatinya selalu hadir dalam diri manusia. Tetapi, sangat sedikit manusia yang sadar akan semua itu.
Manusia lebih banyak lupa akan pengawasan Tuhan, sehingga banyak tindakan destruktif berkembang biak di muka bumi. Maka, ibadah puasa diwajibkan pada umat Islam, sejatinya bukan hanya untuk menahan haus, lapar, seks dan sejenis hal yang membatalkannya. Puasa hadir sebagai jalan keadaban agar manusia sadar bahwa di balik setiap yang ada di dunia ini, ada Dzat Yang Maha Meng-ada-kan. Dialah Allah SWT, yang diyakini oleh umat Islam sebagai Pencipta.

Kesadaran akan kebedaan Tuhan, akan membuat manusia sadar akan dirinya sendiri. Hassan Hanafi dalam rekonstruksi teologisnya seperti ditulis dalam bukunya, Min al-Aqiah ila al-Tsaurah, menegaskan bahwa kesadaran akan Dzat Tuhan dan sifatNya akan mengahdirkan kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self feeling). Penyebutan Tuhan akan dzatNya sendiri sama persis dengan kesadaran akan keberadaan-Nya, sama sebagaimana cogito yang ada dalam manusia berarti penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan adalah wujud (keberadaan). Adapun deskripsi-Nya tentang sifat-sifatNya berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan disain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah pelajaran dan 'harapan' Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.

Maka, puasa sebagai jalan kesadaran akan keberadaan Tuhan, sejatinya adalah jalan keadaban kepada manusia, agar senantiasa meniru seluruh sifat baik Tuhan seperti digambarkan dalam Asmaul Husna. Karena, bagi Hassan Hanafi, konsep atau nash tentang dzat dan sifat-sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan oleh para teolog.

Tuhan tidak butuh pensucian manusia, karena tanpa yang lain pun Tuhan tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam Al-Qur'an maupun Sunnah, sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil. Maka, di sinilah semestinya manusia dengan puasa, sejatinya diajak sadar akan keberadaan Tuhan dan meniruNya, agar kehidupan yang dijalani dapat bermakna bagi kemaslahatan bersama.

Rangkaian jalan keadaban dalam puasa sejatinya sudah jelas digambarkan oleh Allah SWT. dalam firmanNya, "Hai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (Al-Baqarah: 183). Makna takwa di sini sangat komprehensif dan universal, menyangkut hubungan vertikal dan horizontal dengan sesama manusia.
Sehingga, menurut Muhammad Ibrahim aT-Tuwaijiri, puasa menjadi sarana untuk mendidik dan membentuk manusia yang bertakwa kepada Allah SWT. yang mampu mengerjakan kewajiban dan meninggalkan larangannya dengan konsisten. Konsep takwa di sini sejalan dengan pandangan Thomas Hobbes yang mengisyaratkan, bahwa untuk mencapai keadaban sebuah bangsa, semua elemen bangsa harus tunduk pada hukum yang berlaku.

Puasa sebagai jalan spiritualitas menyajikan serangkaian kesadaran yang mestinya menggerakkan manusia, menuju jalan keadaban hidup seperti disyariatkan oleh Allah SWT. Karena, menurut Ali Syariati, hanya manusia satu-satunya makhluk yang mampu menghadapi sifat naluriahnya. Hewan atau tumbuhan tak bisa melakukan demikian. Sifat naluriah manusia memang cenderung ingin berbuat destruktif, seperti gagasan Thoma Hobbes tentang homo homini lupus! Tetapi puasa mengajarkan manusia agar tidak berbuat destruktif, dengan amaliah larangan makan, minum, seks, dan sejenisnya pada batas waktu tertentu, sehingga umat Islam belajar menahan diri, lebih-lebih menahan hawa nafsu dalam berbuat destruktif.


Jauh lebih dalam dari itu semua, puasa menjadi satu-satunya jalan spiritual yang sangat mendalam, sebab hanya diri dan Tuhan yang tahu tentang puasa. Kerahasian inilah inti dari puasa, agar manusia ikhlas dalam bertindak, dan sadar akan keberadaan diri, serta jalan keadaban yang diajarkan dalam Islam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar