|
KOMPAS,
29 Juli 2013
Sejak komoditas pangan dilepas ke
pasar (kecuali beras), ternyata rawan terjadi gejolak harga; entah karena
persoalan iklim, gangguan distribusi, kenaikan konsumsi musiman, dan
sebagainya.
Mengapa hal itu terjadi? Uraian
berikut ini semoga dapat mengurai benang kusut kemelut pangan.
Sebenarnya semua
orang paham produksi pangan itu musiman. Adakalanya terjadi musim panen yang
membuat harga turun dan pada waktu lain terjadi musim tidak panen (paceklik)
yang membuat harga naik. Hal itu sudah jadi hukum alam. Setiap komoditas punya
karakteristik berbeda: padi musim panennya berbeda dengan jagung, singkong,
atau sayuran, dan buah-buahan. Agar terhindar dari kenaikan harga, dulu orang
menyimpan atau mengolahnya untuk mengurangi risiko. Sekarang orang cenderung
tak mau menyimpan barang karena tak menguntungkan lagi, takut tiba-tiba ada
impor barang atau operasi pasar oleh Bulog.
Selain itu, antara produksi dan
konsumsi juga terdapat jarak. Beras diproduksi oleh petani di daerah sentra
produksi padi, sedangkan yang makan berada di seluruh Indonesia. Oleh karena
itu terjadilah perdagangan pangan antartempat. Dengan demikian, nasi yang
tersedia di meja makan sehari-hari itu telah melalui jalan berliku,
berjuta-juta petani, ribuan pedagang pengepul gabah, serta ribuan penggilingan
padi dan pedagang beras.
Agar antarrantai pangan tersebut
terjadi sinergi yang baik, mereka perlu insentif. Petani juga ingin dan perlu
hidup layak dapat menyekolahkan anak-anaknya. Demikian juga para pengepul
gabah, penggilingan beras, dan pedagang beras, mereka juga ingin usahanya
berkembang. Semua ingin adanya ”kepastian”. Sekarang mereka merasa
diombang-ambingkan pasar. Sebagai contoh, ketika sedang panen bawang merah di
Brebes, pada saat bersamaan terjadi pemasukan bawang merah impor. Oleh karena
jumlah penduduk terus bertambah, maka kebutuhan pangan juga terus bertambah.
Pertanyaannya, apakah semuanya bisa diserahkan kepada pasar untuk mencukupinya?
Selama 15 tahun terakhir, yang
dapat merespons kebijakan pro-pasar hanya kelapa sawit, lainnya ada yang bisa
bertahan, tetapi umumnya nyungsep. Beras memang masih bisa bertahan
walaupun masih ”sport jantung”. Jagung masih bisa bertahan karena adanya
dukungan benih hibrida yang dikembangkan perusahaan dari luar. Gula sudah lama
bermasalah, kedelai hancur, tepung tapioka kalah dengan impor, garam pun
diimpor. Produk hortikultura jangan tanya lagi, kita lihat buah impor menyerbu
pasar di desa. Ternak/daging yang pada tahun 1970-an kita masih bisa ekspor,
sekarang impor menjadi andalan.
Mengurai
benang kusut
Ada beberapa faktor penyebab
terjadinya benang kusut dalam kemelut pangan. Pertama, faktor ”suprastruktur”
berupa UU dan peraturan yang tidak pro-petani kecil. Kedua, ”struktur pertanian
pangan” sendiri yang dominan ditopang oleh petani kecil, ditambah konsentrasi
produksi yang tak imbang antar-Jawa dan luar Jawa, serta yang masih bergantung
pada musim. Faktor ketiga pengembangan ”infrastruktur” seperti pabrik pupuk,
obat-obatan pemberantas hama dan penyakit, bendungan dan irigasi yang
”inginnya” juga diserahkan kepada pasar.
Faktor utama benang kusut masalah
suprastruktur adalah kebijakan yang tidak memihak kepada pengembangan pertanian
pangan (petani kecil). Pengalaman negara lain, untuk negara dengan penduduk
besar, yang dibenahi dulu adalah pertanian pangannya, baru mereka melangkah
jadi negara industri. Walaupun UUD 1945 mengamanatkan kemerdekaan untuk semua,
dalam praktik sehari-hari lebih memihak kepada pemilik modal. Yang kecil
semakin tersingkir, yang besar dibiarkan mengusai aset utama milik petani,
yaitu tanah. Sebenarnya persoalan menyangkut suprastruktur banyak, tetapi
kebutuhan perluasan tanah untuk petani (kecil) adalah mutlak.
Faktor kedua adalah struktur
pertanian pangan yang dominan ditopang petani kecil dan buruh tani. Mereka ini
lemah dalam segala hal: permodalan, jangkauan teknologi, informasi, dan
sebagainya. Daerah produksi pangan yang masih bergantung pada Pulau Jawa juga
memengaruhi rawannya gejolak harga. Jika produksi pangan dapat disebar ke
daerah yang dipengaruhi angin timur seperti Sulawesi Selatan bagian timur,
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara—termasuk Maluku dan Papua—harga beras akan
stabil sepanjang tahun karena musim hujannya berbeda dengan daerah lainnya.
Tidak mungkin mengharapkan petani kecil membuka lahan pertanian di Indonesia
timur dengan modal sendiri dengan risiko yang ditanggung sendiri pula.
Faktor ketiga adalah pengembangan
infrastruktur pertanian yang kurang mendapat perhatian dalam 20 tahun terakhir.
Bahkan, untuk perbaikan saja, anggaran yang disediakan kurang memadai sehingga
sarana tidak berfungsi optimal. Memang sudah ada pembagian tugas antara pusat
dan daerah, tetapi anggaran yang ada di daerah sebagian besar untuk menggaji
PNS. Adalah suatu keniscayaan dapat mencukupi kebutuhan pangan sendiri tanpa
dukungan infrastruktur. Akhirnya kita terjebak kebutuhan jangka pendek, yaitu
impor pangan.
Sekarang ini presiden menganggap
kekuasaan sudah dibagi habis, tetapi nyatanya pemerintah daerah merasa
peningkatan produksi pangan itu urusan pusat. Memecahkan masalah pangan harus
dalam satu kesatuan komando, tak mungkin pemerintah pusat dan daerah berjalan
sendiri-sendiri. Ambil contoh pemecahan masalah krisis harga daging yang sudah
berjalan lebih dari setahun, daerah merasa itu urusannya pusat.
Krisis
manajemen pangan
Untuk itu perlu direkonstruksi
kembali paradigma yang membedakan siapa regulator dan operator, dan di mana
lembaga pemerintah hanya bisa bertindak sebagai regulator. Dulu Bulog sebagai
lembaga pemerintah dapat bertindak sebagai operator kebijakan pemerintah.
Menteri Pertanian dahulu juga dapat membentuk Badan Pengendali Bimas untuk
menggerakkan dan mengoordinasikan kegiatan pemerintah daerah yang berkaitan
dengan program swasembada pangan. Sekarang hal itu tidak dapat dilakukan lagi
karena dalam hal pangan sepertinya daerah bukan kepanjangan pusat lagi.
Selama krisis manajemen berupa
kelemahan koordinasi dan ketidakjelasan komando, kemelut masalah pangan
tampaknya masih akan sering terjadi. Memang UU Pangan yang baru sudah
mengaturnya, tetapi masih memerlukan PP yang semangatnya akan membuat
lembaga superbody yang harus menabrak berbagai UU. Pembiayaan untuk
stabilisasi harga pangan juga hanya dapat dilakukan melalui fiskal, dahulu
Bulog mendapatkan kemudahan melalui fiskal dan moneter. Sekarang, apabila
lembaga untuk pelaksana stabilisasi harga bentuknya lembaga pemerintah, maka
lembaga tersebut juga tidak dapat mengakses kredit. Jadi, gerak kita sendiri
dibatasi oleh peraturan yang kita buat sendiri.
Dengan ruang gerak yang terbatas,
ke depan perlu terobosan kebijakan untuk mengatasi masalah pangan. Idealnya kita
mempunyai semacam ”GBHN” lagi untuk 25 tahun ke depan. Hal ini antara lain
untuk menyelesaikan masalah pangan secara berkesinambungan dan juga menjadi
acuan rencana kerja bagi pusat dan daerah. Untuk jangka pendek adalah membenahi
mekanisme koordinasi dan pembagian tugas yang jelas antara pusat dan daerah
dengan mengacu pada sasaran yang sama serta dengan anggaran yang jelas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar