|
MEDIA
INDONESIA, 30 Juli 2013
MENGEDEPANKAN
klaim kebenaran (truth claim) dan
memosisikan sekelompok orang atau komunitas lain sebagai objek kekerasan dan
kekejian sepertinya sudah menjadi segmentasi skenario salah satu ormas di
negeri ini. Ormas ini paling sering berurusan dengan aparat karena sering
memproduk ulah yang bermodus ‘menghakimi’ orang lain.
Ormas itu bahkan diidentikkan
dengan kekerasan atau radikalisme atas nama agama. Mereka jadikan orang atau
sekelompok orang yang berbeda pemahaman agama atau dinilai telah menyimpang
dari doktrin keagamaan sebagai penyakit yang harus dibasmi. Mereka sukses
menciptakan paradigma homo homini lupus,
alias memperlakukan sesama yang berbeda dengannya sebagai objek yang pantas
‘dimangsanya’.
Pakar kriminologi JE Sahetapy
pernah mempertanyakan mengapa bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur,
ramah tamah, sopan, santun, religius, tolong menolong, gotong royong, dan suka
menjaga etika ketimuran ini berubah menjadi bangsa atau masyarakat yang homo
homini lupus, anarkistis, dan brutal dalam hampir seluruh bidang kehidupan dan
strata.
Kritik Sahetapy itu layak
dialamatkan untuk ormas berhaluan ‘homo
homini lupus’. Ormas itu telah berdosa besar pada harmonisasi publik dan
keagamaan akibat berbagai model perilaku keji, biadab, berpola kebinatangan,
atau tak bernurani yang terus dimunculkan secara rutin.
Ormas itu sangat gampang sekali
menempatkan ‘bahasa okol’ atau kekerasan dan kekejaman sebagai pilihan. Mereka
tak menjadikan norma hukum positif sebagai panglima. Mereka tak gunakan agama
yang rahmatan lil-alamin sebagai roh kehidupan dan kedamaian publik. Mereka
terbatas gunakan logika ‘egoisme kebenaran’ sektoral dan eksklusif sebagai
alasan pengabsahan dan pemenangan kekerasan di mana-mana.
Mengapa sampai ada ormas yang
berani menciptakan gaya ‘homo homini lupus’? Atau mengapa ormas ini sampai
tergiur menyemaikan dan membudayakan gaya hukum rimba? Tidakkah mereka memahami
dan menyadari hukum rimba sejatinya mencerminkan berlakunya hukum untuk
masyarakat barbar, tidak terdidik atau saling mengutamakan watak serigala
(siapa yang kuat, dialah yang berhak menerkam dan mencincang)?
Ormas itu rentan gampang
‘bernafsu’ mengobral dan mengulturkan kekejian serta agresivitas, dan asal
menggunakan okol, bukan karena ‘miskin pengetahuan’ terhadap norma yuridis,
melainkan karena mereka tidak terdidik untuk menjaga kewibawaan Indonesia
sebagai negara hukum. Ormas itu tergiring meng adopsi ulah aparat penegak hukum
yang mengedepankan prinsip yang diajukan JK Skolnick dengan ‘peradilan tanpa
pengadilan’ (trial with out justice).
Dalam paradigma itu, hukum bukan
diberlakukan sebagai sistem yang menjaga dan mengawal negara, melainkan
digunakan sebagai aksesori atau sekadar instrumen untuk menjaga dan
mengabsahkan kepentingan seseorang atau sejumlah yang berstatus elitis, kuat,
atau berkelas serigala.
Dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 sudah digariskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Masuknya identitas Indonesia
sebagai negara hukum dalam batang tubuh konstitusi, dan tidak lagi di
penjelasan konstitusi, sejatinya diorientasikan untuk menegakkan jati diri
Indonesia sebagai negara hukum, dan bukan republiknya kaum barbar.
Sayangnya, meski identitas itu
masuk, Indonesia tetap dituding sebagai negara yang tidak layak mengibarkan
bendera negara hukum. Negeri ini dianggapnya tak pantas menyebut hukum sebagai
sumber berpijaknya. Negara hukum (rechtsstaat)
Indonesia bahkan pantas disebut ‘negeri kian darurat’. Mengapa demikian?
Pasalnya di satu sisi semakin banyak problem hukum yang terus bermunculan,
sementara di sisi lain banyak kasus besar yang belum terselesaikan. Bagaimana
jadinya nasib negara hukum ini, jika di masa depan, perkara besar terus
membanjiri Indonesia, sementara problem lama belum juga tuntas atau tidak jelas
kabarnya?
Sebagian elemen masyarakat bahkan
berkesimpulan kasus lama telah mengisi agenda kasus mengambang (floating case) yang kalau dicerna dari
waktu ke waktu, perjalanannya semakin temaram. Banyaknya kasus lama yang tidak
jelas itu mengakibatkan terjadinya krisis kredibilitas tingkat akut di
masyarakat pada aparat yang mendapatkan kepercayaan menanganinya.
Dalam persepsi publik, aparat
tidak benar-benar menjalankan perannya dengan benar, objektif, dan maksimal. Prinsip-prinsip
yuridis yang mewajibkan aparat untuk mengimplementasikan sistem peradilan
cepat, terbuka, berbiaya murah, tidak memihak, dan berkejujuran, tidak
dijalankannya dengan benar dan konsisten.
Kondisi anomali itu mengakibatkan
ormas yang berhaluan ‘homo homini lupus’ memanfaatkannya. Mereka pintar membaca
peluang untuk menjalankan aksi radikal dengan lebih leluasa. Mereka tak takut
berurusan dengan aparat kepolisian atau aparat penegak hukum lainnya. Pasalnya
mereka berasumsi komunitas aparat penegak hukum sedang terlena mengurus dirinya
sendiri.
Idealnya aparat penegak hukum
cerdas membaca kondisi rawan itu sebagai ancaman kamtibmas secara
berkelanjutan. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti, mereka yang tidak puas
dengan kinerja aparat penegak hukum (negara) dalam menangani ormas itu lantas
membalasnya. Mereka itu bisa saja mengonstruksi kekuatan sosial dan keagamaan
untuk menunjukkan perlawanan.
Hurton dan Hunt, sosiolog
kenamaan, pernah menyatakan akar dari semua gerakan atau aksi massa itu
sesungguhnya berasal dari ketidakpuasan. Ketika ada ormas yang jelas-jelas
menjadikan kekerasan sebagai opsi mereka, sementara ada aparat yang seharusnya
menindak ternyata juga kurang cepat menunjukkan kinerjanya, konfl ik sosial yang
ditakutkan Thomas Hobbes bisa terjadi, yakni bellum omnium contra omnes
(kelompok yang satu bertarung dan saling membantai dengan kelompok lainnya).
Aparat seharusnya menyadari bahwa
negara hukum merupakan wujud negara yang idealisasinya mampu membahagiakan,
mendamaikan, atau menyejahterakan rakyat (lahir dan batin), dan bukan
menoleransi praktik homo homini lupus. Negara ini dihuni dan dipilari banyak
oportunis, khususnya dalam lingkungan peradilan, yang mengakibatkan negara
hukum ini, melalui instrumen-instrumennya, gagal memberi yang terbaik pada
pencari keadilan.
Hugo Krabbe (dari Universitas
Leiden) menyebut yang dimaksud dengan ‘hukum’ pada konsep negara hukum bukan
semata-mata hukum formal yang diundangkan, melainkan juga hukum yang ada di
masyarakat. Hukum formal benar apabila sesuai dengan hukum materiil, yakni
perasaan hukum yang hidup di masyarakat.
Itu artinya, negara hukum yang
sebenarnya berfungsi jadi payung besar kehidupan rakyat, khususnya dalam
membumikan program-program penegakan keadilan untuk semua (justice for all), bisa tereliminasi atau tergiring jadi negara
beridentitas ‘gagal total’, manakala praksis kinerja aparatnya tidak maksimal
dalam menangani sepak terjang ormas ‘homo homini lupus.
Dari celah itulah, bukan tidak
mungkin hukum rimba mencoba mengimbangi dan mencari kedaulatannya. Hukum rimba
bisa saja hadir dan menguat menjadi bagian dari bahasa ‘hukum empirik’ yang
bergulat di masyarakat. Komunitas yang menjadi korban ormas ‘homo homini lupus’ suatu saat mampu
menampakkan keberingasan dan kekejaman, tetapi apa yang ditampakkan itu
merupakan bagian dari episode historis kedinamisan sebagai bangsa lemah dan
konstruksi bernegara yang rapuh.
Masyarakat pun tidak akan sampai
berani mengeroyok atau membantai aparat penegak hukum kalau dalam dirinya tidak
sedang atau sudah sekian lama dijangkiti dan dihegemoni kekecewaan mendalam.
Kekecewaan merupakan bibit fundamental yang membahayakan keharmonisan sosial
dan identitas negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar